"Kita putus!"
"putus?"
"ya. aku mau kita menjadi asing. semoga kita bisa menemukan kebahagiaan sendiri-sendiri. aku pergi,"
"Silahkan pergi. tapi selangkah saja kamu melewati pintu itu ... detik itu juga kamu akan melihat gambar tubuh indahmu dimana-mana,"
"brengsek!"
"ya. itu aku, Sayang ..."
***
Bagai madu dan racun, itulah yang dirasakan Eva Rosiana ketika jatuh dalam pesona Januar Handitama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eva Rosita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
Eva tidak pernah menyangka jika dia bisa berada di apartement milik Janu. Mempunyai trust isue itu sangat sulit untuk mudah percaya dengan orang lain, terlebih lagi jika orang itu masih asing.
Ya, harusnya Eva tidak gampang dan mau mau saja ketika Janu mengajak ke tempatnya dengan alasan makan bareng. Bukankah Janu itu masih bisa di anggap orang asing? belum ada sebulan mereka kenal.
Tapi Eva sendiri bingung kenapa dia mau mau saja dan lebih terbuka untuk menerima kehadiran Janu.
Bukan karena Janu perhatian dan si Eva tidak pernah mendapat perhatian dari cowok. Bukan. Bukan seperti itu. Banyak kok cowok yang berusaha memberinya atensi untuk Eva, tapi sebelum masuk si Eva sudah memberi batasan.
Rasanya beda saja dengan Janu ini. Seperti ada magnet sendiri yang membuat Eva terbuka dan tertarik.
“Jadi seminggu ini lo nginep di apart si Rena-Rena itu?” tanya Janu.
Ini mereka lagi duduk dibawah sambil makan. Didepan mereka ada layar besar yang ngoceh sendiri dengan volume kecil.
Eva menggumam diiringi anggukan kepala, mulutnya masih asyik mengunyah. Nasi padang, ini makanan terenak menurut Eva. Jarang sekali dia makan nasi padang dengan lauk lengkap begini, mengingat dia hidup disini tidak bisa hura-hura meski sekedar untuk makan enak.
Kalau tak pandai mengatur duitnya, di jamin makan mie instan mulu si Eva. Ya bagaimana, dia kerja selain untuk menghidupi diri sendiri di rantau, juga harus kirim duit ke kampung.
“Pantes gue bolak-balik samperin ke kos, tapi lo nya nggak ada,” gumam Janu yang teringat betapa kesalnya karena tidak bertemu Eva.
“Lo nyariin gue?” tanya Eva dengan tatapan penasarannya.
“Iya,”
“Kenapa?”
“Kangen,” enteng banget itu mulut Janu ngomong begitu, tanpa memikirkan jantungnya Eva yang berat. Berat karena detakannya mencepat.
Untung dimulut gadis itu sudah ketelen nasinya. kalau enggak, dijamin si Janu kena sembur.
Eva diam dengan mata yang memicing menatap Janu penuh selidik.
“Pasti mau bilang kalo gue gombal atau boong?!” sahut Janu, yang bisa menebak apa yang akan Eva ucapkan.
“Cenayang lo?” cibir Eva. Bibirnya mencebuk karena apa yang Janu tuduhkan memang benar.
“Bukan. Tapi, sayang lo!”
“Haish!” Eva mendengus geli dan tak bisa menyembunyikan senyum malu-malunya.
“Bagaimana?” tanya Janu ambigu.
“Apanya?”
“Kira-kira sekarang, pelet gue udah nyanatol apa belom?”
“Pakai dukun dari mana sih?”
“Kenapa memang? mulai tertarik ya sama itu pelet?”
“Iya lagi,”
Kali ini giliran Janu yang tersenyum, sedikit salah tingkah. Tidak menyangka jika Eva akan menjawab seperti itu.
Gadis ini memang benar-benar beda. Itu yang ada dipikiran Janu dan semakin membuatnya gila.
