"Itu anak gue, mau ke mana lo sama anak gue hah?!"
"Aku nggak hamil, dasar gila!"
Tragedi yang tak terduga terjadi, begitu cepat sampai mereka berdua tak bisa mengelak. Menikah tanpa ketertarikan itu bukan hal wajar, tapi kenapa pria itu masih memaksanya untuk tetap bertahan dengan alasan tak masuk akal? Yang benar saja si ketua osis yang dulu sangat berandal dan dingin itu!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Skyeuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Jay menghela napas panjang, kali ini dia sering lelah dan banyak pikiran mengenai perusahaannya, belum lagi perkuliahan di semester pertama yang tentu saja banyak sekali kegiatan yang harus dia hadapi. Mulai dari pengenalan mahasiswa baru s2 sampai pembentukan organisasi, beruntung sekali dalam perjalanan kuliah lanjutannya kali ini tidak sesibuk semester awal s1.
"Jay, lo tuh udah lama nggak ke diskotik kenapa dah? Padahal banyak cewek cantik yang masih muda," ucap Joni yang memang sejak bulan lalu sering bolak-balik ke rumahnya dengan alasan pekerjaan mereka.
Sebenarnya tidak ada masalah sama sekali karena nyatanya mereka juga kerja sama soal saham, hanya saja bagi Jay anak itu terlalu banyak membicarakan hal-hal tidak penting saat berada di dekatnya. Percayalah, Jay tipe manusia yang tidak suka keributan sekecil apapun, ke pesta saja jika memang ada perlu atau urusan yang menjadikannya sebagai tamu undangan khusus.
"Makan saja cokelat Arabmu itu dan duduk tenang," katanya sambil memijat pelipis.
Pusing sekali menanggapi Joni yang mulutnya tak bisa diam, ia akui Joni memang paling dekat dengannya, tapi terkadang dia tidak mau mengenal anak itu. Hebatnya lagi adalah mereka berteman sejak kecil, tentu saja dengan Suni juga. Bedanya Suni sedikit kalem daripada Joni yang embernya bukan main.
"Tapi enak loh ini cokelat, lu beli yang gadungan ya? Rasanya beda kayak cokelat yang pernah dikasih bokap gue."
Joni sepertinya mulai bicara ngawur alias ke mana aja, Jay tak mempedulikan ocehan pria itu lagi karena menurutnya tidak penting. Terlebih jika masih jam kerja. Jay pantang untuk diganggu, dia juga laki-laki yang suka membuat onar tapi bukan dalam hal pekerjaan. Joni yang kesal akhirnya memilih diam, dia mengotak-atik ponselnya seperti sedang mengetik sesuatu sambil terus mengunyah cokelat Arab yang terasa berbeda dengan cokelat yang pernah dia makan sebelumnya. Entah apa, tapi yang pasti rasa manisnya cukup berbeda dan bisa membuat perut kenyang.
"Tapi kenapa lo sama Ning tiba-tiba putus? Terus kalian jadi asing begitu," Joni sepertinya memasrahkan diri ke dalam kandang buaya yang lapar.
"Kayaknya lo santai banget hari ini, beresin surat menyurat ke perusahaan besar pokoknya gue mau malam ini selesai!"
Nah, kan dia terjebak dan tidak bisa keluar kalau sudah seperti itu. Untuk menjawab semua pertanyaan kenapa dirinya membantu juga dalam pekerjaan sekretaris Jay, itu semua karena kesepakatan mereka di awal yaitu, menggantikan sekretaris pribadi Jay selama satu tahun jika memang perusahaannya ini bekerja sama dengan konglomerat seperti keluarga Jay. Sayang seribu sayang, Joni lebih suka bekerja sendirian daripada membantu orang lain, kalau dibantu sih tentu saja mau.
Anak itu nyengir, "Jangan gitulah boss, masa kayak gitu sama anak magang yang baru balik dari Cina ini," katanya sambil cengengesan dan memijat pundak Jay tanpa sungkan.
"Justru itu, anak baru lebih baik banyak bekerja agar nanti terbiasa," Jay meliriknya dengan tatapan biasa saja, tapi bagi Joni itu adalah peringatan besar.
"Hehe, baik Pak!" katanya mengangkat tangan kanannya dan memberi hormat pada Jay. Sementara Jay sendiri hanya bisa menghela napas panjang, sungguh hari itu merupakan hari paling melelahkan seumur hidupnya, lebih tepatnya seluruh tenaganya terkuras saat bersama Joni. Anehnya mereka tetap menjadi teman baik, sepelik apapun masalah dan perdebatan yang terjadi di antara keduanya.
