Kinan hanyalah gadis biasa, dirinya mengadu nasib pergi ke kota bersama temannya setelah mendapatkan informasi kalau ada yang membutuhkan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga, demi kebutuhan dan juga ingin mengurangi beban keluarga Kinan akhirnya pergi ke kota jakarta, Di sana Kinan harus berhadapan dengan Daniel pria tampan yang bahkan tidak pernah terpikirkan dalam hidupnya. Mampukah Kinan bertahan di jakarta atau memilih pulang dan melanjutkan sekolah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon II, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Garis Dua
"Neng mau ngomong sama Sinta, mama sama bapak boleh keluar sebentar ga?" Pinta Kinan dengan takut. Tiba-tiba saja rasa sakit yang sedari tadi menguasai tubuhnya hilang, rasa sakit beralih menjadi rasa takut. Apalagi kedua orangtuanya hanya diam memperhatikan.
Bu Anis segera bangkit dan keluar bersama pak Danu.
Melihat kedua orangtuanya pergi Kinan segera meletakan kembali ponsel yang sedari tadi di genggam.
"Sinta? Apa yang kamu katakan, aku ga ngerti." Kinan mengelak berharap Sinta bisa percaya.
Tapi bukannya Sinta yang menjawab suara lain yang terdengar.
"Kinan, ini saya bunda Tata, kenapa kamu ga jujur sama saya, saya tidak mau tau besok pak Yanto ke situ jemput kamu dan kedua orang tua kamu."
Kinan mematung mendengar suara bunda Tata yang terdengar tegas dan ketus.
"Bunda maaf, Kinan ga bisa ke situ lagi-
"Daniel akan bertanggung jawab, dia akan menikahi kamu."
Mata Kinan membulat tak percaya.
Menikah, Den Daniel mau menikah dengan ku.
Kinan menggelengkan kepalanya lagi. Tidak ingin berpikiran yang tidak-tidak. Sebelumnya Daniel memintanya untuk tutup mulut bahkan memberinya cek berisi uang tapi sekarang laki-laki itu mau menikahinya? Ini pasti ada yang tidak beres, pikir Kinan.
"Bunda, Kinan ga bisa, Kinan Udah lupain semuanya. Kinan ga bisa menikah sama Den Daniel. Kinan udah maafin Den Daniel."
.
Bunda Tata menghela napas dengan wajah marah mendengar penolakan dari Kinan. Semua orang yang ada di ruang keluarga itu menatap bunda Tata.
Daniel sendiri menunduk dengan wajah kesal. Tangannya mengepal mendengar penolakan Kinan, seharusnya dirinya senang karena dengan begitu tidak harus menikah dengan Kinan tapi entah kenapa harga dirinya seolah di injak-injak.
Pembantu itu sudah berani menolak ku, sehebat apa dia. Dia hanya pembantu, dia bahkan ga selevel sama aku.
Batin Daniel menggerutu. Dirinya benar-benar marah karena harga dirinya sudah di hina. Bagi Daniel, Kinan telah menghancurkan jati dirinya..
Sinta yang berdiri di belakang bunda Tata hanya mendengarkan, dirinya sudah lebih tenang, tadi bunda Tata memangilnya dan memintanya untuk menghubungi Kinan. Sinta tau Kinan pasti belum mempunyai ponsel pasalnya selama satu bulan terakhir itu tidak ada yang menghubunginya. Alhasil Sinta menelepon orangtuanya meminta untuk ke rumah Kinan.
.
Kinan menggigit bibirnya ketika bunda Tata terus membujuk nya untuk ke Jakarta. Berkali-kali Kinan menolak, menikah dengan Daniel sama saja bunuh diri, Kinan tau terakhir kali bertemu dengan Daniel, laki-laki itu menatapnya sebegitu rendah, bahkan ketika memberikan cek saja Daniel sampai memberi penekanan kalau boleh mengeluh itu rasanya sakit. Kinan kembali mengingat itu.
"Bunda, Kinan ga papa kok, Kinan benar-benar udah lupain kejadian itu, Kinan ga mau kedua orang tua Kinan tau ini Bun." Kinan melirik gorden takutnya ada kedua orangtuanya di sana menguping. "Kinan ga mau mereka tau Bun, Kinan-
Ueee...ueeee....
