Setelah kematian yang tragis, dia membuka matanya dalam tubuh orang lain, seorang wanita yang namanya dibenci, wajahnya ditakuti, dan nasibnya dituliskan sebagai akhir yang mengerikan. Dia kini adalah antagonis utama dalam kisah yang dia kenal, wanita yang dihancurkan oleh sang protagonis.
Namun, berbeda dari kisah yang seharusnya terjadi, dia menolak menjadi sekadar boneka takdir. Dengan ingatan dari kehidupan lamanya, kecerdasan yang diasah oleh pengalaman, dan keberanian yang lebih tajam dari pedang, dia akan menulis ulang ceritanya sendiri.
Jika dunia menginginkannya sebagai musuh, maka dia akan menjadi musuh yang tidak bisa dihancurkan. Jika mereka ingin melihatnya jatuh, maka dia akan naik lebih tinggi dari yang pernah mereka bayangkan.
Dendam, kekuatan, dan misteri mulai terjalin dalam takdir barunya. Tapi saat kebenaran mulai terungkap, dia menyadari sesuatu yang lebih besar, apakah dia benar-benar musuh, atau justru korban dari permainan yang lebih kejam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Bayangan di Balik Tawaran
Setelah kejadian malam itu, Seraphina dan Lucian tidak bisa beristirahat dengan tenang. Mereka tahu bahwa mata-mata Azrael masih berkeliaran di sekitar mereka, mengawasi setiap langkah mereka.
Seraphina duduk di ambang jendela penginapan, menatap kota Nordin yang mulai sepi. Udara dingin menerpa wajahnya, membawa aroma tanah basah setelah hujan sore tadi. Di belakangnya, Lucian duduk di kursi dengan pedang di pangkuannya, mengasah bilahnya dengan hati-hati.
"Kau belum tidur?" tanya Lucian tanpa mengangkat kepalanya.
Seraphina menggeleng. "Sulit untuk tidur dengan seseorang yang mengintai di luar."
Lucian mendengus. "Aku bisa menangkap satu atau dua orang jika kau mau."
Seraphina tersenyum tipis. "Tidak perlu. Kita biarkan saja mereka berpikir bahwa kita tidak menyadari kehadiran mereka. Dengan begitu, kita bisa mencari cara untuk membalikkan keadaan."
Lucian berhenti mengasah pedangnya dan menatap Seraphina. "Kau punya rencana?"
Seraphina menghela napas. "Bukan rencana, lebih kepada tebakan. Azrael tidak akan memberikan tawaran berbahaya tanpa alasan. Dia menginginkan sesuatu dari kita, mungkin lebih dari sekadar aliansi."
Lucian bersandar di kursinya. "Kau curiga dia ingin kita menjadi bagian dari kelompoknya?"
Seraphina menatap langit malam. "Kemungkinan besar. Jika benar, kita harus lebih waspada."
Keesokan harinya, mereka meninggalkan penginapan lebih awal. Mereka berpura-pura menjalani rutinitas biasa, tetapi sebenarnya sedang mengamati siapa saja yang masih mengikuti mereka. Saat berjalan di antara lorong pasar yang ramai, Seraphina merasakan tatapan menusuk dari sudut jalan.
"Ada dua orang di belakang kita," bisik Lucian di dekat telinganya.
Seraphina tetap berjalan santai. "Mereka tidak akan menyerang di tempat ramai. Kita buat mereka terpojok di tempat yang lebih sepi."
Mereka berbelok ke jalan kecil di belakang toko rempah, berjalan lebih lambat seolah tidak menyadari bahwa mereka diikuti. Saat langkah kaki terdengar semakin dekat, Lucian berbalik cepat, mencabut pedangnya dan mengarahkannya ke salah satu penguntit.
"Cukup bermain-main," katanya dingin.
Pria yang dihadapinya hanya tersenyum tipis. "Santai, kami hanya ingin menyampaikan pesan."
Seraphina melipat tangan. "Pesan dari siapa? Azrael?"
Pria itu mengangguk. "Dia ingin bertemu kalian di tempat yang lebih... pribadi. Malam ini, di gudang tua di distrik selatan."
Lucian menyipitkan mata. "Dan jika kami menolak?"
Pria itu tersenyum lebih lebar. "Aku yakin kalian tidak akan menolak. Azrael memiliki informasi yang bisa mengubah segalanya."
Seraphina dan Lucian saling berpandangan. Tawaran itu mencurigakan, tetapi juga terlalu menarik untuk diabaikan.
"Baiklah," kata Seraphina akhirnya. "Kami akan datang."
Pria itu membungkuk sedikit sebelum menghilang ke kerumunan, meninggalkan mereka berdua dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Lucian menghela napas panjang. "Aku tidak suka ini."
Seraphina tersenyum miring. "Siapa yang suka? Tapi kita tidak bisa menghindarinya selamanya."
