Banyak wanita muda yang menghilang secara misterius. Ditambah lagi, sudah tiga mayat ditemukan dengan kondisi mengenaskan.
Selidik punya selidik, ternyata semuanya bermula dari sebuah aplikasi kencan.
Parahnya, aparat penegak hukum menutup mata. Seolah melindungi tersangka.
Bella, detektif yang dimutasi dan pindah tugas ke kota tersebut sebagai kapten, segera menyelidiki kasus tersebut.
Dengan tim baru nya, Bella bertekad akan meringkus pelaku.
Dapatkah Bella dan anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DYD10
"Tidak ada, Mas. Tidak ada yang aneh ataupun janggal. Tapi ...." Edwin menggantungkan kalimatnya.
"Tapi apa, Mas?" tanya Abirama cepat.
"Malam itu, saya sempat melihat seseorang dengan jubah putih berjalan menerobos hujan, menuju ke arah bukit. -- Kalau dipikir-pikir, ya janggal sih ... malam-malam di bawah derasnya hujan dan menuju bukit. Apalagi, bukit terlarang. Mau ngapain coba?" Edwin mengusap bulu-bulu halusnya yang mendadak meremang. "Wah, jadi merinding saya, Mas!"
"Kenapa disebut bukit terlarang?" Tanya Bella yang baru mendengar hal itu.
Edwin mengedikkan kedua bahu. "Biasalah, mitos ini dan itu. Tapi ... dari yang saya dengar-dengar, puluhan tahun lalu ada pembunuh berantai yang lari ke bukit itu dan tak pernah kembali. Bahkan katanya, puluhan tahun silam ada sepasang suami istri yang mati mengenaskan di lembah bukit itu."
Abirama mencengkram erat setir dalam genggaman nya, kedua tangannya bergetar hebat.
"Hey, kau baik-baik saja?" tanya Bella pada Abirama.
"Ya, saya baik-baik saja ...," jawab Abirama dengan suara bergetar.
"Apa mau gantian menyetir?" tawar Bella.
Abirama menggeleng, berusaha mengendalikan dirinya. Sambil menyetir, Abirama mengeluarkan ponsel nya dari saku. Setelah membuka password nya, Abirama menyerahkan benda pipih itu pada Bella.
"Tolong buka galeri, Kapt, tolong carikan potret lelaki itu, " pinta Abirama.
Bella lekas menuruti permintaan anggotanya itu. Setelah membuka galeri, Bella sejenak terhenyak saat mendapati salah satu fotonya tengah menyesap secangkir teh.
Dengan sedikit salah tingkah, Bella buru-buru menggulir layar ponsel tersebut dan berpura-pura seolah tak melihat apapun. Kapten cantik itu lekas mencari foto yang dimaksudkan.
"Apa wajahnya seperti ini?" Tanya Bella seraya menyodorkan ponsel pada Edwin.
Pria itu mengernyit melihat foto seseorang dengan jas kedokteran. "Entahlah ... karena saat itu malam hari, aku tidak berani menjawabnya dengan pasti."
Sekali lagi, Edwin menatap foto tersebut sembari mengelus lembut dagunya.
"Tapi, wajahnya tampak familiar. Perawakannya sedikit mirip ...," kata Edwin lagi.
Pernyataan Edwin membuat Bella dan Abirama saling memandang. Batin mereka amat berisik, meski mulut mereka bungkam.
"Memangnya, itu foto siapa, Mbak? Wajahnya seperti tak asing." Tanya Edwin saat Bella mengembalikan ponsel Abirama.
"Bukan siapa-siapa," jawab Bella seraya tersenyum tipis.
Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, Edwin meminta menghentikan mobil yang sudah membawanya sampai ke kaki bukit.
"Sampai sini aja, Mas, Mbak. Rumah saya ada di balik bukit, saya jalan kaki saja dari sini karena akses mobil tidak ada untuk kesana." Jelas Edwin yang membuat Bella mengernyit.
"Jangan gitu, Mas. Kakinya lagi sakit begitu, tidak apa-apa ... kami antar sampai ke rumah," sahut Abirama.
Edwin menggaruki kepalanya yang tak gatal sembari terkekeh. "Ya, baiklah kalau sampean maksa."
Setelah menelusuri beberapa jalan terjal dan memasuki hutan, mereka berhenti sejenak kala melintas di sebuah rumah tua.
"Rumah siapa ini?" tanya Bella pada Edwin.
