NovelToon NovelToon
ALTAIR: The Guardian Eagles

ALTAIR: The Guardian Eagles

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Fantasi Timur
Popularitas:15.5k
Nilai: 5
Nama Author: Altairael

[MOHON DUKUNGAN UNTUK CERITA INI. NGGAK BAKAL NYESEL SIH NGIKUTIN PERJALANAN ARKA DAN DIYAN ✌️👍]

Karena keserakahan sang pemilik, cahaya mulia itu pun terbagi menjadi dua. Seharusnya cahaya tersebut kelak akan menjadi inti dari kemuliaan diri si empunya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya---menjadi titik balik kejatuhannya.

Kemuliaan cahaya itu pun ternoda dan untuk memurnikannya kembali, cahaya yang telah menjadi bayi harus tinggal di bumi seperti makhluk buangan untuk menggenapi takdir.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Altairael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CURIGA

Suara tawa saling bersahutan mengudara dari dalam ruangan berpenerangan temaram yang dipenuhi aroma darah dan persetubuhan. Dua tubuh di balik kelambu saling melilit. Rambut panjang sosok yang ditindih ditarik hingga leher jenjang terekspos. Pelaku menyeringai garang lalu membenamkan wajahnya, suara melengking jerit kesakitan hanya terdengar dalam satu kali embusan napas, lantas disambung oleh desahan nikmat, sesaat kemudian tawa bahagia kembali membahana, semakin lama semakin memekakkan gendang telinga.

Laki-laki dan perempuan, bagai telah kehilangan kewarasan, bergerak dan terus bergerak untuk menggali kepuasan dan kenikmatan dengan cara yang paling sadis, menyakitkan, juga menjijikan, tanpa tahu ada yang mengintip.

"Dasar iblis laknat!"

Pintu yang hanya dibuka secelah kembali ditutup dengan perlahan. Seorang perempuan melangkah tergesa di bawah bayang-bayang jendela di sepanjang koridor yang sunyi, menjauh dari ruang penuh maksiat.

Sosoknya tinggi ramping, terus melangkah keluar dari pintu gerbang bangunan tua, zaman Belanda, yang meski sudah banyak bagian yang runtuh, tetapi masih kukuh berdiri.

Dia menghilang ditelan kegelapan jalan yang kanan-kirinya ditumbuhi pepohonan besar nan rindang, cahaya bulan redup pun tidak kuasa menembus rimbunnya atap dedaunan.

Meskipun sama-sama terpencil, sama-sama dikelilingi area perkebunan, sawah, serta tidak terlalu jauh di belakang rumah adalah hutan dan perbukitan, tidak lantas membuat suasana di sekitar rumah Keluarga Gaganantara sama suramnya dengan rumah tua itu.

Orang yang bertugas merawat rumah Keluarga Gaganantara memasang lampu dengan daya cukup besar di setiap sudut luar rumah. Bahkan di sepanjang jalan akses ke jalan besar, kiri-kanannya pun berjejer lampu neon bercahaya keemasan. Neon-neon itu dilindungi oleh balon kaca putih dan disangga dengan tiang besi setinggi atas kepala orang dewasa.

Dilihat dari kejauhan, rumah itu tampak seperti sumber cahaya di tengah kegelapan. Kegelapan yang bisa saja menyesatkan. Di dalam rumah, Bu Harnum terlihat masih sibuk berbenah di dapur, sedangkan Arka berada di kamar Diyan, menjagainya sepanjang hari. Dia juga sempat tertidur beberapa jam dan terbangun karena ada panggilan masuk di ponsel Diyan, dari teman-temannya.

Tadi pagi, setelah diberi obat anti gatal oleh ibunya, Diyan langsung tidur nyenyak. Begitu nyenyak hingga malam sudah kembali menjelang pun masih betah terlelap. Kabar baik, punggungnya yang gatal hingga muncul ruam-ruam merah sudah sembuh total.

Arka termenung, sedari tadi terus memikirkan satu hal yang cukup mengganggu. Kenapa ibunya memberikan obat penenang khusus pada Diyan? Padahal Diyan hanya mengalami gatal-gatal. Bagi Arka hal itu sungguh berlebihan, mengingat obat tersebut bukanlah obat biasa yang berasal dari dunia fana.

Asyik bergelut dengan pikiran sendiri, tanpa sadar jemarinya terus memainkan helaian rambut sang adik yang halus nan lembut. Entah karena terusik oleh gerakan jemari kakaknya atau karena sudah puas tidur seharian, Diyan perlahan membuka mata.

Dia mengerjap beberapa kali untuk membiasakan matanya pada cahaya dalam ruangan. Setelah itu, menatap sang kakak yang dia pikir sedang menatapnya. Namun, beberapa saat kemudian Diyan menyadari bahwa tatapan mata Arka kosong. Tampak seperti sedang menerawang sangat jauh.

