Lavina tidak pernah menyangka akan dijodohkan dengan seorang duda oleh orang tuanya. Dalam pikiran Lavina, menjadi duda berarti laki-laki tersebut memiliki sikap yang buruk, sebab tidak bisa mempertahankan pernikahannya.
Karena hal itu dia menjadi sanksi setiap saat berinteraksi dengan si duda—Abyan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu Lavina mulai luluh oleh sikap Abyan yang sama sekali tidak seperti bayangannya. Kelembutan, Kedewasaan Abyan mampu membuat Lavina jatuh hati.
Di saat hubungannya mulai membaik dengan menanti kehadiran sosok buah hati. Satu masalah muncul yang membuat Lavina memutuskan untuk pergi dari Abyan. Masalah yang membuat Lavina kecewa telah percaya akan sosok Abyan—duda pilihan orang tuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my_el, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Duda 10
“Luangkan waktu kalian, nanti Papa yang akan mengurus tiketnya.” Suara tegas Harun, membuat sepasang suami istri itu tak berani membantah.
Bohong, jika Lavina tidak terusik akan pernyataan sang mertua. Terlebih, orang tuanya juga sempat bertanya hal yang serupa. Apakah harus dia pergi bulan madu, sedangkan hubungannya dengan Abyan masih baru saja mengalami kemajuan.
Memikirkan hal itu Lavina kembali menghela napas untuk yang ke sekian kalinya. Namun, dia segera mengesampingkan masalah itu, sebab dia harus menyelesaikan pekerjaannya. Bekerja di perusahaan milik orang lain sesuai passion yang dia suka. Mau tidak mau harus bertanggung jawab dan siap sedia akan kejaran deadline.
“Nanti aja gue obrolin sama Mas Aby,” gumamnya sebelum benar-benar fokus akan pekerjaannya.
Sementara itu, di lain tempat, Abyan juga tengah termenung di ruangannya. Bedanya, tak akan ada yang berani menegur dan meminta deadline pada pria itu, sebab dialah sang pemilik perusahaan.
“Kira-kira Lavina mau tidak, ya?” gumam Abyan mengetuk-ngetukkan bolpoin yang ia pegang ke meja kerjanya.
Pria itu menghela napas panjang, kembali mengulang ingatan awal pernikahannya dengan Lavina sampai saat ini. Tentu meski hanya sedikit, sudah ada kemajuan dibanding awal-awal. Istrinya itu tak lagi menghindarinya dengan terang-terangan.
Justru, sekarang wanita itu kerap kali ikut andil dalam pekerjaan rumah tangga. Lavina juga mulai bisa membuka obrolan panjang, meskipun masih ada kesan manja. Jelas saja itu bukan suatu masalah menurutnya, karena dia suka dengan sikap manja Lavina.
“Sepertinya nanti perlu dibicarakan sama orangnya langsung. Semoga saja, Lavina dalam keadaan hati yang bagus,” monolognya seorang diri. Yang tiba-tiba harus terhenti saat mendengar dering ponselnya.
“Iya, ada apa, Dek?”
Terdengar helaan napas berat dari arah seberang, sebelum membalas sapaan Abyan. “Ada yang ingin Aidan pastikan ke Abang.”
Abyan sontak menaikkan sebelah alisnya. Tidak merasa biasa dengan sikap adiknya yang tiba-tiba bicara dengan serius. "Boleh. Mau bicara di sini apa secara langsung?” tanyanya tenang, mencoba untuk menahan rasa penasarannya.
“Besok saja. Aidan bicara langsung.” Abyan pun tanpa banyak berpikir mengiyakan sembari menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi.
***
Setelah menata masakan sederhana yang sudah dia buat. Lavina tersenyum simpul, merasa bangga sebab masakannya kali ini tak mengalami kegagalan berarti. Saking asyiknya Lavina dengan kreasi masakannya, wanita itu sampai tidak menyadari kehadiran Abyan yang kini sudah menatapnya dengan teduh.
“Sudah siap makanannya?" Abyan tak lagi bisa menahan diri untuk tidak bersuar. Pria itu sudah kepalang gemas sekaligus bahagia melihat bagaimana antusiasnya sang istri memasak.
“Aku baru aja mau manggil kamu. Eh udah ke sini duluan,” ujar Lavina menyembunyikan kegugupannya sebisa mungkin. Jujur saja, dia merasa kaget akan kedatangan sang suami yang tiba-tiba.
Abyan melangkahkan kakinya mendekat dan duduk di meja makan itu. Tatapannya belum beralih dari makanan yang dimasak istri kecilnya. Membuat Lavina menahan napas, harap-harap cemas.
“Kamu keren sekali, Lav.” Abyan memberikan senyuman ke arah sang istri. Menatapnya penuh kelembutan.
“Terima kasih, ya, sudah mau memasak makan malam untuk kita,” imbuhnya lagi dengan tulus.
