Semua itu karena rasa ego. Ego untuk mendapatkan orang yang dicintai, tanpa berfikir apakah orang yang dicintai memiliki perasaan yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Aku mengecek apa saja yang ada di dalam dapur, tepatnya isi kulkas. Pagi ini aku ingin masak, memasak sarapan untukku dan Mas Adam. Aku membuka pintu kulkas, mengeluarkan daging ayam, tomat, bawang merah, bawang putih, bumbu rendang, dan sayur putih. Lalu meletakkannya di meja.
"Aduhh tinggi banget lagi" celetukku, sambil jinjit hendak mengambil baskom yang disimpan di dalam lemari atas.
Tiba-tiba seseorang mengambilkan baskom.itu untukku, aku menoleh, itu Mas Adam. Seketika aku teringat kejadian tadi malam. Seketika aku menjadi merasa malu.
"Nih.." ujarnya memberikan baskom kepadaku, dan aku menerimanya seraya menunduk. Ku lihat dia duduk di kursi meja makan, dan aku pun mengikutinya dari belakang.
Ku lihat ia sedang menuang air putih ke dalam gelas, sedangkan aku dengan kikuk mengambil ayam yang kuletak di atas meja, kemudian memasukkannya ke dalam baskom, berniat untuk mencucinya sebelum ku potong-potong menjadi beberapa bagian.
Setelah selesai kucuci dengan bersih, aku pun duduk di kursi, aku akan memotong ayam ini menjadi beberapa bagaian. Ku lihat kak Adam belum beranjak dari tempat duduknya, dia sibuk dengan ponselnya.
"Ehemmm..." Mas Adam berdehem, aku menelan air liur. Suasana di dapur ini sangat tidak nyaman. Meskipun aku senang, karena masak di temani oleh orang yang ku cintai.
"Tadi malam apa yang kamu lakukan di depan pintu kamar ku?" tanya Mas Adam, aku menatapnya sekilas, kemudian menunduk.
"Tidak melakukan apa apa kak" ujarku menggelengkan kepala.
"Jangan bohong!" Bentaknya, aku pun tersentak mendengar suaranya yang menggelegar. Aku menunduk, tak kuasa menatap matanya kedua tanganku saling bertaut, meremas jari-jemariku sendiri.
"Lain kali jangan melakukan hal bodoh apapun di rumah ini, apalagi sampai memutuskan untuk tidur di depan pintu kamarku!" Bentaknya lagi, aku semakin takut. Seumur-umur baru kali ini aku melihat mas Adam marah.
"Kamu harus ingat, bahwa pernikahan kita hanya formalitas. Seperti yang kamu katakan sebelumnya, kalau kita menikah hanya demi membahagiakan orang tua kita masing-masing!" sambungnya lagi, dengan nada suara penuh penekanan di setiap katanya.
"Ma-af, a-ku enggak sengaja," ujarku terbata-bata, dengan wajah masih menunduk.
Ia tak membalas permintaan maaf ku, dan pergi berlalu begitu saja meninggalkanku. Tidakkah dia sadar bahwa perlakuannya sangat menyakiti hatiku? Tidakkah dia paham bahwa wanita yang ia perlakukan seperti orang asing itu adalah istrinya? Dan tidakkah ia paham bahwa aku sangat mencintainya.
Tak terasa pipiku menghangat, air mataku menetes. Dengan cepat aku menghapus air mataku dengan ujung jilbabku, lalu melanjutkan kegiatan masakkku.
Setelah 1 jam bergumul di dapur, akhirnya masakan sederhanaku tersaji di meja dapur. Tapi, entah mengapa luka hatiku belum sembuh, yang membuatku tak berselera sarapan pagi ini. Aku pun memutuskan untuk duduk di taman rumah mas Adam. Setidaknya menghirup udara segar dari pepohonan akan dapat membuat fikiranku menjadi lebih tenang.
Aku berjalan ke taman yang ada di halaman rumah Mas Adam. Halaman rumah Mas Adam memang di sulap jadi taman, banyak bunga, pohon mini, halamannya juga merupakan Padang rumput. taman ini terbilang tidak begitu luas, namun cukup nyaman untuk dijadikan tempat bersantai.
Aku duduk di kursi yang berada di bawah pohon, cuaca pagi ini cerah namun tidak panas. Aku menatap sekelilingku. Asri sekali, andailah Mas Adam juga duduk bersamaku, pastilah lebih indah rasanya.