"Stop," Diyan pun menangkap tangan Arka, "ganggu banget tau."

Arka menjengit dan ketika hati dan pikiran sudah kembali sinkron senyumnya langsung terkembang. "Sudah bangun, hhm? Lapar? Mau makan atau minum sesuatu mungkin? Aku ambilkan." Dia melontarkan beberapa pertanyaan sekaligus, sembari memperbaiki posisi duduk yang tadi menyamping menjadi lurus menghadap sang adik.

"Jam berapa sekarang?"

Alih-alih menjawab, Diyan malah balik bertanya sambil menggeliat. Dia dengan sengaja merentangkan tangan hingga mengenai dahi sang kakak untuk menjahilinya. Dengan wajah sendu yang terlihat sangat murung,  siapa pun yang melihat ekspresi Arka pasti akan berpikir bahwa dia sedang berkabung di depan jasad adiknya.

"Jam delapan. Gimana? Apa punggungmu masih gatal?" Arka menatap Diyan dengan sorot mata curiga.

"Tidak lagi, tapi sekarang rasanya seperti ada yang menusuk-nusuk dari bawah kulit."

"Hah?"

"Ah, tidak-tidak jangan khawatir rasanya tidak sakit. Tidak sakit sama sekali hanya geli." Cara Arka menatap membuat Diyan merasa harus buru-buru menjelaskan sebelum sang kakak berpikir kondisinya sangat buruk.

Arka pun kembali tertegun. Apa yang sedang dipikirkannya sama sekali tidak sama, seperti yang dipikirkan Diyan. Sebab apa yang Arka pikirkan adalah sesuatu yang tidak berasal dari dunia fana ini, atau katakanlah sama-sama berada di alam fana, tetapi dipisah oleh dinding tidak kasatmata yang sangat misterius.

Jantung Arka berdetak lebih cepat, setelah mengatur napas, dia pun membantu Diyan bangun. "Bangun dan berbaliklah aku ingin melihat punggungmu."

Saat ini, Arka sedang memikirkan sesuatu yang dampaknya lebih serius dibandingkan hanya sekadar rasa sakit. Keluhan yang diutarakan Diyan membuatnya semakin menaruh curiga pada sang ayah dan ibu.

Tadi pagi, mereka tidak memberi kesempatan padanya untuk turut melihat kondisi punggung Diyan. Saat dia berdiri hendak ikut melihat, ibunya buru-buru menutupkan kembali kaus adiknya. Setelah itu, segera membawa si bungsu ke kamar.

Awalnya Arka tidak curiga atau berprasangka apa pun. Bahkan ketika tanpa sengaja dia melihat ibunya memberikan pil bening pada Diyan, rasa curiga itu pun masih belum ada.

Akan tetapi, sekarang setelah mendengar keluhan sang adik, segalanya menjadi sangat mencurigakan bagi Arka. Kalau kecurigaannya benar dan terbukti, lalu untuk apa ayah dan ibu menyembunyikan fakta itu darinya?

Perlahan, Arka menyingkap kaus adiknya dengan hati waswas, sampai-sampai tangan pun gemetar. Dia tidak tahu harus merasa senang atau sedih ketika kecurigaannya nanti terbukti. Pelan-pelan kaus itu digulung ke atas, ketika tinggal sedikit lagi dia sudah akan bisa melihat punggung Diyan, bagian tulang belikat, tiba-tiba....

"Arka, kamu ngapain?!"

Arka terlonjak dan serta-merta menjauhkan diri dari adiknya. Reaksi sangat berlebihan itu sama persis dengan reaksi orang yang tertangkap basah sedang melakukan perbuatan asusila. Arka menatap nanar serta menelan ludah beberapa kali untuk menyamarkan gugup.

Bu Harnum melangkah masuk, pun dengan perasaan waswas. Hati bertanya-tanya, apakah Arka sudah melihat apa yang ada di punggung Diyan?

Merasa ada yang aneh dengan sikap ibu dan kakaknya, Diyan menatap bingung pada Arka yang terlihat syok, lalu beralih menatap sang ibu yang wajahnya tampak tegang. Mata yang selalu menatap Arka dengan lembut, sekarang tampak tajam seperti sedang mengecamnya atas perbuatan yang tidak patut.

"Gimana rasanya? Apa kamu lapar?" Duduk di samping Diyan, sikap Bu Harnum pun langsung berubah total. Mata menatap lembut penuh kasih, tangan kiri membelai rambut, dan tangan kanan mengelus pipi. Nada suaranya pun sangat lembut.

Bu Harnum memang kerap meledak-ledak, tetapi bukan berarti tidak pernah bersikap lembut pada si bungsu. Tentu saja Bu Harnum bisa menempatkan diri sebagai ibu sesuai porsi. Dia hanya meledak marah di saat-saat tertentu saja. Akan tetapi, bagi Diyan sikap sang ibu saat ini sangat berlebihan. Tingkat perhatian dan kelembutannya sampai membuat bulu kuduk si bungsu merinding.