Lucian mengangguk. "Kalau begitu, kita harus bersiap."
Malam itu, segalanya akan berubah.
.
.
Malam semakin larut, dan udara di kota Nordin terasa lebih dingin dari biasanya. Seraphina dan Lucian berdiri di atap sebuah bangunan tua, mengawasi distrik selatan yang diterangi lampu-lampu redup. Dari tempat ini, mereka bisa melihat gudang tempat pertemuan yang dijanjikan.
Lucian menyentuh gagang belati di pinggangnya. "Masih yakin ingin pergi?" tanyanya dengan suara rendah.
Seraphina menatap gudang itu dengan ekspresi tenang. "Kita butuh informasi. Jika Azrael benar-benar tahu sesuatu yang bisa mengubah segalanya, maka kita harus mengambil risiko."
Lucian menghela napas. "Baiklah. Tapi jika ini jebakan, kita tidak akan tinggal diam."
Mereka melompat turun dari atap dengan lincah, menyelinap di antara bayangan bangunan sebelum akhirnya tiba di depan gudang. Pintu kayu besar itu sudah terbuka sedikit, seolah memang telah disiapkan untuk mereka.
Saat mereka masuk, suasana di dalam terasa sunyi. Hanya ada beberapa obor yang menerangi ruangan luas itu, memberikan cahaya redup yang memperlihatkan siluet rak-rak kosong dan peti kayu tua.
Tiba-tiba, suara langkah kaki menggema dari sudut ruangan. Dari kegelapan, seorang pria dengan mantel hitam panjang melangkah maju. Wajahnya tertutup topeng perak, tetapi mata tajamnya menatap lurus ke arah mereka.
"Kalian datang lebih cepat dari dugaanku," ucap pria itu, suaranya dalam dan penuh perhitungan.
Seraphina menyipitkan mata. "Azrael, aku mengira kau akan lebih berhati-hati dalam mengundang tamu."
Azrael tertawa kecil. "Aku hanya mengundang mereka yang menarik perhatianku. Dan kalian berdua lebih dari sekadar menarik."
Lucian melipat tangan di dada. "Cukup basa-basinya. Apa yang kau inginkan?"
Azrael melangkah lebih dekat. "Bukan aku yang menginginkan sesuatu. Tapi kalian."
Seraphina menegang. "Maksudmu?"
Azrael mengangkat satu gulungan kertas dari balik mantelnya dan melemparkannya ke arah mereka. Lucian menangkapnya dan membukanya perlahan. Saat membaca isinya, ekspresi wajahnya berubah serius.
"Ini... mustahil," gumamnya.
Seraphina mengambil gulungan itu dan membacanya sendiri. Tulisan di dalamnya adalah catatan rahasia tentang keberadaan sebuah organisasi yang lebih besar dari yang mereka duga. Organisasi yang selama ini menarik benang di balik layar, memanipulasi kekuatan di berbagai kuil, termasuk Kuil Assassin dan Kuil Sihir.
Azrael tersenyum melihat ekspresi mereka. "Kalian pikir siapa yang mengatur semua ini? Kalian hanya melihat permukaan. Sebenarnya, yang berkuasa bukanlah para pemimpin kuil, melainkan bayangan di belakang mereka."
Lucian mengepalkan tangannya. "Jika ini benar, maka semua yang kita lakukan selama ini sia-sia. Kita hanya bidak dalam permainan mereka."
Seraphina menatap Azrael tajam. "Apa maumu? Kenapa kau memberitahu kami semua ini?"
Azrael menatapnya dalam diam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Karena aku butuh sekutu yang cukup kuat untuk menghancurkan mereka."
Lucian dan Seraphina saling berpandangan. Tawaran itu terlalu berisiko, tetapi juga terlalu penting untuk diabaikan.
Seraphina menarik napas dalam. "Jika kita menolak?"
Azrael tersenyum dingin. "Maka kau akan tetap menjadi boneka mereka, tanpa pernah menyadarinya."
Hening.
Lucian akhirnya berbicara. "Kami butuh waktu untuk berpikir."
Azrael mengangguk. "Aku akan menunggu. Tapi ingat, bayangan itu tidak akan membiarkan kalian tenang begitu saja."
Seraphina dan Lucian berbalik pergi, meninggalkan gudang dengan kepala penuh pertanyaan. Malam ini, segalanya berubah.
.
.
Malam semakin larut, tetapi di dalam kepala Seraphina, badai pertanyaan terus berkecamuk. Informasi yang mereka dapatkan dari Azrael bukan sekadar rumor liar—ini adalah kenyataan yang bisa mengubah segalanya.
Langkah kaki mereka bergema di gang sempit yang menuju ke penginapan mereka. Lucian berjalan di sampingnya, tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Kau percaya padanya?" tanya Lucian akhirnya, suaranya hampir tenggelam oleh suara angin malam.
