NovelToon NovelToon
Korban Virtual Check!

Korban Virtual Check!

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Chicklit
Popularitas:656
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah A

"Berawal dari DM Instagram, lalu berujung sakit hati."

Khansa Aria Medina tidak pernah menyangka DM yang ia kirimkan untuk Alister Edward Ardonio berujung pada permasalahan yang rumit. Dengan munculnya pihak ketiga, Acha-panggilan Khansa-menyadari kenyataan bahwa ia bukanlah siapa-siapa bagi Al.

Acha hanyalah orang asing yang kebetulan berkenalan secara virtual.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kejutan

"Stella! Sini!"

Aya berdiri kemudian menghampiri seorang gadis cantik sebayanya. Sementara, mata Acha justru fokus pada dua laki-laki yang berdiri tepat di belakang Stella. Salah satu laki-laki itu menatap Acha.

"Bagas," gumam Acha sedikit terkejut ketika mata mereka Kemudian, ia menyadari bahwa Al bersama Bagas. Laki-laki itu sibuk menelepon seseorang. Langsung saja Acha kembali melihat pantulan wajahnya. Kali ini bukan di cermin, melainkan di layar ponselnya yang menghitam. Ia harus memastikan tidak ada saus sambal di bibirnya.

"Weh, Acha! Sini!" panggil Aya. Kemudian, ia menyengir lebar ketika melihat Bagas dan Al. "Akhirnya ketemu lagi! Kangen gue, nggak?"

"Kangen banget, sayang," goda Bagas sambil tertawa kencang.

Sementara, Al tidak merespons apa pun. Menoleh saja tidak. Ia asyik berbicara dengan seseorang di balik teleponnya. Mereka tidak mempermasalahkan karena Al memang sibuk menelepon.

"Idih, playboy banget sih jadi orang," dengus Stella.

Acha mendekati empat orang itu dengan ragu-ragu. Rasa canggung sedikit menyelimuti hatinya. Bukan karena Stella yang notabenenya orang asing, melainkan karena Bagas dan Al. Acha belum siap apabila ia bertemu Bagas. Setelah menjaga jarak bahkan jarang membalas pesan, memangnya ia punya muka untuk melihatnya? Acha kan juga memiliki perasaan tidak enak pada Bagas.

"Weh, lo ke sini? Nggak nyangka gue. Kenal Aya juga ternyata," ucap Bagas sambil menyengir.

Acha tersenyum canggung. "Temen sekolah gue, nih."

"Lah, kalian saling kenal?" tanya Aya terkejut. Kemudian, ia menatap Acha sejenak. Ia memberikan kode mata seolah apakah Bagas ini gebetan yang dimaksud.

"Iya, Bagas kenalan gue," jawab Acha sambil menggeleng pelan untuk menjawab kode Aya.

"Makan bareng gimana?" tawar Bagas bersemangat.

Aya mengangguk menyetujui. "Boleh tuh, gue lagi laper juga."

Acha langsung kalang kabut. Berdiri bersama mereka saja membuatnya canggung setengah mati. Tetapi Acha juga tidak mau menolak kesempatan makan bersama Al. Mungkin saja ia bisa duduk berjejeran atau berhadapan yang menimbulkan situasi romantis.

"Bentar ya, gue selesaiin urusan gue," pamit Aya.

Setelah itu, Aya dan Stella berjalan meninggalkan Acha, Al, dan Bagas. Acha semakin bingung harus berbuat apa. Alhasil, ia hanya tersenyum kikuk sambil memperhatikan etalase-etalase kantin. Ia ingin mengajak Al berbicara, tetapi lidahnya terasa kelu—bingung mau membicarakan apa.

"Duduk, duduk," titah Bagas sambil duduk di bangku panjang yang tadi digunakan Acha dan Aya. "Woi, Al, lo ikut makan bareng ya."

"Sorry, gue nggak bisa. Gue pergi dulu." Tanpa pikir panjang, Al memasukkan ponsel kemudian berjalan menuju parkiran. Laki-laki itu sama sekali tidak berniat melirik atau bahkan menyapa Acha.

"Ya udah, hati-hati, Bro." Bagas melambaikan tangan.