Napas yang sedari tadi Lavina tahan, kini dilepas dengan lega. Kemudian, dia mengangguk tanpa bisa lagi menahan senyumannya.
Lantas, sepasang anak manusia itu menikmati makan malam dengan tenang. Tanpa bicara, tetapi tak urung terasa nyaman dan hangat dibanding sebelum-sebelumnya. Hingga tak terasa masakan sederhana itu telah tandas di piring masing-masing.
“Lav, ada yang ingin saya bicarakan. Apa kamu ada waktu sebentar?” Suara Abyan memecah keheningan sesaat setelah makan malam itu usai.
Sontak saja Lavina menoleh ke arah suaminya dengan kedua alis yang menukik tajam. Namun, tak urung juga dia mengangguk, mengiyakan.
“Mengenai bulan madu yang dikatakan Papa dan Mama pagi tadi. Apa itu tidak masalah buat kamu?”
Pertanyaan penuh kehati-hatian itu nyatanya berhasil menegakkan tubuh Lavina. Wanita itu bergeming, sedikit merasa bersyukur, karena Abyan mau membahas hal yang sebenarnya ingin dia bahas juga. Jadi, dia tak perlu bingung untuk memulai basa-basi.
“Aku gak ada masalah. Hitung-hitung buat liburan juga,” jawab Lavina pada akhirnya, yang tentunya mendapat helaan napas lega dari arah depan, di mana Abyan berada. “Mas sendiri bagaimana? Apa ada masalah atau gak nyaman?” tanyanya menatap lekat Abyan.
Gelengan tegas Abyan lakukan, menciptakan senyuman terbit di wajah Lavina. Yang tanpa disadari menular juga ke Abyan. Keduanya saling melempar senyum ringan dengan mata yang memancarkan kenyamanan.
“Kalau begitu saya akan menghubungi papa untuk memesan tiketnya. Boleh?” Lagi Abyan bertanya tanpa mengalihkan sedikit pun tatapannya.
“Mas gak mau tanya dulu ke mana tujuan yang aku pengen untuk menghabiskan liburan?” Lavina pun masih betah membalas tatapan suaminya.
Senyuman Abyan semakin lebar. “Kamu bisa katakan sekarang ke Mas,” balas Abyan dengan lembutnya.
Entah kenapa tatapan dan suara lembut Abyan kali ini berefek ke jantung Lavina yang mendadak bergemuruh tanpa bisa kendalikan. Sebenarnya ada apa dengannya saat ini? Segera saja Lavina memutus lebih dulu arah pandangnya, untuk menghilangkan perasaan baru yang menyelusup.
“Di dalam negeri saja. Lombok, mungkin,” jawab Lavina pelan. Yang langsung disetujui oleh Abyan tanpa banyak bicara.
****
Tidak susah bagi Harun untuk mengabulkan permintaan sang anak dan menantu. Terbukti sekarang Abyan dan Lavina sudah tiba di Bandara dengan diantar oleh Aidan. Namun, sekarang Lavina hanya seorang diri di ruang tunggu. Sedangkan sang suami dan adik iparnya meminta waktu sebentar untuk bicara berdua.
Entah apa yang kakak-beradik itu bicarakan sampai-sampai tidak ingin siapa pun mendengar, serta memakan waktu hampir tiga puluh menit. Membuat Lavina berdecak kesal.
“Udah kayak orang ilang aja gue. Planga-plongo sendirian di Bandara,” gerutu Lavina sambil menikmati kopi yang dia beli sebelumnya.
Aidan dan Abyan yang sudah berada dekat dengan tempat Lavina menunggu, seketika menghentikan langkahnya. Si bungsu kembali menatap sang kakak dengan sangat serius, yang sangat jarang sekali ditampilkan. Mengingat perangainya yang tengil dan berisik.
“Aidan titip Lavina dan Aidan pegang omongan Abang tadi,” ujar Aidan tegas. Kemudian lebih dulu melangkah, meninggalkan Abyan di belakang yang tengah menghela napas berat.
“Masih pagi juga. Udah ngopi aja,” celetuk Aidan mengagetkan Lavina.
Tentu hal itu membuat Lavina merotasikan kedua bola matanya malas. “Lama banget! Mana suami gue? Kok lo sen—“
“Maaf, ya, Lav. Udah buat kamu nunggu lama,” sela Abyan yang tiba-tiba sudah ada di depan Lavina.
Wanita itu mengangguk pelan, kemudian kembali adu mulut dengan Aidan yang suka sekali menggoda dan membuat Lavina mencak-mencak sendiri. Dan Abyan melihat hal itu dalam diam sembari memikirkan perkataan sang adik tadi.
Abyan melihat bagaimana cerianya Lavina. Bagaimana hangatnya senyuman Lavina. Bagaimana senyuman lebar itu membuat perasaan nyaman. Dan segala ekspresi wanita itu di setiap situasi yang tentunya tampak menarik di matanya.
“Feeling kamu sepertinya salah, Aidan,” batin Abyan berbisik.