Alya tidak pernah menyangka hidupnya yang biasa akan berubah selamanya saat ia bertemu dengan Rheyan, sosok pria misterius dengan tatapan kelam dan aura yang terlalu menggoda. Ia datang di saat-saat antara hidup dan mati, membawa takdir yang tak bisa dihindari. Tapi yang tak ia duga, sang malaikat maut justru terpikat oleh kelembutan dan keberaniannya.
Di sisi lain, ada Davin, dokter penuh kasih yang selalu ada untuk Alya. Ia menawarkan dunia yang nyata, cinta yang hangat, dan perlindungan dari kegelapan yang perlahan menyelimuti kehidupan Alya.
Namun, cinta di antara mereka bukanlah hal yang sederhana. Rheyan terikat oleh aturan surgawi—malaikat maut tak boleh mencintai manusia. Sementara Alya harus memilih: menyerahkan hatinya pada keabadian yang penuh bahaya atau tetap berpijak pada dunia fana dengan seseorang yang bisa menjanjikan masa depan.
Ketika batas antara surga dan bumi kabur, bisakah cinta mengubah takdir? Atau justru cinta itu sendiri yang akan menghancurkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irnu R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malaikat yang Mengawasi dari Kejauhan
Rheyan berdiri di atap sebuah gedung tinggi, menatap kota yang berpendar di bawahnya. Angin malam berembus kencang, menerpa jubah hitamnya. Dari tempat ini, ia bisa melihat segalanya—jalanan yang ramai, lampu-lampu kendaraan yang bergerak seperti aliran sungai cahaya, dan manusia-manusia yang menjalani hidup mereka tanpa menyadari bahwa kematian selalu mengintai.
Tapi bukan itu yang mengganggunya malam ini. Ada sesuatu yang berputar di kepalanya, sesuatu yang tidak seharusnya ada. Ingatan yang tidak ia kenali.
Sebuah suara.
"Rheyan..."
Ia tersentak, kepalanya menoleh ke belakang dengan cepat. Namun, tak ada siapa-siapa.
Suara itu. Ia mengenalnya, tapi dari mana?
Ia mencoba mengingat, tapi yang muncul hanya bayangan seorang wanita. Wajahnya samar, suaranya seakan berasal dari kejauhan, seperti bisikan yang nyaris tenggelam dalam kebisingan dunia.
Sesuatu dalam dirinya bergemuruh. Ada perasaan familiar yang aneh, seolah-olah ia pernah mengenal sosok itu di suatu waktu, di suatu tempat. Tapi ingatan itu kabur, seolah tertutup oleh kabut tebal yang tak bisa ia singkap.
Jantungnya—jika ia memilikinya—akan berdetak lebih cepat. Tapi sebagai malaikat maut, ia tidak memiliki jantung, tidak memiliki emosi yang seharusnya mengikat makhluk fana. Namun sekarang, ia merasakan sesuatu yang menyerupai kegelisahan.
Apakah ini bagian dari hukumannya karena melanggar takdir? Ataukah ada sesuatu yang lebih besar yang belum ia pahami?
Siapa dia?
Rheyan mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Malaikat maut tidak seharusnya memiliki ingatan seperti ini. Ia diciptakan untuk menghakimi jiwa, untuk memastikan keseimbangan antara hidup dan mati. Tidak lebih. Tidak kurang.
Namun, sesuatu dalam dirinya mulai berontak.
Sementara itu, di tempat lain, Alya sedang berjalan pulang dari rumah sakit ketika merasakan sesuatu yang aneh. Udara di sekelilingnya menjadi lebih dingin, dan bulu kuduknya berdiri.
Lalu, seseorang menarik tangannya.
Seorang anak kecil.
Gadis itu berdiri di hadapannya dengan mata penuh ketakutan. Pipinya basah oleh air mata, dan bibir mungilnya gemetar saat ia berbicara.
"Kakak... aku tersesat. Tolong bantu aku pulang..."
Alya menelan ludah. Ada sesuatu yang tidak beres. Anak ini—ia tampak begitu nyata, tetapi pada saat yang sama, ada sesuatu yang tidak sesuai.
"Kamu tinggal di mana?" tanya Alya pelan, mencoba menenangkan bocah itu.
Namun, sebelum anak itu bisa menjawab, tubuhnya mulai memudar.
"Aku... aku tidak bisa menemukan jalan pulang..."
Suara kecilnya terdengar semakin jauh, lalu dalam sekejap, ia menghilang.
Alya terdiam di tempat, jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh ke sekeliling, berharap menemukan jejak anak itu, tapi jalanan sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana.
Tangannya masih terasa dingin, seolah sentuhan anak itu meninggalkan jejak di kulitnya.
Alya meremas jemarinya sendiri, mencoba mengusir sensasi aneh itu. Napasnya masih sedikit memburu.