Kini, tersisa Acha yang masih berdiri dan tidak tahu harus melakukan apa. Jujur, ia ingin menolak ajakan Bagas. Toh, Al sudah pergi meninggalkannya. Tetapi rasa tidak enak menggerogoti hatinya. Kalau dipikir-pikir, bukan suatu masalah jika mereka makan bersama. Lagi pula bukan makan berdua karena Aya ikut hadir.

"Eh, lo canggung ya?" goda Bagas sambil senyam-senyum.

Acha cemberut kesal. Diledek seperti itu akan membuatnya semakin malu. "Apaan sih? Gue cuman kaget tahu!" Ia pun ikut duduk di depan Bagas.

"Ngapain kaget? Udah tahu kan, kalau gue sama Al sekolah di sini?" Bagas semakin tidak tahan untuk menggodanya.

"Y-ya, gue kan ... nggak nyangka," sungut Acha. Karena tidak mau diledek lagi, Acha pun mencari topik lain. "Gimana kabar lo?"

"Gue sakit."

Acha sedikit terkejut mendengarnya. Padahal wajah dan tubuh Bagas tidak menunjukkan tanda-tanda sedang sakit. "Hah? Sakit apa?"

"Sakit hati, habis dicuekin elo," jawab Bagas enteng. Kemudian, ia merintih kesakitan karena Acha melayangkan cubitan. "Eh, by the way, lo kenal Nyokap Al? Widih, keren juga perjuangan lo."

"Tante Marlina? Yah, panjang ceritanya. Pokoknya gue beli kuenya." Acha menyengir lebar. Mengingat kedekatannya dengan Marlina membuatnya senang.

Bagas mengangguk paham. "Kita lihat, lo berhasil bikin Al ngelupain masa lalunya atau nggak."

Acha ingin membalas ucapan Bagas, tetapi Aya sudah muncul di dekatnya. Alhasil, daripada memunculkan perdebatan, lebih baik Acha menutup mulutnya.

"Stella nggak ikut. Kita bertiga aja yuk," ajak Aya.

***

SMA Citra Harapan memiliki posisi strategis bagi para siswanya. Bagaimana tidak, di sekitarnya saja sudah terdapat tiga kafe dengan menu yang sangat enak. Kalau kata remaja kekinian, kafe-kafe tersebut dinilai aesthetic sehingga tidak sedikit orang mengambil foto di sana. Maka dari itu, Bagas menyarankan untuk makan siang di salah satu kafe. Selain makanannya yang enak, jaraknya juga tidak jauh dari SMA-nya. Sehingga mereka tidak perlu menggunakan kendaraan.

"DEMI APA LO SUKA AL?!" Mata Aya langsung melotot. Ia menghentikan aktivitas makannya setelah Acha menceritakan bahwa gebetannya selama ini adalah Al—yang tak lain adalah teman SMP Aya. "Nggak nyangka gue!"

Bagas mendengus geli. "Ya elah, lo—"

"Kok bisa suka Al? Pernah ke Citra Harapan sebelumnya?" Aya memotong ucapan Bagas. Baginya, mewawancarai Acha saat ini sangat menarik.

"Nggak, gue kenal dari TikTok Bagas. Ternyata satu kota, pokoknya ceritanya panjang deh," jawab Acha sambil menyengir lebar.

"Apa sih, spesialnya Al?" tanya Bagas dengan nada meledek. Pasalnya, dua perempuan di depannya ini sibuk membicarakan Al yang katanya sangat tampan. Bukankah dirinya juga tampan? Mengapa mereka tidak membicarakan dirinya saja?

Acha dan Aya saling memberikan tatapan sinis pada Bagas. Bagas memang tampan, tetapi menurut mereka, Al jauh lebih tampan. Selanjutnya, acara makan-makan diisi dengan mengobrol santai. Tentunya Acha menanyakan berbagai topik tentang Al. Ia tidak mau membuang kesempatan emas dengan mengobrol topik basa-basi. Lagi pula topik tentang Al sangat menghibur mereka. Berkali-kali Bagas dan Aya menceritakan peristiwa konyol Al yang menggelitik perut.

Tidak terasa waktu sudah berjalan satu jam. Mereka memutuskan berjalan kaki menuju parkiran sekolah. Pak Iman—supir pribadi Acha—sudah menunggunya. Acha dan Aya pun berpamitan dan segera memasuki mobil sebelum matahari semakin tenggelam.

"Hati-hati, Girls," pesan Bagas sembari menunggu kedua gadis itu masuk ke dalam mobil.

