NovelToon NovelToon
VARIOUS LOVES

VARIOUS LOVES

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Cinta Terlarang / Bad Boy
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.

Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.

Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.

Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sulit

Suasana ruang rapat terasa lebih formal dari biasanya. Kursi-kursi besar dengan lapisan kulit mengelilingi meja kayu mahoni yang memancarkan kemewahan.

Di ujung meja, tempat yang selalu menjadi pusat perhatian, duduk seorang pria paruh baya dengan ekspresi tegas, ayah Revan, Tuan Arjuna Satriyo Mahendra.

Wajahnya dingin, tak menampilkan emosi apa pun, meskipun di dalam dirinya, ia berharap banyak dari pertemuan hari ini.

Revan melangkah masuk, mengenakan setelan jas hitam yang tampak rapi, meski dasinya sedikit longgar, menunjukkan ketidaknyamanan yang berusaha ia sembunyikan. Tatapan tajam dari para direksi lain menyambutnya, beberapa di antaranya berbisik pelan, membahas keterlambatan dan sikapnya belakangan ini.

“Revan,” suara ayahnya memecah keheningan, tegas dan penuh tekanan.

“Kita sudah menunggu, cepat duduk."

Revan berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan ke kursinya. Ia tahu, hari Ini adalah sebuah ujian, pembuktian apakah dirinya layak berada di dalam lingkaran kekuasaan keluarga ini.

“Maaf terlambat,” ucapnya singkat, meski tidak sepenuhnya terdengar tulus. Ia duduk di kursinya, menyesuaikan posisinya, lalu menatap lurus ke arah ayahnya.

“Baiklah, kita mulai saja,” kata Tuan Arjuna. Ia memberi isyarat kepada sekretarisnya untuk membuka pertemuan.

Pembahasan pertama menyangkut proyek besar perusahaan, sebuah investasi di sektor properti yang menjanjikan keuntungan besar tetapi juga berisiko tinggi

Salah satu direksi, seorang pria tua bernama Pak Bima, memberikan penjelasan panjang lebar tentang potensi proyek itu.

Namun, saat pembicaraan berlanjut, perhatian ruangan perlahan tertuju pada Revan, yang sejak tadi lebih banyak diam.

“Revan,” suara Pak Bima memanggil.

“Sebagai kepala divisi pengembangan bisnis, bagaimana pandanganmu terhadap proyek ini? Kami belum mendengar masukanmu sama sekali.”

Revan mengangkat pandangannya perlahan. Ia tahu ini adalah momen yang sengaja dibuat untuk menempatkannya di bawah tekanan. Mata ayahnya yang tajam dan dingin menatapnya, seolah menuntut jawaban sempurna.

Dengan tenang, ia mengambil dokumen di depannya, memindai data sebentar, lalu mulai berbicara. “Proyek ini memiliki potensi besar, terutama jika kita menargetkan segmen pasar premium di daerah perkotaan. Tapi... ada satu hal yang ingin saya soroti.”

Semua mata tertuju padanya, menunggu dengan penuh perhatian. Ayahnya mendekatkan tubuhnya sedikit ke depan, menunjukkan minat.

“Risiko yang dihadapi tidak hanya dari sisi investasi. Dalam dokumen ini, saya melihat bahwa analisis pasar kita kurang mendalam. Ada tren penurunan daya beli di segmen tertentu. Jika kita tidak hati-hati, proyek ini bisa berujung pada overproduksi properti yang tidak terjual,” jelas Revan, nadanya tegas namun tetap tenang.

Beberapa direksi saling melirik, mengakui bahwa pendapat itu masuk akal. Pak Bima, meski sempat tampak terganggu, akhirnya mengangguk kecil.

“Lalu, apa solusi yang Anda tawarkan, Revan?” tanya Pak Bima, kali ini dengan nada lebih serius.

Revan menghela napas, berpikir cepat. “Kita perlu mengurangi skala proyek awal untuk mengurangi risiko. Fokus pada pengembangan unit yang lebih kecil dengan fasilitas unggulan yang tetap sesuai dengan pasar premium. Ini akan menekan biaya awal dan memperbesar peluang penjualan.”

Ruang rapat hening sesaat, sebelum beberapa direksi mulai mengangguk setuju. Tuan Arjuna tetap diam, tapi sorot matanya menunjukkan sedikit rasa puas, meski ia tidak akan mengungkapkannya secara terbuka.

