Lunar Paramitha Yudhistia yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi harus menerima kenyataan pahit bahwa ayahnya menikah lagi dengan rekan kerjanya. Ia tak terima akan hal tersebut namun tak bisa berbuat apa-apa.
Tak disangka-sangka, wanita yang menjadi istri muda sang Ayah menaruh dendam padanya. ia melakukan banyak hal untuk membuat Lunar menderita, hingga puncaknya ia berhasil membuat gadis itu diusir oleh ayahnya.
Hal itu membuatnya terpukul, ia berjalan tanpa arah dan tujuan di tengah derasnya hujan hingga seorang pria dengan sebuah payung hitam besar menghampirinya.
Kemudian pria itu memutuskan untuk membawa Lunar bersamanya.
Apa yang akan terjadi dengan mereka selanjutnya? Yuk, buruan baca!
Ig: @.reddisna
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanda Dwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10: A Sunset With You
..."Ku pastikan manik hazel itu akan menghiasi hari-hariku di masa depan."...
...─────────── ✦ ──────────...
Suasana pantai yang begitu elok menghanyutkan kami berdua yang tengah berjalan-jalan di seberang pantai, deburan ombak terdengar seperti nyanyian yang begitu merdu dengan irama angin sepoi-sepoi yang menyapa tubuhku.
Burung camar berterbangan kesana-kemari, di bawah naungan langit yang merahnya mulai merekah, mereka terbang tinggi membawa angan dan mimpi.
Pria dengan tinggi semampai itu mulai menatapku, begitu teduh dan tulus. Wajahnya berseri-seri, menampakkan semburat merah di kedua pipinya yang begitu tegas.
Pria yang sempat mengungkapkan keterikatan nya padaku itu merangkul pinggangku dengan halus, aku tak memberikan perlawanan. Manik hazelku tak sedikitpun berkedip, fokusku tertuju padanya.
Hamparan laut lepas dengan cahaya matahari yang mulai redup menghiasi momen bahagia kami. Aku mendekatkan wajahku padanya, menatap manik hitam itu dengan seksama. "Kau hebat, bisa membuatku tertarik padamu hanya dalam waktu yang begitu singkat. Yah, sebenarnya aku memang sudah tertarik padamu sejak lama, namun aku terus menyangkalnya selama ini..." ungkapku.
Manik hitam itu melebar, senyum merekah di wajahnya. Wajah kami saling bertaut, menyalurkan kebahagiaan satu sama lain. Hubungan kami kedepannya tak akan lagi sama. Akan lebih dari atasan dan bawahan. Mungkin akan menjadi sepasang kekasih? Oh, tunggu sampai aku menyelesaikan semua masalahku.
"Aku ingin menciummu."
"Wow, tunggu sebentar bro. Aku tak akan memberikan ciuman pertamaku begitu saja," aku menahan bibirnya dengan telunjukku.
Aku berdiri diantara kedua kakinya, berjinjit untuk meraih pundaknya yang tampak begitu gagah dan elok. Ku raih wajah tampan itu dengan kedua tanganku. "Tunggu aku sebentar lagi," ku benamkan wajahku di dada bidangnya.
Pria yang kerap kusapa dengan nama 'Tuan Selatan' itu membelai pucuk kepalaku dengan lembut, membawaku lebih dalam ke pelukannya yang begitu hangat. "Dengan senang hati."
"Terimakasih, Selatan Anggara Hanubagja," aku mengeratkan pelukanku. Melepaskan segala beban yang terasa berat di tubuhku. Aku sepenuhnya bersandar kepadanya.
"Ayo kembali, Kak Hana dan Bibi Chen pasti mencariku. Kita harus mengemasi barang-barang dan bersiap untuk pulang," aku menggenggam tangannya dengan erat, menunjuk ke tempat kami menginap dan mulai membawanya ke sana.
"Baiklah, pelankan jalanmu gadis kecil," godanya sembari mengikutiku dari belakang.
"Jangan memanggilku gadis kecil! Kau tau, aku sudah dua puluh empat, artinya aku sudah dewasa. Kau tidak bisa memanggilku dengan sebutan gadis kecil!" celotehku.
"Aku dua puluh delapan, lebih tua darimu. Jadi, tidak masalah kan kalau aku memanggilmu seperti itu. Kau lebih kecil dariku," ucapnya mencari pembelaan.
"Kau ini menyebalkan sekali sih!"
"Hahahaha!"
...─────────── ✦ ──────────...
Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam, dan kami akan meninggal hotel malam ini. Aku melangkahkan kakiku dengan santai menuju kamar Kak Hana, kudapati dirinya yang tengah membereskan beberapa baju dan barang-barang lainnya.
"Kau tampak begitu senang, apa kau sudah resmi menjadi kekasih Tuan Selatan?" tanyanya sambil memasukkan baju ke koper.
Aku menggeleng pelan. "Tidak, aku menyuruhnya untuk menunggu. Kau tahu, aku ingin menyelesaikan masalahku terlebih dahulu," jelasku sembari membaringkan diriku di ranjang.