Setelah itu, mobil Acha berjalan pelan keluar dari SMA Citra Harapan. Tujuan selanjutnya adalah rumah Aya.

"Lo suka sama Al?" tanya Acha basa-basi. Acha yang notabenenya orang asing bagi Al saja menyukai Al, apalagi teman sekolahnya.

"Nggaklah! Gue sama dia itu temen SMP," jawab Aya. Kemudian, ia menyadari sesuatu. "Tapi, sorry banget nih. Gue nggak yakin bisa bantu lo deket sama Al. Masalahnya, gue sendiri juga nggak deket sama dia."

Acha mengangguk paham kemudian menyengir. "Santai aja. Lagian Al emang cuek banget, jadi butuh kesabaran lebih."

"Tapi ... lo serius kan, sama dia?"

"Lumayan," jawab Acha dengan mantap. "Kenapa emangnya?"

Aya menggeleng pelan. "Nggak apa-apa. Takutnya kalau cuman main-main terus Al terlanjur suka elo, kan dia bisa sakit hati. Nggak baik juga main-main."

"Lo sama Bagas deket, ya?"

"Hem, nggak terlalu juga, sih. Mungkin karena dia ramah kali ya, jadi gue nggak canggung gitu," papar Aya. Lalu, ia melirik Acha dengan penuh arti. "Lo juga tertarik sama Bagas?"

"IDIH, NGGAK!"

***

[khansa.achaa]

[Gas, jadi kan?]

[Gue dah di parkiran nih.]

[bagass.radit]

[Jadi, buruan ke lobi.]

Bagas menatap layar ponselnya kemudian memasukkannya ke dalam saku. Beberapa waktu lalu, ia memberikan ide pada Acha untuk mendekati Al, salah satunya adalah datang ke sekolah dengan membawa roti buatan sendiri. Awalnya Acha menolak dengan alasan tidak mau terlihat agresif, tetapi akhirnya ia menyetujui. Acha dan Al berada di sekolah yang berbeda, sehingga menyulitkan Acha untuk pedekate jika tidak bertemu secara langsung.

Lagi pula jika Al menanyakan mengapa Acha ada di sekolahnya, Bagas tinggal membuat alibi bahwa Acha datang menemui dirinya, bukan Al. Maka Acha tidak perlu di-cap sebagai perempuan agresif yang rela berbuat apa saja demi pria yang disukai.

"Eh, eh, tunggu sebentar! Jangan pulang dulu lo!" pinta Bagas ketika Al hendak berjalan pulang. Lelaki itu sudah membawa Al menuju lobi dan menghadangnya agar tidak keluar.

"Kenapa, sih?" tanya Al keheranan.

Bagas menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Ya, pokoknya tunggu aja deh."

"Iya, kenapa?" tanya Al dengan jengah. Pelajaran hari ini sangat berat dan menguras otak, sehingga ia benar-benar ingin merebahkan tubuhnya di atas kasur. "Gue mau pulang, nih!"

"Tunggu, emm ... Fajar! Gue mau nemuin Fajar sebentar, lo tungguin gue," pinta Bagas setelah memutar otak. Memang Al suka membuatnya pusing dengan pertanyaannya.

"Ya elah, cemen banget pake ditemenin!" sungut Al. Meski begitu, ia tetap senantiasa menunggu Bagas sembari duduk di sofa yang tersedia di lobi.

Saat asyik-asyiknya memperhatikan para siswa yang berlalu-lalang, Al disuguhi sosok yang ia kenal. Khansa Aria Medina namanya. Karena melihat Acha berada di tempat yang tidak seharusnya, Al langsung melirik Bagas dengan tajam seolah meminta penjelasan. Tetapi Bagas bukannya melihat Al, ia justru menyambut Acha dengan santai.

"Eh, lo ke sini buat nemuin gue ya?" tanya Bagas sambil mengedipkan mata sebelah. Ia mengeraskan suaranya agar memastikan Al yang sedang duduk bisa mendengar percakapan mereka.

Acha tersenyum penuh arti. "Yoi! Gue bawain roti buat lo nih, buatan gue sendiri!" Acha memberikan sebuah kantong plastik berisi beberapa roti kepada Bagas. Sementara, kantong plastik lainnya akan ia berikan pada Al. Kemudian, Acha menatap Al yang langsung membuka ponselnya.

