Bagaimana jadinya jika siswi teladan dan sangat berprestasi di sekolah ternyata seorang pembunuh bayaran?
Dia rela menjadi seorang pembunuh bayaran demi mengungkap siapa pelaku dibalik kematian kedua orang tuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siastra Adalyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Maaf
Entah sudah berapa lama aku tertidur di dalam mobil, saat aku terbangun dan melihat ke luar jendela, ternyata langit hampir berubah menjadi gelap.
"Haha, konyol sekali saat tadi aku berfikir kalau kak Arsen akan membangunkanku"
"Bahkan dia tidak membuka jendela sedikitpun agar udara bisa masuk. Dasar gila, sepertinya jika aku mati sekalipun dia tidak akan peduli" Ucapku dengan nada sedikit kesal.
Aku langsung mengambil tas dan segera turun dari mobil untuk masuk ke dalam rumah. Saat aku masuk dan melihat ke arah ruang tamu, disana aku melihat kak Arsen sedang duduk sambil mengecek beberapa dokumen. Melihat wajahnya yang datar seolah tak ada apapun yang terjadi itu membuatku sangat kesal, apa perasaan dan hati nuraninya itu sudah mati sampai tega meninggalkan adiknya tidur di mobil tanpa membuka jendela untuk ventilasi udara? Dan sekarang dia malah lanjut mengerjakan pekerjaan kantornya di rumah.
Karena malas memperpanjang masalah akhirnya aku hanya lanjut berjalan naik ke kamarku yang ada di lantai 2 tanpa berkata sepatah katapun pada kak Arsen.
Brukk!
Aku menaruh tas dan langsung membaringkan diri ke kasur menghadap langit-langit kamar.
"Kapan ya kak Devan pulang, suasana di rumah ini canggung banget tanpa dia. Bahkan untuk turun ke dapur pun aku malas karena harus melihat kak Arsen. Sepertinya hanya kak Devan yang bisa mencairkan suasana di rumah ini"
Aku mempunyai 2 orang kakak, yang pertama adalah kak Arsen dan yang kedua kak Devan.
Kak Devan adalah satu-satunya orang yang selalu berada di sisiku dan mendukungku sampai saat ini setelah sifat kak Arsen berubah. Kak Devan selalu baik dan peduli padaku, setiap dia pulang dari kampus pasti langsung datang ke kamarku dan bertanya "Bagaimana hari ini?semua berjalan dengan lancarkan? Jika ada sesuatu yang ingin kamu katakan ceritakanlah padaku agar perasaanmu menjadi lebih baik walau sedikit". Kata-katanya itu terasa hangat dan menenangkan, karena itu aku selalu menunggu saat kak Devan pulang ke rumah.
Aku melihat ke jam dinding yang ada di kamarku, waktu menunjukkan pukul setengah 7 malam.
"Oh, aku harus segera bersiap"
Aku bergegas mengganti seragam sekolah ku dengan kaos yang lebih nyaman dan memakai jaket, aku juga menguncir rambutku agar tidak mengganggu penglihatanku nanti. Setelah semuanya selesai aku langsung berjalan ke luar dari kamar untuk mengambil sepatu.
Saat menuruni tangga aku melihat kak Arsen yang masih duduk di ruang tamu sambil mengerjakan kerjaan kantornya. Aku tak memperdulikannya dan terus berjalan tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, kalau aku bilang mau pergi kemana juga mungkin dia tidak akan peduli.
"Mau kemana malam-malam begini?" Kak Arsen yang biasanya tidak peduli itu kali ini malah bertanya kemana aku akan pergi dengan ekspresi yang datar dan pandangannya masih tertuju ke laptop.
"Ke gym" Jawabku singkat sambil terus berjalan.
"Bukannya di rumah ini sudah ada studio gym? Untuk apa kamu selalu pergi ke tempat itu malam-malam begini?" Tanya kak Arsen lagi yang kali ini padangannya tertuju padaku.
