KESHI SANCHEZ tidak pernah tahu apa pekerjaan yang ayahnya lakukan. Sejak kecil hidupnya sudah bergelimang harta sampai waktunya di mana ia mendapatkan kehidupan yang buruk. Tiba-tiba saja sang ayah menyuruhnya untuk tinggal di sebuah rumah kecil yang di sekelilingnya di tumbuhi hutan belukar dengan hanya satu orang bodyguard saja yang menjaganya.
Pria yang menjadi bodyguardnya bernama LUCA LUCIANO, dan Keshi seperti merasa familiar dengan pria itu, seperti pernah bertemu tetapi ia tidak ingat apa pun.
Jadi siapakah pria itu?
Apakah Keshi akan bisa bertahan hidup berduaan saja bersama Luca di rumah kecil tersebut?
***
“Kamu menyakitiku, Luca! Pergi! Aku membencimu!” Keshi berteriak nyaring sambil terus berlari memasuki sebuah hutan yang terlihat menyeramkan.
“Maafkan aku. Tolong jangan tinggalkan aku.” Luca terus mengejar gadis itu sampai dapat, tidak akan pernah melepaskan Keshi.
Hai, ini karya pertamaku. Semoga kalian suka dan jangan lupa untuk selalu tinggalkan jejak🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fasyhamor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ruang Bawah Tanah
Rio berjalan memasuki sebuah ruang bawah tanah yang berada di belakang rumah para penjaganya. Pintu ruang bawah tanah itu berada di dekat dapur kotor dan pintunya menyatu dengan warna tembok, jadi orang-orang tidak akan ada yang tahu tentang ruang bawah tanah ini.
Bahkan putrinya sendiri, Keshi pun tidak tahu apa-apa tentang ini.
Ruang bawah tanah itu sudah ada sejak Keshi lahir ke dunia sekaligus saat ia di tinggal pergi untuk selama-lamanya oleh sang istri tercinta. Alea Moretti, wanita cantik dengan rambut berwarna cokelat keemasan, wanita itu adalah cinta pertama dan terakhir bagi Rio Sanchez.
“Boss,” seorang penjaga yang memakai setelan jas hitam menyapanya saat Rio sudah menjejakkan kakinya di lantai ruang bawah tanah tersebut.
Di ruang bawah tanah tersebut ada sekitar lima jerusi besi yang isinya berbeda-beda. Ada yang berisi langsung dengan ruangan gelap tanpa jendela, ada pula ruangan berisi tempat pelatihan penembakan untuk para penjaganya.
Rio melirik penjaga yang menyapanya tadi dengan anggukan kepala, ia kembali melangkah mendekati jeruji besi bagian kanan yang menghubungkannya dengan ruang latihan penembakan.
“Dante.” Rio memanggil seorang pria usia 28 tahun yang sedang berlatih menembak di sana.
Mendengar panggilan namanya, pria bernama Dante itu menoleh dan menurunkan senjatanya. Satu alisnya terangkat, bingung melihat Rio mau repot-repot turun ke ruang bawah tanah ini karena pria paruh baya itu bisa terbilang jarang mengunjungi ruang bawah tanah ini.
“Ada apakah gerangan kamu sampai turun ke sini?” Dante bertanya dengan nada jenaka, sebentuk senyum mencemooh muncul di wajahnya saat melihat Rio yang menunjukkan raut wajah menahan kesal.
“Aku mendengar bahwa anak buahku tidak ada yang berjaga di mansion ini tiga hari yang lalu. Apa kamu membawa anak buahku?” Rio bertanya pada pria muda itu.
Dante menaruh senjatanya di atas meja yang berada di ruangan tersebut. Satu tangannya masuk ke dalam saku celana. “Ya, aku lupa mengatakannya kepadamu. Aku perlu meminjam beberapa anak buahmu untuk membantuku kemarin.”
Rio berdecak tak suka. “Seharusnya kamu izin dulu padaku, dasar bocah tidak sopan.”
Dante tertawa terbahak-bahak, ia memegang perutnya yang bergetar karena tawanya itu. “Maaf, maaf. Kemarin itu urgent sekali.”
“Bagaimana bisa anak buahku mau membantumu?”
Dante mengangkat alisnya mendengar pertanyaan pria paruh baya di hadapannya. “Hanya ancaman di sana dan di sini.”
Rio tidak habis pikir bahwa dirinya bisa mempunyai keponakan seperti ini, Dante benar-benar mirip dengan kakak iparnya itu. Keduanya sama-sama tidak pandang bulu terhadap orang di sekitarnya dan memiliki sikap menyebalkan.
“Oh, benar. Bagaimana kabar adik kecilku?” Dante bertanya, tangannya kembali mengangkat senjatanya dan membidiknya pada objek di depan sana.
Rio menatap kegiatan Dante yang sedang menembakan beberapa peluru ke depan sana. “Dia bukan adik kecilmu.”