Sepeninggal Joni, Jay kembali menyenderkan punggungnya pada kursi kantor. Memejamkan mata karena merasa cukup lelah dan kewalahan dalam menangani beberapa hal akhir-akhir ini. Beruntung sekali sekarang sudah masuk masa perkuliahan seperti biasa, beruntung yang kedua kalinya adalah kelasnya hanya memiliki beberapa kali pertemuan tatap muka. Itu semua membuat Jay sedikit leluasa untuk menghela napas, meskipun pada akhirnya dia capek juga. Namanya manusia, jadi wajar saja kalau Jay ingin menyerah.
"Ya, halo?" tanyanya begitu mengangkat gawai canggih yang sejak tadi dia acuhkan.
Suara di seberang sana menyahut, "Halo woy anjir, lu kapan ke sini?" ia menghela napas pendek saat mendengar suara yang akrab sekali di telinganya.
"Masih sibuk, gue tutup," katanya cuek bebek.
"Eh, eh, eh tunggu dulu njirr! Markas kita diberantakin sama orang, makanya gue tanya kapan lu ke sini gawat ini banyak yang bocor!!" seruan dari Rey membuatnya mengernyitkan dahi. Apa maksudnya dari markas yang mereka sering tempati menjadi kacau balau begitu?
"Kondisinya gimana?" tanya Jay, "Ceritanya gue sama Suni mau ke markas karena kita gabut kan, apalagi tuh si Suni Suni itu dia kerjaannya maling duit Bapaknya mulu," Rey masih bisa bercanda di saat serius.
Tapi Jay tak masalah dengan itu, hanya saja rasanya ingin mengamuk. Benar-benar semua temannya itu stres, nggak ada yang waras. Seharusnya, sih begitu karena mereka berteman juga saling membutuhkan, satu frekuensi, dan berencana meringankan beban satu sama lain padahal semua orang yang ada di dalam circle-nya juga beban keluarga. Bersyukur Jay tidak jadi menghadap Tuhan saat itu dan itu berkat teman-temannya. Jujur saja dia sempat depresi dengan semua yang menimpanya saat itu, namun setelah menemukan Rey, Niken, Haris, dan Azka ia merasa dihargai dan punya banyak harapan. Masuk ke sekolah yang sama, di mana Ayah Niken yang menjadi petinggi di sekolah tersebut. Bagaimanapun ia sangat berterima kasih pada mereka semua.
"Banyak yang bocor, keran air juga rusak di halaman belakang, tanaman anggur rusak, terus pohon mangga juga ditebang, ah pokoknya kacau deh! Terus gue nggak tau tapi Mang Didit juga nggak ada belakang ini."
Mendengar penjelasan Rey membuatnya terpukul, semua kenangan di rumah besar itu memiliki arti tersendiri untuknya. Jay mengepalkan tangan menahan amarah.
"Untuk Mang Didit, emang gue liburin dulu di situ sekarang dia kerja di rumah pribadi gue. Kalau soal yang lainnya mungkin tanaman anggur emang jarang ada yang rawat, bisa aja pohon mangga warga yang tebang karena risi," dia mencoba berpikir positif.
"Menurut gue ini aneh, sih Jay. Kalau lu nggak liat langsung ke sini, gue jamin lo nggak bakal paham apa yang gue maksud."
"Apa?" di seberang Rey terdengar menghela napas, "Ini gue Suni, bukan soal markas kita lagi kayaknya gue tau siapa yang ngelakuinnya," dan tentu saja Jay merasa terpancing untuk berpikir siapa yang berani melakukan hal tersebut. Sebab sejauh ini tidak ada warga yang berani mendatangi rumah besar milik mereka, entah karena terkesan angker dan mewah, atau mungkin tidak mau berurusan dengan orang kaya.
"Oke, gue ke sana," tanpa basa-basi lagi laki-laki itu beranjak dari tempat duduknya, lalu memakai jas kantornya.
Berjalan sambil menyeret tangan Joni yang kebetulan mau berpapasan dengannya agar ikut bersama, konyolnya Joni tidak bertanya akan dibawa ke mana. Semua karyawan menunduk begitu melihat Jay, yang digadang-gadang menjadi direktur yang memimpin perusahaan ke depannya. Mereka semua menyukai kerja Jay, walau tidak dengan wataknya yang keras dan tidak ramah seperti sang Ayah.