"Karena aku lebih suka disana" Aku menjawab dengan nada yang agak tinggi karena kak Arsen terus bertanya.
"Kamu tidak boleh pergi kesana lagi mulai hari ini" Kak Arsen mulai bangkit dari duduknya dan perlahan berjalan ke arahku.
"Hah?! Memangnya apa hak mu melarangku pergi kesana?! Aku tidak peduli dengan ucapanmu itu dan bersikaplah seolah aku tak ada seperti biasanya" Aku merasa sangat kesal karena kak Arsen yang biasanya tidak peduli itu sekarang tiba-tiba melarangku untuk pergi.
Aku tidak peduli dengan ucapan kak Arsen dan tetap mencoba untuk keluar dari rumah, namun secara tiba-tiba kak Arsen menarik tanganku dengan keras dan berbicara dengan nada tinggi.
"Kalau aku bilang kau tidak boleh pergi ya berarti tidak boleh!"
"Kau tanya apa hak ku melarangmu? Haha, sepertinya kau masih belum sadar, atau kau terlalu bodoh untuk sadar?"
Jantungku berdegup semakin kencang, dan amarahku mulai naik saat mendengar ucapan kak Arsen itu, aku menatapnya dengan tatapan marah. Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya itu namun genggaman tangannya terlalu kuat, sampai aku merasakan sakit di pergelangan tanganku.
"Agacia, aku lah yang selama ini memenuhi kebutuhan hidupmu, memberikan kehidupan yang layak untukmu, dan aku juga lah yang masih memberikanmu HAK UNTUK TETAP HIDUP sampai saat ini. Itu karena kau masih berguna untuk rencanaku, oleh karena itu tetap menurutlah dan jadi anak berprestasi seperti yang kau lakukan saat ini, karena itu akan sangat berguna untuk perusahaan kita"
"Memberikanku hak untuk tetap hidup?! Jangan bicara konyol, sialan. Hanya aku berhak memutuskan kapan aku akan hidup dan mati! Sekarang lepaskan tangank-!"
PLAK!!
Dalam sekejap tangan kak Arsen langsung menampar pipiku, aku terkejut dan terdiam sejenak. Jantungku berdebar semakin kencang dan tanpa aku sadari air mataku mengalir dengan sendirinya. Aku tidak pernah menyangka kalau kak Arsen yang dulu sangat menyayangiku itu sekarang akan menamparku seperti ini, tiba-tiba memori ingatan saat kita masih kecil berputar di kepalaku, sangat menyakitkan untuk di ingat. Genggaman tangan kak Arsen yang tadinya sangat kuat itu perlahan semakin longgar dan lepas. Situasi yang tadinya sangat ribut juga sekarang berubah menjadi hening.
"Agacia!!" Kak Devan berteriak dari arah pintu masuk, melihat situasi ini sepertinya ia sudah tau apa yang terjadi.
"Kak Arsen! Apa yang sudah kakak lakukan?!" Kak Devan langsung berteriak pada kak Arsen dan menarikku ke sebelahnya.
Kak Arsen tampak terkejut dan hanya mengusap wajahnya lalu berjalan pergi meninggalkan kami.
Aku menahan air mataku agar tidak menangis di depan kak Devan.
"Cia...Agacia...maaf, aku datang terlambat ya..."
"Maafkan aku, harusnya aku pulang lebih cepat, pipimu...pasti sakit ya?"
Kak Devan mengelus pipiku dengan lembut, permintaan maaf yang lirih dan bergetar terus keluar dari mulutnya. Mungkin kak Devan berfikir andai saja dia pulang lebih cepat pasti kejadian ini tidak akan terjadi padaku.
"Jangan minta maaf kak, ini bukan kesalahan kak Devan. Aku baik-baik saja, lihat" Aku tersenyum dan berpura-pura tegar agar kak Devan tidak merasa bersalah, karena bagaimanapun ini bukan kesalahannya sampai dia harus meminta maaf padaku seperti ini.
.
.
.
.
.
Bersambung...
Panjangin lah thorr/Whimper/