.
Bunda Tata mematung manakala mendengar suara Kinan muntah-muntah. Segera sambungan telpon itu terputus karena Kinan pergi meninggalkan kamar dengan menahan mulutnya yang siap menumpahkan isi perutnya lagi.
Melihat itu semua nampak terheran.
"Gimana Bun? Kinan mau ga ke sini? Kalau dia ga mau kita jemput aja ke kampungnya,"
Usulan pak Arman itu di jawab anggukan kepala dari bunda Tata, Daniel kalang kabut melihat itu.
"Ga perlu Tante-
"Diam kamu, ayah ga mau kamu mengatakan satu kata pun." Pak Teo menatap Daniel dengan penuh amarah, terlihat laki-laki matang itu masih memendam perasaan teramat kecewa. Sedangkan Bu Tari enggan mengatakan apapun, dirinya memilih diam dan menenangkan diri dalam pelukan sang suami.
Daniel menghela napas pasrah, ia akhirnya kembali diam dan merebahkan tubuh. Sesekali mengacak-acak rambutnya karena menyesali perbuatannya yang sudah membuat keadaan keluarganya menjadi muram.
Sinta yang ada di tengah-tengah keluarga itu ingin undur diri terlihat kakinya mulai melangkah pergi akan tetapi bunda Tata melirik kearahnya.
"Sinta sini bunda mau ngomong." Bunda Tata menarik Sinta ke arah lain rumah.
"Sin, besok kita akan ke kampung kamu, sekarang kamu ke apotek!"
"Beli apa Bun?"
Bunda Tata diam sejenak. Membuat Sinta menunggu dengan cemas.
"Mmm... Beli tespek!"
Mata Sinta melongo mendengarnya. "Tespek? Untuk siapa?"
"Kinan." Jawab bunda Tata yakin. suara Kinan yang muntah-muntah memintanya untuk datang ke kampung Babakan Tasik instingnya mengatakan sesuatu.
.
Matahari malu-malu menampakkan dirinya. langit perlahan terang membuat penduduk bumi harus bangkit dan beraktivitas..
Sinta yang di bantu mbak Nii dan Mbak Cicah baru selesai memasukan barang-barang yang akan di bawa, mulai dari keperluan anak-anak sampai keperluan kedua majikannya.
Bagasi mobil di tutup. Sinta masuk kedalam rumah untuk menjemput anak-anak yang sudah siap pun semua orang.
Daniel berjalan malas bersama Bu Tari yang mana terlihat sudah lebih tenang. Masuk kedalam mobil dan mulai meninggalkan kediaman bunda Tata.
Di perjalanan Sinta menceritakan kembali bagaimana keluarga Kinan. Dirinya bahkan tidak enak karena pasti akan mengejutkan Kinan terlebih pulang dengan Bunda Tata Daniel, akan tetapi bunda mengatakan kalau di beritahu Kinan pasti pergi.
Di lain mobil. Yang mana ada Daniel dan kedua orangtuanya terasa sunyi senyap. Tidak ada obrolan hangat seperti biasa. Daniel duduk tenang di belakang. ingin rasanya membuka suara tapi itu keputusan yang salah. Diam adalah pilihan yang tepat.
Pak Teo mengemudi begitu santai mengikuti mobil bunda Tata yang memimpin. Ini akan menjadi pengalaman pertama mereka datang ke kampung seorang asisten rumah tangga sang adik. Karena ulah Daniel keduanya harus merasakan jalan sedikit terjal.
Perjalanan panjang di tempuh kedua keluarga itu. Sampai mobil bunda Tata menepi di ikuti mobil pak Teo.
Daniel membuka mata ketika mobil terhenti pun Bu Tari. Menatap sekeliling area. Terlihat sejuk nyaman.
"Kita udah sampai yah?" Tanya Bu Tari sembari menyambar botol minuman. Tenggorokannya terasa kering.
"Ayah juga kurang tau Bun, Tata berhenti. Ini seperti tempat rekreasi. Tapi ada vila juga." Kata Pak Teo menatap sekeliling.