"Siapa kamu...?" bisiknya, meski tahu tidak akan ada jawaban.
Ia melangkah mundur, lalu kembali menatap ke tempat anak kecil itu berdiri tadi. Rasa penasaran bercampur ketakutan menguasainya. Apakah anak itu tersesat di dunia ini? Ataukah ia sebenarnya tidak pernah benar-benar ada?
Ia menarik napas panjang, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Ini bukan pertama kalinya ia melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada, tapi rasanya masih sama mengejutkannya setiap kali.
Sementara itu, di rumah sakit, Davin duduk di depan meja kerjanya, menatap layar komputer dengan ekspresi serius. Ia baru saja mendapatkan rekam medis Alya—dokumen yang seharusnya bisa menjawab pertanyaannya.
Namun, saat membaca isinya, tenggorokannya terasa kering.
Tidak mungkin.
Menurut catatan medis ini, Alya mengalami kecelakaan hebat yang seharusnya merenggut nyawanya. Luka-lukanya fatal—terlalu parah untuk sembuh tanpa operasi besar dan perawatan intensif. Bahkan jika ia selamat, seharusnya ada bekas luka di tubuhnya.
Namun, kenyataannya? Alya tidak memiliki bekas luka sedikit pun.
Davin menyandarkan punggungnya ke kursi, pikirannya berputar liar. Ini tidak masuk akal. Alya bukan manusia biasa—atau setidaknya, bukan lagi.
Ia meraih ponselnya, jemarinya melayang di atas layar, ragu-ragu apakah harus menghubungi Alya atau tidak. Bagaimana jika ia hanya berhalusinasi? Bagaimana jika semua ini hanya kebetulan?
Tapi instingnya sebagai dokter mengatakan sebaliknya. Ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika medis.
Dan Davin bukan tipe orang yang bisa diam saja ketika melihat sesuatu yang janggal.
Ia mengingat bagaimana Alya sering terlihat aneh belakangan ini. Tatapannya yang kosong, ekspresinya yang seakan melihat sesuatu yang tak kasat mata.
Sesuatu sedang terjadi padanya.
Dan Davin tidak bisa membiarkan ini begitu saja.
Di tempat lain, di kegelapan malam, Rheyan merasakan kehadiran yang tidak asing baginya.
Langkah kaki terdengar mendekat.
"Kau semakin ceroboh, Rheyan."
Suara itu dingin, tidak beremosi.
Rheyan tidak perlu berbalik untuk tahu siapa yang berbicara.
Seorang malaikat berdiri di sana, mengenakan jubah putih yang berpendar samar dalam gelap. Wajahnya tanpa ekspresi, matanya tajam seperti seseorang yang telah melihat terlalu banyak kematian dan tidak lagi terpengaruh olehnya.
"Waktumu sudah habis," kata malaikat itu. "Kau tahu apa yang akan terjadi padamu."
Rheyan mengepalkan tangan, menahan dorongan untuk membalas.
"Apa itu ancaman?" tanyanya dengan nada datar.
"Ini peringatan," jawab malaikat itu. "Kau telah melanggar aturan. Kau telah membiarkan seorang manusia hidup lebih lama dari yang seharusnya. Dan sekarang, dunia ini mulai menolaknya."
Rheyan tidak menjawab.
"Jika kau masih memiliki sisa kehormatan sebagai malaikat, kau akan menyelesaikan apa yang kau mulai," lanjut malaikat itu. "Hapus dia dari dunia ini sebelum semuanya menjadi lebih buruk."
Rheyan mengertakkan gigi.
Ia tahu ini akan terjadi cepat atau lambat.
Tapi tetap saja, mendengarnya langsung membuat sesuatu dalam dirinya memberontak.
Mata malaikat itu menatapnya tajam, seolah menembus pikirannya. "Atau kau akan bernasib sama seperti dia."
Setelah mengatakan itu, malaikat itu berbalik, menghilang ke dalam bayangan malam.
Rheyan tetap berdiri di tempatnya, matanya menatap kosong ke kejauhan.
Ia tahu betul apa artinya melawan hukum surga.
Namun, untuk pertama kalinya dalam keberadaannya, ia merasa bimbang.
Rheyan mengepalkan tangannya, matanya menatap kosong ke langit yang penuh bintang. Di mana dulu ia hanya melihat dunia sebagai tempat bagi jiwa-jiwa untuk berpindah, kini ia mulai melihat sesuatu yang berbeda.
Manusia—betapa rapuhnya mereka, betapa singkat hidup mereka, dan betapa keras mereka berjuang untuk bertahan. Dulu, ia tidak pernah peduli. Tapi setelah bertemu Alya, setelah menyelamatkannya dari kematian, semuanya mulai terasa lebih kompleks.
Jika ia mengikuti perintah, Alya akan lenyap dari dunia ini. Tapi jika ia menentangnya... ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya sendiri.