"Bu, jangan berlebihan. Aku nggak pa-pa." Diyan menyingkirkan tangan kiri sang ibu yang masih mengelus rambutnya. "Aku mau mandi dulu, badanku lengket semua."

"Ibu bantu---"

Bu Harnum seketika bungkam saat mata Diyan menyipit menatap curiga. Bahkan dahinya pun turut mengernyit dalam.

"Cuma gara-gara punggung gatal, Ibu khawatir sama aku sampai mandi pun harus dikawal. Lucu, aku jadi pengen ngakak." Diyan benar-benar tergelak. Setelah itu, tanpa mengindahkan wajah cemberut ibunya, dia beranjak dari tempat tidur. "Awas, dilarang ngintip." Tawanya semakin menjadi-jadi, pun masih terdengar saat sudah berada di dalam kamar mandi.

"Ibu merahasiakannya dariku? Kenapa, Bu?" Pertanyaan Arka membuat Bu Harnum urung menghela napas lega. Wajahnya justru kembali menegang.

Bu Harnum sangat enggan bertatap mata dengan si sulung atau lebih tepatnya, dia tidak ingin Arka melihat dusta di matanya. Cara Arka bertanya yang sangat tenang, tanpa menyalahkan ataupun menuntut, membuat Bu Harnum semakin merasa bersalah karena telah berlaku tidak adil padanya.

Walaupun bagaimana, Arka berhak mengetahui kebenaran tentang adiknya di usia yang telah ditetapkan. Namun, hingga usia yang telah ditetapkan itu sudah terlewat, Bu Harnum masih belum memiliki keberanian untuk mengatakan. Waktu itu, dia masih merasa bahwa Arka belum cukup dewasa. Pikirnya, tidak perlu terburu-buru dan bermaksud menunggu hingga putra sulungnya itu menjadi lebih dewasa dari yang waktu itu.

Akan tetapi, setelah si sulung benar-benar sudah cukup usia dan dewasa, Bu Harnum malah berubah pikiran. Dia merasa tidak perlu memberi tahu, toh, pada akhirnya semua akan terungkap dengan sendirinya.

"An sama seperti kita, kan? Kenapa---"

"Arka, ibu mohon jangan sekarang. Jangan sampai An dengar, belum waktunya dia tahu."

Arka menelan ludah paksa hingga tenggorokan terasa sakit. Secara tidak langsung sang ibu sudah menjawab pertanyaannya. Ya, Diyan yang selama ini dia kira manusia istimewa yang harus dilindungi karena suatu hal, ternyata bukan. Diyan sama seperti mereka.

Bu Harnum bergegas bangkit lalu melangkah ke pintu kamar mandi. "An, ibu tunggu di ruang makan."

"Oke!"

Melangkah gontai, Arka keluar dari kamar adiknya tanpa menunggu sang ibu. Banyak pertanyaan melintas di benaknya, tetapi enggan bertanya karena belum tentu akan mendapat jawaban seperti yang dia harapkan. Lagi pula, Arka yakin ayah dan ibunya pasti memiliki alasan tersendiri merahasiakan semua itu darinya.

1
bang sleepy
Akhirnya sampai di chap terakhir update/Whimper/ aku bagi secangkir kopi biar authornya semangat nulis 🤭💗
bang sleepy
pengen kuguyur dengan saos kacang rasanya/Panic/
bang sleepy
brisik kamu kutu anjing! /Panic/
bang sleepy
bisa bisanya ngebucin di moment begini /Drowsy/
bang sleepy
mank eak?
diyan selalu berada di sisi mas arka/Chuckle/
bang sleepy
shock is an understatement....... /Scare/
bang sleepy
sabar ya bang arka wkwwk
bang sleepy
tetanggaku namanya cecilia trs penyakitan, sakit sakitan trs. akhirnya namanya diubah. bru sembuh
bang sleepy
mau heran tp mrk kan iblis /Drowsy/
bang sleepy
dun dun dun dunnnn~♪
bang sleepy
astaga suaranya kedengeran di telingaku /Gosh/
bang sleepy
Hah... jd raga palsu itu ya cuma buat nguji arka ama diyan
Alta [Fantasi Nusantara]: Kenyataan emang pahit ya🤣🤣🤣🤣🤣🤣
total 1 replies
bang sleepy
bener uga ciii /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
bang sleepy
idih idihhh
bang sleepy
nyembur wkwkwkwk
bang sleepy
Tiba-tiba cinta datang kepadaku~♪ #woi
bang sleepy
kan bener. kelakuannye kek bokem. tp dia altair
bang sleepy
agak ngeri ngeri sedap emg si diyan ini wkwkw
Alta [Fantasi Nusantara]: /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
total 1 replies
bang sleepy
anaknya anu kah
bang sleepy
buseeeeddd
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!