Selamat Datang Di Vila Khayangan.
Papan reklame itu di tatap Daniel. "Tempat apa ini?" Daniel bergumam pelan.
Pak Yanto sang supir turun dan menghampiri mobil pak Teo.
Kaca mobil di buka Pak Teo. "Ada apa pak? Kita udah sampe?"
"Belum Pak, Kata bunda, bapak dan ibu menginap di vila sini Saja, mari saya antar."
"Loh kenapa kalau kami ikut ke rumah Kinan?" Tanya Pak Teo lagi heran melirik sang istri yang diam mendengarkan. Daniel tak di ajak diskusi karena pasti dirinya akan memilih di vila saja.
"Jalan ke rumah Kinan agak terjal pak. Saya takut bapak ga bisa ke sana. Bunda titip anak-anak biar den Daniel ikut kami."
Mendengar itu Daniel menggeleng cepat. "Ga, aku ga mau ikut."
Pak Yanto diam saja menunggu jawaban pak Teo mengabaikan Daniel yang menatapnya datar.
"Daniel turun."
"Tapi Yah?"
"Ayah bilang turun." bentak Pak Teo.
Daniel terpaksa masuk kedalam mobil bunda Tata. Wajahnya nampak gusar, melirik kesal vila yang nampak nyaman itu.
"Masih jauh ga sin?" tanya Bunda Tata. Menatap tempat yang asing itu sedikit ngeri, pasalnya jalanan berkelok dan terjal. Disekitar terdapat pepohonan yang tinggi dan padat. Terdapat juga rumah-rumah di sekitar jalan.
"Bentar lagi Bun."
"Di sana kamu harus jaga sikap Daniel. Jangan mengatakan apapun. Kalau Tante suruh baru kamu boleh ngomong." Kata bunda Tata tanpa melirik Daniel yang duduk di depan bersama pak Yanto. Pak Arman sendiri memilih ke vila bersama anak-anak. Bunda takut kalau di rumah Kinan atau Sinta akan membuat sang suami tidak nyaman.
Daniel hanya diam tanpa memberi respon apapun.
Perjalanan terus berlanjut sampai berhenti di halaman sebuah rumah.
Pak Yanto segera turun di susul Sinta dan bunda Tata.
"Assalamualaikum teh Ning, Sinta numpang parkir ya." Sinta menyalami tetangganya itu yang mana si pemilik rumah.
Wanita muda itu mengangguk ramah. "Mangga Sin. Pulang kampung lagi Sin?" tanya si tetangga, merasa heran pasalnya Sinta satu bulan lalu baru saja pulang.
"Iya teh, Sinta permisi ya?" Sinta pamit di ikuti bunda Tata dan Daniel, sedangkan pak Yanto menunggu di mobil.
"Oh bareng bos nya kayanya itu. Ganteng, cantik, mani bersih Kitu eta warna kulit na. Orang kaya emang beda wae." Si tetangga berbicara sendiri sembari terus menatap kepergian Sinta, bunda Tata dan Daniel.
"Enak juga ya sin kampung kamu." kata bunda Tata menatap sekeliling perkampungan Babakan Tasik. Daniel sendiri hanya diam acuh. Bagi Daniel tempat ini terasa asing dan kuno tidak ada keramaian sejauh mata memandang di tambah waktu semakin gelap.
"Nie Bun rumah Kinan!" Sinta menunjuk rumah sederhana berdinding bambu.
Bunda Tata mengamati pun dengan Daniel.
Ini rumah, gini amat, Indonesia udah merdeka tapi masih ada rumah model kek gini. Tapi kalau di lihat-lihat kebanyakan rumah kek gini semua bentuknya..
Daniel membatin, dirinya mencaci dan berusaha menahan tawa. Rumah Kinan bak lelucon baginya. Sedangkan bunda Tata segera mengetuk pintu.
"Assalamualaikum..."
Bu Anis yang baru selesai menjalankan shalat Maghrib segera membuka pintu.
"Waalaikumsalam,"
Dirinya tersenyum dan mengerutkan kening melihat ada Sinta dan wanita kota berdiri di depan pintu. "Sinta."
"Bik," Sinta menyalami Bu Anis.