Pria itu mengedikkan kedua bahu. "Entahlah, saya kurang tau. Menurut para warga yang tak jauh bermukim di sekitar sini, rumah ini dulunya merupakan rumah seorang Dokter yang sekarang sudah lama sekali pindah ke kota lain. Saya dengar juga, anak dari Dokter tersebut masih sesekali kemari untuk memeriksa keadaan rumah. Entah benar atau tidaknya, saya pun ragu."
Edwin kembali berjalan, Bella dan Abirama mengekor di belakangnya.
"Horror ya, Kapt. Kayak rumah hantu," bisik Abirama di telinga Bella, wanita itu seketika tersentak.
Bella menyikut dada Abirama dengan ujung sikunya, pria itu sontak tersedak.
"Apa anda ingin membunuhku, Kapt?!" decak Abirama.
"Jangan berbisik di telinga ku, itu sangat menggelikan!" Raung Bella sambil menggosok-gosok telinganya yang memerah.
Abirama mencebikkan bibirnya, ia mendumel tanpa suara.
Setelah berjalan lima belas menit meninggalkan rumah tua, mereka tiba di sebuah jalan setapak yang mengantarkan mereka pada rumah kayu bernuansa gelap dengan cahaya temaram di dalamnya.
"Syukurlah, kita sampai juga di rumah saya. Mari masuk, izinkan saya menjamu meskipun hanya secangkir teh hangat," ajak Edwin sopan.
Bella mengamati keadaan sekitar dengan kening berkerut, lalu memandang Abirama yang sudah kelelahan.
"Baiklah," jawab Bella.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Setelah menikmati jamuan yang disuguhkan, Bella dan Abirama pamit untuk melanjutkan perjalanan.
Mereka menelusuri jalan menuju lembah bukit. Hari sudah mulai gelap, hujan pun sudah merintik-rintik. Mereka semakin mempercepat langkah, tanpa menyadari seseorang berjubah putih sejak tadi membuntuti mereka.
Setibanya di TKP, Bella membagi area pencarian.
"Kau, periksalah di sebelah sana. Aku di sebelah sini. Dan ini ...." Bella menyodorkan sebuah pisau lipat dan peluit.
"Fokuslah Abirama, dan ... hati-hati ...," peringat Bella.
Abirama mengangguk. "Siap, Kapt!"
Mereka bergegas, fokus memeriksa TKP dan mengantongi apa saja yang menurut mereka mencurigakan.
Sementara itu di ruangan divisi kriminal Tim 1, Taufik, Rinol beserta dua tim lainnya juga bekerja sangat keras untuk memecahkan kasus tersebut.
"Sudahlah, untuk apa kalian repot-repot bekerja dari pagi hingga malam untuk memecahkan kasus ini? Kalian kira ... jika pelaku tertangkap, kalian bisa memenjarakan nya? -- Jangan mengerjakan hal yang sia-sia," ucap Danu, Kapten Tim divisi kriminal.
Pria paruh baya itu memang cukup dibuat kesal semenjak kedatangan Bella menjadi kapten di Tim 1. Ia kerap dijadikan pelampiasan oleh sang ketua yang juga dibuat jengkel dengan tindakan-tindakan Bella yang berani melawan perintahnya.
Kini, ia semakin jengkel melihat Tim 1 yang bekerja lembur bagai kuda.
"Kami hanya menjalankan tugas," sahut Taufik datar.
Danu semakin kesal, pria paruh baya itu menarik kursi di depan meja kerja Taufik.
"Apa kalian tidak mengerti? Kalian bisa berada di dalam bahaya, resikonya terlalu tinggi!" desis Danu.
"Semua pekerjaan pasti memiliki resiko, bukannya begitu, Kapt?" Taufik menghela napas berat.
Danu pun menghela napas tak kalah berat.
Tepat setelah perdebatan kecil itu, telepon kantor berdering. Taufik yang enggan lagi meladeni Danu pun memilih melangkah menuju telepon yang berdering.
"Selamat malam, dengan Tim 1 divisi kriminal, ada yang bisa kami ban---"
"KEMARI LAH!" Jerit seseorang di ujung telepon memotong ucapan Taufik.
"Hallo, dengan siapa saya berbicara?" Tanya Taufik yang merasa familiar dengan sumber suara.
"KEMARI LAH, KAPTEN BELLA TERLUKA!" jerit Abirama.
*
*
*
edwiiinnnnn kamu bajingaaaannnnnn
Edwin psikopat yang udah ... entahlah sulit menjelaskannya 😀
Keren kamu Kak❤️