“Pendapat yang menarik,” kata Tuan Arjuna akhirnya, suaranya tenang tapi penuh otoritas. “Kita akan mempertimbangkan usul Revan dalam rapat berikutnya. Untuk sekarang, kita lanjutkan ke agenda berikutnya.”

Revan menahan napasnya, merasa lega meskipun ia tahu ini baru awal. Selama sisa rapat, ia tetap tenang, meskipun pikirannya terus-menerus terganggu oleh pertanyaan yang berputar di benaknya: Apakah aku benar-benar ingin semua ini?

Saat rapat usai, dan para direksi mulai meninggalkan ruangan, Tuan Arjuna menghampiri Revan.

“Bagus,” ucapnya singkat, tapi dengan nada yang sulit ditafsirkan apakah itu pujian atau hanya pengakuan sederhana.

“Tapi ingat, ini baru langkah pertama. Jangan sampai mengecewakan.”

Revan hanya mengangguk, menatap ayahnya yang berjalan keluar ruangan dengan langkah penuh wibawa. Di dalam hatinya, ia tahu, pertempuran melawan tuntutan keluarga ini masih jauh dari selesai. Tapi untuk saat ini, ia berhasil melewati satu rintangan lagi.

Saat Revan sedang merapikan dokumen-dokumen di mejanya setelah rapat, Della menghampirinya dengan sebuah map di tangan, dan senyum tipis tergurat di wajahnya.

“Pak Revan,” panggil Della. Ia berdiri di sisi meja, menatap bosnya yang tampak sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Saya mau ajak anda makan siang bareng? Ada tempat baru di dekat sini, katanya makanannya enak.”

Revan menoleh perlahan, pandangannya terlihat sedikit lelah. Ia menghela napas sebelum menjawab, “Terima kasih, Della. Tapi saya rasa saya akan makan di kantor saja. Masih ada beberapa hal yang perlu saya selesaikan.”

Della mengerutkan kening, meski tetap berusaha menyembunyikan rasa kecewanya. “Tapi, Pak, Anda sudah bekerja keras sepanjang pagi. Makan di luar sebentar bisa bikin suasana hati lebih baik.”

Revan tersenyum tipis, meskipun ada sedikit keengganan dalam sorot matanya. “Maaf, Della. Mungkin lain kali aja. Hari ini saya benar-benar butuh waktu untuk menyelesaikan pekerjaan.”

Della menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa frustrasi yang mulai muncul. Ini bukan pertama kalinya Revan menolak ajakannya.

Entah itu makan siang, makan malam, atau sekadar berbincang santai, Revan selalu memiliki alasan untuk menolak. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menormalkan ekspresinya yang mulai berubah.

“Baik, kalau begitu,” jawabnya singkat, dengan nada yang mulai terdengar sedikit dingin.

“Kalau ada yang Pak Revan butuhkan, saya ada di ruangan.”

Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Della berbalik dan meninggalkan ruangan. Hatinya terasa berat, penuh dengan kekecewaan yang sulit ia kendalikan.

Ketika ia membuka pintu, langkahnya terhenti sejenak karena berpapasan dengan Restu, salah satu rekan kerja yang kebetulan lewat. Restu menatap Della dengan tatapan ingin tahu, melihat jelas perubahan di raut wajahnya.

“Ada apa sih, Mbak? Cemberut gitu.” tanya Restu dengan nada menggoda.

“Ditolak lagi, ya, sama Pak Revan?” Ia menyertai ucapannya dengan tawa kecil yang terdengar seperti ejekan.

Della menghentikan langkahnya dan berbalik dengan cepat, matanya menatap tajam ke arah Restu.

“Itu bukan urusanmu. Kerjakan pekerjaanmu dan berhenti mengurusi hidup orang lain,” balasnya dingin.

Restu terdiam sejenak, kaget dengan respons tajam Della.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Della berjalan cepat meninggalkan Restu yang masih berdiri di koridor, memandangi punggungnya dengan sedikit rasa bersalah. Sementara itu, Della berusaha menenangkan dirinya, meskipun hatinya masih terasa panas.

“Kenapa sih semua orang harus tahu urusan gue?” gumamnya pelan sambil menekan tombol lift.

Saat pintu lift tertutup, Della menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa kesal yang terus menggelayuti pikirannya.

Di dalam hati kecilnya, ia tahu rasa frustrasinya bukan sepenuhnya karena Restu.