Tadinya, Al hendak membiarkan Acha melakukan apa saja asal tidak mengganggunya. Tetapi Acha yang menatapnya membuat perasaannya sedikit tidak enak. Terutama ketika Acha berjalan menuju arahnya. Al semakin heran dengan gadis itu.

"Hai, Al!" sapa Acha dengan ramah. "Kita ketemu lagi."

Al bergumam pelan. Ia menatap Acha sepersekian detik, kemudian kembali menatap layar ponsel. Sama sekali tidak ada senyuman di bibirnya.

Acha menyerahkan kantong plastik di tangannya. "Buat lo, nih. Dimakan ya, soalnya buatan gue. Tapi dijamin enak dan nggak gagal kok. Gue dikasih resep manjur dari Nyokap lo."

"Nggak perlu," tolak Al halus.

Acha tidak menyerah. Ia mencoba menyodorkan pelan-pelan. "Santai, Al. Nggak usah sungkan gitu. Sekalian buat Nyokap lo, nih."

Al menghela napas. Kehadiran Acha di sini ternyata cukup mengganggunya. Ia pun meraih tasnya lalu berdiri. "Gue balik dulu," ucap Al pada Bagas. Selanjutnya, tanpa menunggu jawaban Bagas, Al berjalan meninggalkan lobi. Kepergian Al sudah cukup menjadi jawaban untuk Acha bahwa Al menolak pemberiannya.

"T-tapi ...." Acha menatap kepergian Al dengan lesu. Ia kira trik ini akan berhasil karena setahunya, Al sudah mengetahui kedekatan dirinya dengan Marlina.

Bagas mendekati Acha yang masih termenung. Otaknya memikirkan kalimat untuk menghibur gadis itu. "Nggak usah sedih gitu. Al emang kayak gitu anaknya. Semangat!"

Acha mengabaikan kalimat Bagas. "Jangan-jangan ... Al cemburu gara-gara gue bilang gue ke sini buat nemuin lo? Masuk akal nggak, sih?"

"Lo cantik, tapi ... ah udahlah," keluh Bagas yang tak habis pikir dengan Acha. "Ngomong-ngomong, lo pulang sekarang? Gue anter sampai parkiran, ya."

Acha menggeleng pelan. "Gue naik taksi. Pak Iman ada urusan sama Papi gue."

"Oh, kalau gitu, gue anter ya?" tawar Bagas.

"Gue nggak bawa helm, lo ada—"

"Gue bawa mobil." Bagas mengedipkan sebelah matanya, lalu berjalan dengan gaya cool.

"Cih, sombong," ledek Acha sambil mendengus geli.

***

Mobil yang ditumpangi Bagas dan Acha berhenti di salah satu rumah di kawasan kompleks mewah. Acha pun melepas sabuk pengaman yang melekat pada tubuhnya. Kemudian ia meraih tas dan menatap Bagas.

"Thank you buat ide lo sama tumpangannya," kata Acha sebelum membuka pintu mobil.

"Lagi sarkas lo? Ide gagal kok bilang thank you?" tukas Bagas keheranan. Bagas bukannya tidak senang bila melihat Acha yang santai seperti itu. Ia hanya heran, bukankah biasanya perempuan kalau ditolak akan merasa sedih?

"Lah, serius gue! Mau gagal atau nggak, yang penting proses perjuangannya." Acha memamerkan deretan gigi rapinya. Memang ia sedikit sedih, tetapi tidak begitu mempermasalahkannnya. Toh, masih ada cara lain untuk mendapatkan hati Al. "Lo mau mampir ke rumah, nggak?"

"Boleh," jawab Bagas enteng. Ia ikut melepas sabuk pengaman.

Selanjutnya, Acha dan Bagas memasuki rumah Acha. Rumah itu cukup luas tetapi tidak begitu banyak orang. Itu karena Rika tidak begitu suka mempekerjakan banyak orang di rumahnya. Asisten rumah tangga saja hanya ada dua. Biasanya Rika ikut mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

"Mami? Mami!" panggil Acha saat mereka memasuki ruang tamu. Ia mengedarkan pandangan. Belum ada tanda-tanda Rika memunculkan batang hidungnya.

"Ew, anak Mami," ledek Bagas.

Acha menatap Bagas dengan kesal. Kemudian ia menyuruh laki-laki itu untuk duduk di kursi sofa sementara dirinya mencari Rika di kamar orang tuanya.