"Brumm...." Aku mendengar suara mobil di hidupkan, itu Mas Adam yang sedang memanaskan mobilnya, ku lihat Mas Adam sudah berpakaian rapi. Aku tersenyum, ia tampan sekali. Tak kusangka ia menatap ke arahku, yang membuatku langsung mengalihkan pandanganku. Tak lama kemudian dia melajukan mobilnya, dan meninggalkan ku sendiri di rumah ini tanpa berpamitan terlebih dahulu. Aku merasa diriku seperti penumpang yang tidak dianggap ada di rumah ini.
Setelah lama menikmati indahnya taman, aku pun masuk ke dalam rumah, perutku sudah ke roncongan meminta untuk segera di isi.
Sesampainya di meja makan, aku langsung membuka tudung saji, meja masih bersih, masakanku sama sekali tidak di sentuh. Itu artinya mas Adam pergi tanpa sarapan dari rumah. Apa yang kalian rasakan jika kalian memasak untuk suami kalian, tetapi justru ia tidak memakannya.
Aku pun sarapan sendiri, menyuapkan makanan ke dalam mulutku dengan tangan bergetar, dan air mata mengalir. Entah mengapa semenjak dekat dengan Adam aku jadi gampang sekali menangis. Hatiku mudah sekali merasa sedih. Tidak di akui begini saja, sudah cukup membuat hatiku teriris.
Setelah selesai makan, aku melanjutkan tugasku, yaitu bersih bersih rumah. Pertama Tama, aku akan membersihkan ruangan atas. Dengan membawa sapu dan kain lap aku menaiki satu persatu anak tangga.
Aku menatap kamar mas Adam. Seharusnya aku pun tidur di sana berdua dengan mas adam, selayaknya suami istri. Tetapi apa hendak di kata, mas Adam tidak menginginkan hal yang sama denganku.
Aku memutuskan untuk membersihkan lantai luar saja, aku tidak berani untuk memasuki kamar mas Adam tanpa seijinnya. Meskipun jika aku memasuki kamar mas Adam dia pasti tidak akan tahu, sebab mas Adam sedang berada di luar rumah, tetapi tetap saja aku tidak bisa melakukannya.
Setelah selesai membersihkan ruangan atas, aku pun beralih membersihkan lantai bawah. Di rumahku aku sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri, jadi aku sudah tidak terkejut lagi dengan pekerjaan seperti ini.
"Subhanallah capeknya ya Allah..." ujarku seraya memegangi pinggangku yang rasanya pegal sekali. Sebab kelamaan menunduk untuk menyapu dan mengepel rumah seluas ini.
"Nanti aku akan Carikan art"
Sontak aku terkejut, dan membalikkan badan ke arah sumber suara, dan benar saja itu suara milik mas Adam. Tetapi sejak kapan dia telah berdiri di belakang ku.
"mas Adam..." Aku menyebut namanya perlahan-lahan, aku menggaruk kepalaku yang tidak sedang gatal. Aku merasa malu, baru mengepel begini saja aku sudah mengeluh capek.
"seharusnya kamu tidak perlu mengerjakan pekerjaan ini sendiri, nanti aku akan Carikan art." Ujarnya, aku menggelengkan kepala.
"Tidak perlu mas, aku bisa kok mengerjakan pekerjaan ini sendiri, aku sudah biasa. Sebab di rumah juga aku terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri," ujarku, ia menatapku dengan tatapan yang tajam, aku dengan segera menunduk, hatiku berdebar, aku tak sanggup menatap mata mas Adam. Aku tak mau dia menyadari bahwa aku sangat mengaguminya.
"Di rumah ini aku pemimpin, dan aku tidak suka dibantah," ujarnya, kemudian berlalu pergi meninggalkanku begitu saja. Tanpa kusadari aku tersenyum sendiri, setidaknya ia perduli terhadapku. Meski cara penyampaiannya tidak lembut, tetapi dari adanya keinginan mas Adam untuk mencari Art di rumah ini kuanggap sebagai salah satu bentuk kepedulian mas Adam terhadapku.
"Mas!!!" Panggilku, yang membuat mas Adam berhenti di anak tangga ke 15, saat ini aku dan mas adam berjarak 5 meter lebih.
Kak Adam tak menyahut, dia hanya berbalik dan mengangkat alisnya, barangkali ia bertanya 'ada apa?'
"Mas Adam mau aku buatkan minuman dingin atau..."
"Tidak perlu melakukan apapun di rumah ini, jika kamu mau minum buatkan untuk dirimu sendiri," ujar mas Adam cuek, lalu balik badan dan menaiki anak tangga terakhir dan berjalan menuju kamarnya.
"Oh ya, kembali ku pertegas lagi, di rumah ini kita mengurus urusan kita masing masing. Jadi tak perlu repor repot melakukan apapun untukku. Urusa saja dirimu " sambungnya lagi.
Aku hanya menunduk. Aku meremas gagang sapu yang kupegang. Menyebalkan sekali.