"Kapan datang Sin?" tanya Bu Anis. Menatap heran bunda Tata.
Seolah paham Sinta memperkenalkan Bunda Tata.
"Baru sampe Bik, Bik, kenalin ini Bunda Tata, majikan Sinta sama Kinan."
Bu Anis mengangguk dan menyalami bunda Tata.
"Mari masuk Bu, maaf rumahnya sederhana." katanya malu. Mempersilahkan ketiganya masuk.
"Kalau ini siapa?" tanya Bu Anis kepada Daniel. Lelaki tampan yang tidak pernah ia temui di kampung.
"ini keponakan saya Bu," jawab bunda Tata ramah.
Bu Anis mengangguk lagi. "Mari duduk, silakan. "
Bunda Tata menarik Daniel untuk duduk di sofa yang terlihat sederhana itu.
"Daniel tunggu di luar aja Tante?" Daniel berbisik dan siap bangkit. Tapi bunda Tata segera menarik bajunya.
"Duduk dan diam." bisiknya lagi penuh penekanan.
"Oh ia Bu, Kinan ada saya mau ketemu Kinan, kebetulan aja lagi liburan ke vila khayangan, sekalian aja mampir ke sini."
"Kinan ada di kamar, tapi maaf Bu, dia lagi kurang enak badan. sebentar ya saya panggilkan." Bu Anis segera pergi ke belakang untuk ke kamar Kinan, Sinta mengekor dari belakang.
"Kenapa kamu ga bilang dulu sama Bibi, kalau mau ke sini, kan bibi bisa siap-siap. malu di rumah ga ada makanan." Bu Anis mengomeli Sinta yang datang dengan tiba-tiba.
"Ngedadak Bik, Bibi bikin minuman aja, biar Sinta ke kamar Kinan."
Sinta segera meluncur ke kamar Kinan, atas perintah Bunda Tata dirinya di minta menemui Kinan dan melakukan tes kehamilan.
Kebetulan Kinan tengah duduk di kasur.
"Kinan." Panggil Sinta.
Kinan terkejut bukan main melihat Sinta ada di ambang pintu kamarnya.
"Ini kamu bener Sinta?" tanya Kinan terheran.
"Iya ini aku?" Sinta duduk di samping Kinan yang masih terlihat pucat.
"Kamu sakit?" sinta menatap Kinan sedih, apalagi otaknya kembali mengingat bagaimana Kinan sudah di perlukan tidak baik oleh Daniel..
"Udah mulai mendingan. kamu ke sini sama siapa?"
"Bunda dan Den Daniel."
"Apa!" Kinan terkejut. "Mereka ada di sini?" tanyanya untuk memastikan.
Sinta mengangguk. "Aku ke sini ga bisa lama. Aku mau kamu ke kamar mandi. nie!"
Kinan menatap heran benda kotak yang di sodorkan Sinta. "Apa ini?"
"Tespek, alat untuk mengetes kehamilan!"
"Astaghfirullah, Sinta aku-
"Aku tau, mudahan-mudahan aja kamu ga hamil ini untuk memastikan, bunda datang ke sini karena kamu ga mau datang ke Jakarta. Dengan alat ini kita bisa tau kamu hamil apa engga, kalau kamu ga hamil kamu ga perlu nikah sama den Daniel. Dan aku akan ngomong ke bunda untuk tidak kasih tau orang tua kamu. Sekarang hayu ke kamar mandi. udah ga ada waktu lagi Kinan,"
Ragu-ragu Kinan mengambil tespek itu dan perlahan meninggalkan Sinta.
Di kamar mandi, Kinan membaca petunjuk dengan detail. Dirinya bukan tidak tau alat itu hanya saja ini adalah pengalaman pertamanya. Ada perasaan takut ketika alat itu ia masukan ke urinnya tapi dirinya juga penasaran.
"Jangan garis dua jangan," Kinan menutup mata dengan jantung yang berdebar. Berdoa dalam hati kalau garisnya satu.
Di rasa cukup, Kinan membuka mata. Perlahan memfokuskan pandangan, menatap baik-baik benda kecil lagi panjang itu..
Astaghfirullah, Garis dua.