Penolakan Revan yang terus-menerus itulah yang menjadi sumber utama kekesalannya.

Dan lebih dari itu, ia mulai bertanya-tanya, apakah Revan benar-benar tak peduli, atau hanya takut membuka hatinya?

Saat ini,

Di dalam ruangannya yang sunyi, Revan duduk terpaku di kursinya. Layar ponselnya menampilkan foto seseorang: Nadira Alamsyah. Foto itu diambil pada ulang tahunnya yang terakhir, saat ia dan Revan merayakannya bersama. Senyumnya yang lembut di dalam gambar itu memancarkan kebahagiaan yang kini hanya menjadi kenangan.

Revan menghela napas panjang, jari-jarinya menyentuh layar ponsel dengan hati-hati, seolah takut menghapus keindahan yang terabadikan dalam foto itu. Pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Nadira adalah bagian hidupnya yang sulit ia lepaskan, seperti bayangan yang terus mengikuti. Meski waktu berlalu, perasaan kehilangan itu tak pernah benar-benar sirna. Kehampaan selalu menyertainya sejak Nadira pergi.

“Apa kabar kamu di sana, Nadira?” bisiknya pelan, meskipun ia tahu tidak akan ada jawaban.

Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, menutup matanya sejenak untuk menenangkan diri. Namun, suara seorang wanita tiba-tiba membuyarkan lamunannya.

"Permisi, Pak," suara seorang wanita terdengar, membangunkannya dari dunia pikirannya.

Revan tersentak, matanya langsung terbuka, dan ia duduk tegak di kursinya. Ia terkejut melihat seorang wanita berdiri di depannya, membawa beberapa dokumen di tangannya.

Wanita itu adalah Siska, salah satu staf administrasi di perusahaan. Wajahnya tampak sedikit gugup, mungkin karena menyadari bahwa ia mengejutkan bosnya.

“Saya sudah mengetuk pintu dan mengucapkan salam, Pak, tapi Anda tidak menjawab, jadi... saya masuk,” jelas Siska, berusaha menenangkan situasi.

Revan menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Maaf, saya tadi tidak mendengar," katanya.

“Tidak apa-apa, Pak,” balas Siska sambil tersenyum kecil. Ia mendekatkan diri ke meja Revan, meletakkan dokumen di atasnya.

“Ini dokumen yang perlu ditandatangani segera, pak. Maaf kalau saya mengganggu.”

“Tidak apa-apa,” sahut Revan, sambil mengambil pena yang tergeletak di atas meja. Sambil membubuhkan tanda tangan pada dokumen tersebut, ia berusaha mengalihkan pikirannya dari bayang-bayang Nadira yang masih membebani hatinya.

Namun, Siska tampaknya menyadari sesuatu. Tatapan Revan yang kosong dan wajahnya yang sedikit muram membuat Siska merasa ingin bertanya, meski ia tahu batasannya sebagai staf.

“Pak Revan, apa Anda baik-baik saja?” tanyanya dengan nada hati-hati, mencoba menunjukkan perhatian tanpa terlihat terlalu mencampuri urusan pribadi.

Revan terdiam sejenak, lalu menatap Siska. Senyumnya muncul samar, tapi tidak sampai ke matanya. "Ya, saya baik-baik saja. Hanya sedang banyak pikiran," jawabnya singkat, mencoba mengakhiri percakapan.

Siska mengangguk, meskipun ia tidak sepenuhnya yakin dengan jawaban itu. Setelah memastikan semua dokumen ditandatangani, ia mengambilnya kembali dan bersiap untuk pergi.

“Kalau ada yang Anda butuhkan, jangan ragu untuk memberi tahu saya, Pak,” kata Siska sebelum meninggalkan ruangan.

Revan mengangguk kecil tanpa menjawab, menatap punggung Siska yang semakin menjauh hingga pintu tertutup rapat. Setelah ruangan kembali sunyi, ia meraih ponselnya lagi. Foto Nadira masih terpampang di layar, senyumnya yang abadi seolah bertanya kepada Revan: Apa yang sebenarnya kamu cari?

Revan menghela napas panjang lagi, menyandarkan dirinya di kursi, membiarkan pikirannya kembali tenggelam ke dalam kekosongan yang tak berujung.

1
Cevineine
lanjut yaa, aku gift biar makin semangat😊
WikiPix: sabar, ya. lagi proses.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!