“Dia adik kecilku, tentu saja. Dia sepupuku dan sudah menjadi adikku.” balas Dante tak acuh.
Rio lagi-lagi berdecak kesal, berbicara dengan Dante selalu menyulut emosinya. Bapak dan anak itu sama-sama menyebalkan dan tidak memiliki sopan santun sama sekali kepadanya.
“Kudengar dia sudah akan memasuki masa kuliah?” Rio tidak mengatakan apa-apa lagi, membuat Dante kembali melempar pertanyaan kepada pamannya.
“Dia sudah 19 tahun. Kuperingatkan padamu sekali lagi, Dante. Jangan sering-sering bertemu dengan putriku, jangan mengatakan apa pun tentang pekerjaan kita pada putriku, atau kau akan tahu akibatnya.” Rio membuat ancaman.
Dante mendengkus. “Paman, tidakkah seharusnya kamu berpikir bahwa di dunia ini, semua rahasia yang sedang kamu sembunyikan bisa saja terkuak dengan mudah di hadapan putrimu?”
“Maka dari itu kamu jangan mengatakan sesuatu pada putriku. Camkan itu baik-baik, Dante.” tanpa menunggu jawaban keponakannya, Rio segera berjalan keluar dari ruang latiahn itu dan berjalan menaiki tangga menuju lantai atas.
Dante menjilat pipi dalamnya dengan ujungnya lidahnya seraya menatap kepergian pamannya dengan tatapan tajam.
“Sayangnya aku bukan anak yang penurut, paman.” Dante bergumam, ia menyeringai dengan tangan terus membidik objek di hadapannya dan menembaknya berkali-kali.
...\~\~\~...
Rio melirik sekitarnya saat sudah menaiki tangga menuju lantai atas dari ruang bawah tanah itu. Tubuhnya sedikit berjengkit kaget ketika bahunya hampir bertabrakan dengan bahu seseorang. Rio menoleh dan mendapati Luca sedang berdiri di hadapannya dengan hanya menggunakan kaos putih yang mengepas di tubuh kekarnya.
“Luc, mengapa kamu ada di sini?” Rio melirik tangan kanan Luca yang sedang memainkan pematik besi bergambar naga lalu bertanya pada bodyguard baru milik putrinya.
“Sir Sanchez, saya sehabis merokok.” balas pria itu seadanya.
Rio mengangguk dan terpaksa memberikan senyum tipis. “Tidak masalah untuk merokok, sangat wajar jika seorang pria butuh pelampiasan saat bekerja dengan merokok.”
“Apa yang Anda lakukan di sini, Sir?” Luca bertanya.
“Aku? Aku sehabis menemui keponakan nakalku yang sedang berada di ruang bawah tanah.” Rio menjawabnya.
Luca tidak menunjukkan ekspresi apa pun, matanya menelisik wajah pria di hadapannya yang semakin hari semakin di makan usia.
“Saya baru dengar ada ruang bawah tanah di sini.”
Rio terkekeh dan menepuk bahu kekar milik Luca. “Kamu baru bekerja beberapa hari di sini, besok aku akan mengajak kamu dan yang lainnya untuk berlatih menembak di ruang bawah tanah.”
Luca menarik senyum sangat tipis di sudut bibirnya. “Tentu, Sir Sanchez.”
Pria yang menjadi ayah Keshi itu mengangguk lalu menepuk dada bidang Luca. “Baiklah, soldier. Aku akan masuk untuk beristirahat.” pamit Rio pada pria di hadapannya seraya berjalan melewati tubuh tinggi Luca.
Melihat pria tua itu sudah berjalan semakin jauh dari dirinya, Luca segera berjalan menuju sudut rumah yang terlihat temaran tanpa lampu di atasnya dan hanya bermodalkan dari lampu di atas pagar mansion. Pria itu mengeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor seseorang.
“Hei.” Luca menyapa pria di seberang telepon.
“Hei, Luc. Apa ada laporan terbaru?”
Luca melirik sekitarnya sekali lagi, memastikan tidak ada yang melihat dan mengupingnya. “Aku punya laporan baru.”
“Apa itu?”
“Rio Sanchez memiliki sebuah ruang bawah tanah yang berada di belakang rumah untuk para penjaganya.” Luca melaporkan. “Aku mengetahui fakta lain bahwa dia memiliki seorang keponakan.”
Tidak ada balasan dari seberang teleponnya, tak berselang lama, suara orang kembali terdengar dari ponselnya. “Bagus, ini laporan yang sangat baik. Kabarkan lagi tentang semua yang di miliki Rio Sanchez kepada kami, Luc.”
Luca tidak perlu mendengar jawaban itu, ia segera mematikan teleponnya dan memasukkannya kembali ke dalam saku celana. Matanya pun kembali berpendar pada sekitarnya, memastikan tidak ada yang mendengar perkataannya.