Seraphina menarik napas dalam, merasakan dinginnya udara menusuk kulitnya. "Aku tidak tahu. Tapi yang pasti, informasi ini terlalu berharga untuk diabaikan begitu saja."
Lucian mengangguk pelan. "Kalau itu benar, maka kita tidak bisa hanya diam. Tapi bagaimana jika ini hanya jebakan lain?"
Seraphina menghentikan langkahnya dan menatap Lucian dengan mata tajam. "Kita tidak akan tahu jika kita tidak menyelidikinya."
Lucian menyeringai. "Aku sudah menduga kau akan berkata seperti itu."
Mereka kembali berjalan, namun tiba-tiba Seraphina menghentikan langkahnya lagi. Ada sesuatu yang aneh.
"Lucian..." bisiknya.
Lucian tidak menjawab, tetapi refleksnya langsung siaga. Insting seorang assassin seperti mereka tidak pernah salah. Mereka sedang diawasi.
Tanpa membuang waktu, Seraphina bergerak cepat, melompat ke atap bangunan terdekat. Lucian mengikutinya dengan gesit. Dari atas, mereka bisa melihat bayangan yang bergerak di kejauhan, melintas di antara gang-gang sempit.
"Ada tiga orang," gumam Lucian, matanya memperhatikan gerakan mereka dengan tajam.
Seraphina mengangguk. "Mereka cukup terlatih. Tidak mungkin ini hanya sekadar kebetulan."
Lucian menyeringai, tangannya dengan lincah meraih belati di pinggangnya. "Kita main-main sebentar?"
Seraphina tersenyum tipis. "Jangan terlalu kasar."
Dalam sekejap, mereka melesat turun dari atap, memburu tiga bayangan misterius itu. Salah satu dari mereka menyadari kehadiran Seraphina dan Lucian, dan tanpa ragu langsung berlari ke arah yang berlawanan.
Namun, Seraphina lebih cepat. Dia melompat dan mendarat tepat di hadapan pria itu, membuatnya terpaksa berhenti mendadak.
"Siapa kau?" tanya Seraphina dingin.
Pria itu tidak menjawab, tetapi langsung menyerang dengan belati tipis. Seraphina menghindar dengan mudah, lalu menendang tangan pria itu, membuat senjatanya terlepas.
Sementara itu, Lucian berhadapan dengan dua orang lainnya. Dengan gerakan yang hampir seperti tarian, dia menghindari serangan mereka dengan mudah, lalu membalas dengan pukulan cepat ke leher salah satu dari mereka. Pria itu terhuyung, lalu jatuh pingsan.
Pria terakhir tampak ragu, tetapi sebelum dia bisa melarikan diri, Lucian sudah berada di belakangnya dan menempelkan belatinya ke lehernya.
"Bicaralah," bisik Lucian. "Siapa yang mengirim kalian?"
Pria itu menggigit bibirnya, lalu tertawa kecil. "Kalian tidak akan bisa lari dari mereka."
Seraphina menyipitkan mata. "Mereka siapa?"
Pria itu hanya tersenyum, lalu tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat. Sesaat kemudian, busa keluar dari mulutnya dan dia jatuh ke tanah, tidak bergerak lagi.
Lucian mengutuk pelan. "Racun."
Seraphina menggertakkan giginya. Mereka baru saja mendapatkan petunjuk, tetapi orang itu memilih mati daripada berbicara.
Lucian menatap pria yang masih hidup di hadapannya. "Kau juga ingin mati seperti dia?"
Pria itu tampak ketakutan, keringat mengalir di pelipisnya. "Aku hanya disuruh mengawasi! Aku tidak tahu banyak!"
Seraphina berjongkok di depannya. "Siapa yang menyuruhmu?"
Pria itu menelan ludah. "Aku... aku tidak tahu namanya. Aku hanya mendapat perintah dari seseorang di pelabuhan."
Seraphina dan Lucian saling berpandangan. Pelabuhan? Itu bisa berarti banyak hal.
Seraphina menghela napas, lalu berdiri. "Pergi sebelum aku berubah pikiran."
Pria itu tidak menunggu perintah kedua. Dia segera berlari ke dalam kegelapan, meninggalkan dua jasad rekannya di belakang.
Lucian menyarungkan belatinya. "Jadi, ke pelabuhan?"
Seraphina mengangguk. "Ya. Jika ini ada hubungannya dengan organisasi bayangan yang disebut Azrael, kita tidak boleh membuang waktu."
Mereka berdua menghilang ke dalam bayangan malam, melangkah menuju pelabuhan yang kini menyimpan lebih banyak misteri.
Al-fatihah buat neng Alika beliau orang baik dan Allah menyayangi orang baik, beliau meninggal di hari Jumat bertepatan setelah malam nisfu syabaan setelah tutup buku amalan.. semoga beliau di terima iman Islamnya di ampuni segala dosanya dan di tempatkan di tempat terindah aamiin ya rabbal alamiin 🤲