“Kita jadian aja yuk, Va?”
Sumpah ya, ini Janu ngajak pacaran apa ngajak beli nasi uduk? ceplas-ceplos banget itu mulut. Mana posisinya mereka lagi makan nasi padang alih-alih makan steak biar dikata romantis dikit.
“Enggak dulu deh,”
“Kenapa? lo maunya gue bawa bunga di tempat romantis ya?”
Eva menggeleng, “Gue bukan cewek yang demen begituan, btw,”
Sudah Janu tebak. Eva memang bukan cewek yang seperti pada umumnya, yang harus di tembak di tempat yang romantis, diberi bunga atau coklat dan dengan kata-kata yang puitis.
Eva ini makhluk langkah yang harus Janu lestarikan dan dijaga baik-baik.
“Ditolak ya, gue?”
“Coba lain kali dong!”
Ini mereka lagi ngomongin perasaan loh. Kok kesannya seperti anak remaja yang nongkrong sambil ngopi. Santai banget mereka itu.
Tapi, yang tidak mereka tahu, baik Eva maupun Janu, keduanya itu sama-sama gugup aslinya. Memang mereka berdua saja yang pandai mengontrol diri.
Alasan Eva menolak Janu, karena dia masih abu-abu perasaannya ke cowok itu. Eva tidak mau menerima Janu hanya karena tertarik saja. Terlalu singkat menurutnya perasaan yang tiba-tiba hadir ini, biarkan nanti hatinya merasakan penuh dulu.
Dan untuk Janu, tak dipungkiri jika dia sedikit sedih karena ditolak. Tapi mendengar kalimat terakhir Eva tadi yang menyuruhnya untuk mencoba lain kali, sudah cukup membuatnya mengerti jika gadis itu sebenarnya butuh waktu untuk memahami perasaannya.
Bisa disimpulkan Janu tidak benar-benar ditolak kan?
Setalah obrolan tadi, tidak ada rasa canggung gara-gara kalimat penolakan dari Eva. Mereka berdua lanjut nonton, yang kali ini benar-benar nonton. Tak seperti tadi yang tv itu di anggurkan.
Mereka nonton film zombie, sesuai keinginan Eva saat Janu bertanya tadi.
“Ternyata lo suka film horor juga ya?” Janu datang dari kamarnya untuk mengambil selimut tadi. Karena Eva masih memakai dress kerjanya tadi, dress yang sangat pendek.
Janu takut Eva tidak nyaman jika harus duduk tegak seperti itu. Paling nyaman nonton itu sambil senderan, kakinya naik ke atas sofa dan duduk bersila. Jadi tadi Janu bawakan selimut untuk Eva.
“Tergantung. Kalo zombie begini sih suka, seru aja liat gimana mereka yang sembunyi dan bertahan hidup. Tapi kalo horornya demit, gue kagak suka. Serem,” terang Eva.
Janu kepalanya manggut-manggut. Selimut yang ia bawa tadi di bentangkan ke atas pahanya Eva.
“Biar nyaman,” katanya membuat Eva tersenyum tipis.
Sepengertian itu memang Janu.
Eva memundurkan pantatnya agar bisa bersandar, kedua kakinya juga sudah di angkat, duduk bersila seperti yang Janu lakukan. Film pun mulai diputar dan pencahayaan diruangan itu sengaja dibuat gelap agar nontonnya makin asik.
Jangan harap disini ada adegan dimana si cewek yang takut lalu tak sengaja memeluk cowoknya. Nggak ada. Eva kalau takut ya merem.
Awalnya masih biasa saja, saling diam karena fokus dengan apa yang mereka tonton sampai dimana ada adegan ada seorang anak yang rela kesakitan karena digigit Ibunya sendiri yang menjadi zombie. Disitulah rasa sesak mulai datang mengganggu Eva.