"Aku merasa tak pantas bersanding dengannya, yah dia hampir sempurna. Dia memiliki segalanya, sedangkan aku? Dibuang oleh keluargaku sendiri..."
Wanita berusia dua puluh tujuh tahun yang kerap kusapa dengan sebutan 'Kak Hana' itu menatapku dengan iba. Ia mendekatiku, mengelus-elus pucuk kepalaku dengan lembut. "Hei, memangnya dia mempermasalahkan latar belakangmu? Kalaupun iya, aku pasti akan memukulnya walaupun aku harus dipecat. Aku dan Bibi Chen adalah keluargamu kan? Tak perlu berkecil hati, semua ini bisa terjadi karena kehendak Tuhan. Kau percaya kan dengan rencana-Nya?" wajahnya begitu teduh dengan senyuman lembut terukir di wajahnya.
Tak ku sangka, wanita yang biasanya tampak begitu menyebalkan dengan tawa menggelegar yang mengiringi langkahnya bisa menenangkan hatiku hanya dengan kata-kata yang ia ucapkan. Menenangkan, rasanya seperti disayang oleh seorang kakak. Yah, dia benar. Kami semua adalah keluarga.
Aku mendekap pinggang Kak Hana dengan kedua tanganku, seperti seorang adik yang ketakutan dan bersembunyi dibalik tubuh sang kakak. "Kak Hana, terimakasih. Aku mencintaimu wanita konyol!" seruku sambil membenamkan wajahku.
"Ih jangan memelukku, ini geli!" Kak Hana berusaha melepaskannya.
Aku tertawa geli melihatnya, hahaha konyol sekali. Aku semakin mengeratkan pelukannya dan membuatnya semakin memberontak dan berteriak. Ini adalah pembalasan dendamku.
"Awas saja kau, berani-beraninya mempermainkan aku!" ketusnya.
"Maaf, Kak. Sudahlah, aku akan kembali ke kamarku dan mengemasi barang-barangku. Aku membeli banyak barang kemarin. Malas sekali membereskannya," tuturku sembari meregangkan otot-otot tubuhku.
"Ya, baiklah. Kau bisa memberikannya padaku jika malas untuk membereskannya," senyum licik terukir di wajahnya.
Aku memutar bola mataku dengan malas. "Huh, enak saja! Aku membelinya dengan susah payah tahu."
Aku menghilang di balik pintu kamar itu dan berjalan santai menuju kamarku untuk membereskannya barang-barangku.
Rasanya malas sekali, jadi aku memikirkan sebuah ide yang cemerlang. Kuambil ponsel itu dari saku dan mulai memanggil seseorang.
"Hey, bisakah kau membantuku merapikan barang-barangku? Aku kesulitan karena ini banyak sekali."
"Huftt .... baiklah," aku dapat mendengar helaan napasnya dari sini. Dia terpaksa tapi tetap mau melakukannya.
Tuut!
Aku langsung menutup teleponnya begitu saja setelah mendengar jawabannya, kemudian memasuki kamarku dengan riang gembira.
Aku mulai berganti pakaian dengan pakaian yang lebih sopan. Sebuah kemeja berwarna hitam dengan celana putih di atas lutut. Aku mengikat rambutku dengan gaya kuncir kuda karena suasana malam ini sedikit gerah.
Seorang pria dengan tinggi semampai memasuki kamarku dengan sebuah tas yang bertengger di punggungnya. "Kau membeli barang sebanyak ini? Padahal kita hanya dua hari di sini." ocehnya sembari membantuku membereskan barang-barangku.
Aku meringis, memperlihatkan deretan gigiku yang rapi. "Maaf, habis mereka semua menggemaskan sekali."
Dia menggelengkan kepalanya sambil berdecak, "kau ini benar-benar ya," ia mulai memasukkan bareng-bareng yang aku beli ke dalam koper yang sudah aku siapkan.
Aku membeli beberapa makanan ringan khas daerah ini, sebuah baju dengan motif bunga-bunga, sebuah topi, gantungan kunci dan masih banyak lagi.
Dengan cekatan ia membereskan barang-barangku, sementara aku hanya duduk di ranjang sambil melihatnya. Hahahaha, baru kali ini aku bisa menyuruh-nyuruh seorang bos.
Tak butuh waktu lama, kurang dari sepuluh menit ia sudah membereskan semua barang-barangku. Menatanya di dalam koper dengan sangat apik.
"Terimakasih banyak! Kau yang terbaik, Tuan!" aku menepuk-nepuk punggungnya, tanda terimakasih.
"Ya," jawabnya singkat.
"Kalau begitu mari turun, Bibi Chen dan Kak Hana pasti sudah di lobi," aku menarik tangannya dan mulai melangkahkan kakiku dengan penuh semangat.
Sesampainya di lobi kami melakukan check-out sebelum benar-benar meninggalkan hotel, setelah itu kami meninggalkan hotel dan bersiap untuk kembali ke rumah. Memulai kembali aktivitas sebagai seorang pekerja dengan segala kesibukannya.
Mampir juga di karyaku ya ka
semangat terus