Bagas tidak langsung duduk sesuai suruhan Acha. Ia melihat-lihat berbagai perabotan rumah yang tergolong classy. Tidak terlalu mewah tetapi keindahannya sangat terlihat. Ada beberapa pigura-pigura besar yang terpajang di kiri tembok. Bagas mulai mengamati satu per satu foto di dalamnya. Kemudian pandangannya terhenti melihat foto Acha menggunakan kebaya dan memegang piagam SMP.

Ia mengambil ponselnya kemudian mengambil gambar pada foto itu. Ia langsung kirimkan pada Al.

[Bagas]

[Tebak, gue di rumah siapa?]

Tidak lama, Al membalas pesan itu.

[Alister]

[Rumah setan.]

[Bagas]

[Serius, anjir.]

[Alister]

[Mana gue tahu.]

[Bagas]

[Ya Allah, rumah Acha.]

[Nggak lihat, itu ada foto Acha segede itu?]

[Alister]

[Oh aja sih.]

Bagas mendengus geli. Al dengan sifat cuek dan mulut yang tidak terkontrol itu banyak disukai perempuan? Sungguh, Bagas tidak habis pikir. Haruskah Bagas membuang sifat ramahnya agar ia juga sama-sama disukai seperti Al?

Ah, tentu saja Bagas harus berpikir dua kali untuk mengubah sifatnya. Bagas tidak begitu suka menjadi pribadi yang cuek. Entah kenapa, ia tidak bisa mengontrol mulutnya untuk berhenti bicara dan menjadi pendiam.

"Eh, ada tamu ya," kata Rika yang tiba-tiba berada di ruang tamu. Ia menyambut Bagas dengan ramah dan mengulurkan tangannya. "Salam kenal, ya! Saya Mamanya Acha."

Bagas menyambut uluran tangan Rika dengan sopan. "Salam kenal juga, Tante. Saya Bagas."

"Duduk ya, nanti Acha bawain camilan," papar Rika sambil tersenyum. Ia menatap setiap inci wajah Bagas yang mulus. Dalam hatinya, ia bingung bagaimana bisa Acha tidak perlu bercerita bahwa putrinya itu mempunyai teman setampan itu. Selama hampir dua tahun sekolah di SMA Nusa Bangsa, belum pernah Rika tahu ada laki-laki seperti Bagas.

Bagas dan Rika mengambil duduk dengan posisi berhadapan di ruang tamu.

"Kamu teman sekolah Acha, ya?" tanya Rika.

Bagas menggeleng. "Bukan, Tante! Saya di SMA Citra Harapan, cuman emang temennya Acha juga."

Rika terkekeh geli. "Oh, pantes Tante nggak pernah lihat kamu. Kamu pacarnya Acha atau calon pacar?"

"Calon suami, Tante," ucap Bagas sambil tertawa pelan.

Rika tertawa kencang. Bagas memang mempunyai kepribadian yang membuat suasana terasa hangat. Sayangnya ia tidak bisa berlama-lama di sini. Begitu Acha datang, Rika pun berdiri. "Nah, itu Acha udah dateng! Baik-baik ya sama dia, Tante mau kembali ke dalam dulu." Rika berpamitan.

"Iya, Tante, makasih banyak."

Acha membawa nampan berisi dua gelas jus jeruk dan sepiring berisi cookies cokelat buatannya dulu. Ia menaruh nampan itu di atas meja, lalu duduk di depan Bagas.

"Widih, tahu aja kalau gue suka jus jeruk." Bagas mengambil gelas lalu meneguknya pelan. Lalu, ia mengambil roti pemberian Acha tadi dari dalam tasnya. "Jus jeruk paling enak dimakan sama roti. Nih, gue makan roti lo."

"Ya elah, nggak usah segitunya buat ngehibur gue kali," dengus Acha.

"Idih, siapa juga yang lagi ngehibur? GeEr banget!" Bagas menggigit roti itu dengan lahap. "Hemm ... enak juga roti lo! Buatan ART lo, ya?"

Kepala Acha seolah membesar setelah mendengar pujian itu. Ia tersenyum lebar sambil mengangkat dagunya. "Enak aja, buatan gue itu. Apa pun yang gue lakuin pasti berhasil!"

"Kecuali deketin Al, ya?" Bagas tersenyum miring.

"HIH! SOK TAHU!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!