Bayangan demi bayangan muncul di otaknya tatkala dia juga sering mengorbankan keinginannya hanya agar bisa mengirim uang ke Ibunya. Seperti kejadian tadi. Keluarganya tidak ada yang tahu bagaimana lelahnya dia mencari uang sampai dilecehkan seperti tadi.
Eva memang benci keadaan ini, Eva juga benci dengan nasibnya sendiri. Tapi dia tidak bisa membenci Ibu dan Bapaknya. Meski sadar mereka sering lebih mementingkan anak yang lain, tapi tetap saja Eva tidak bisa membenci mereka. Dia hanya merasa sakit karena keadaannya sendiri.
Dan perlu kalian tahu, sakitnya dibedakan itu sangat nyata rasanya. Sakit sekali.
“hei,” pelan Janu bersuara dan tangannya mengusap pelan bahu Eva.
Sedari tadi memang Janu lebih suka memperhatikan Eva dari pada melihat video mayat hidup yang suka makan otak manusia itu. Jadi Janu tahu saat Eva tidak sadar mengeluarkan air matanya.
Eva terkesiap, menoleh ke Janu dan terkekeh. “gue nggak tau kalo ada adegan begini. Kasian gue liatnya,” elaknya karena tertangkap basah Janu.
Janu diam sejenak, dia tahu jika Eva berbohong. Gadis itu pasti bukan sendih karena film, tapi sedih karena memikirkan nasibnya sendiri.
“Mau gue pinjemin bahu? Dijamin kokoh dan gratis kok,” tawar Janu dengan lembut. Menepuk pelan bahunya sendiri, seolah meyakinkan Eva jika dia serius dengan ucapannya.
Evanya bungkam, tak berani mengerjapkan matanya. Karena sekali kedip saja air mata itu pasti menetes lagi.
Tahu jika gadis itu punya kepala seperti batu dan gengsi segede dosanya, Janu tanpa izin mendekat dan menarik kepala Eva untuk dia sandarkan didadanya.
Padahal tadi mau minjemin bahu, tapi malah dibawa kedadanya.
“Malam ini telinga gue lagi budek. Silahkan kalau mau nangis, filmnya memang bikin sedih ternyata,” gumam Janu sambil mengelus pelan rambut Eva.
Bersyukur karena ternyata Eva menurut dan tidak berontak karena kelancangannya.
Eva terkekeh pelan karena tahu Janu bohong. Tapi sialnya kekehan itu lama-lama berubah menjadi suara isakan yang tertahan.
Dengan pekanya Janu mengambil remot disebelahnya, dan menaikkan volumenya agar Eva bisa menangis puas tanpa harus malu karena dia mendengarnya.
Janu bisa merasakan baju dibagian dadanya dicengkeram kuat seiring dengan suara tangis pilu yang keluar dari mulut Eva.
Gadisnya menangis, dan itu membuat Janu ikut merasakan sesaknya. Dalam otaknya bertanya, kiranya sesakit apa yang Eva rasakan sampai tangisnya pilu begini. Gadis ini selalu terlihat kuat, tapi siapa sangka jika dibalik kuatnya ada kerapuhan seperti ini.
Gadisnya?
Ya, Janu sudah memantapkan hatinya. Gadis yang menangis dipelukannya sekarang adalah gadisnya. Akan dia pastikan dan akan dia usahakan apa pub itu untuk membuat Eva menjadi miliknya.
Cup
Janu mencuri satu kecupan di kening Eva. Gadis itu tertidur dengan sesekali sesegukan. Mungkin lelah menangis sampai membuat matanya panas dan berakhir ketiduran.
Satu tangan Janu masih setia memberi usapan ke lengan Eva meski tahu jika gadis itu sudah terlelap. Satu tangannya lagi ia gunakan untuk menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik Eva.
"lo cantik, Va. Cewek secantik lo nggak cocok merasakan sakit begini," bisiknya sangat lirih.
Cup
Kecap kecup mulu, Jan?
kak kenapa ga di fizo aja sih novel ini..