Sudah dua tahun ini Feri tidak pernah pulang ke rumah. Ia tinggal di asrama tempatnya bersekolah. Rencananya ia hanya akan pulang setelah lulus. Tapi di liburan kenaikan kelas kali ini firasatnya berbeda. Hatinya menuntunnya untuk pulang. Ia juga mengajak sahabatnya untuk pulang ke desa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon David Purnama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Orang Hutan
“Pak Tomo ada mas?”, tanya seorang tamu yang datang ke rumah.
“Pak Tomo sama Feri sedang ke sawah”, jawab Iwan yang tertegun.
“Ya sudah saya susul ke sawah saja”, balas orang asing itu.
Baru kali pertama ini Iwan melihat orang yang barusan bertamu. Selama tinggal di desa rasanya ia belum pernah berjumpa dengan orang tersebut. Ia yakin betul meskipun tidak hafal satu per satu nama orang-orang di sana tapi ia sudah bisa mengenali wajah-wajah asing mereka. Namun tidak dengan orang yang satu ini.
“Yang tadi itu namanya mas Yayan. Ia warga sini juga tapi tidak tinggal di sini”, kata Endang yang saat ini telah bersedia untuk tinggal di rumah lamanya bersama ayah dan adiknya.
“Memangnya dia tinggal dimana?”, tanya Iwan penasaran.
“Mas Yayan tinggal di hutan”, kata Endang.
“Kenapa?”, tanya Endang kepada Iwan yang melihat teman adiknya itu menahan tawa.
“Mas Yayan memang seperti itu penampilannya. Beda sendiri kelakuannya dibandingkan dengan orang desa yang lain. Sudah rambutnya gondrong jarang mandi eh malah sekarang milih hidup di hutan. Sudah seperi orang gila saja”, ungkap Endang.
“Eh mbak. Ini aku lagi baca buku. Seru mbak. Mbak tidak tertarik untuk baca? Coba satu saja pasti ketagihan mbak”, kata Iwan yang sudah mulai akrab dengan kakak temannya itu semenjak kejadian di embung saat memancing tempo hari.
“Itu sama seperti yang sering dibaca Feri ya? Kamu saja Wan yang baca nanti aku dengar ceritanya dari kamu”, pinta Endang.
“Kenapa mbak? Tidak suka baca ya?”, desak Iwan.
“Bukan Wan. Aku tidak bisa baca”, kata Endang yang membuat Iwan terdiam.
Keduanya mulai dekat. Endang sudah melunak tidak kaku seperti saat pertama kali Iwan bertemu dengannya. Mereka sudah bisa saling bicara. Bahkan Pak Tomo dan Feri juga merasakannya. Endang yang sejak kepergian suaminya menjadi pribadi yang menutup diri kini sudah memulai kembali membuka hati.
***
“Dicari itu Fer”, kata Pak Tomo melihat kedatangan Yayan yang menyusul mereka ke sawah.
“Siapa Pak?”, kata Feri.
“Orang hutan”, gurau Pak Tomo.
“Sudah lama sekali aku tidak melihatnya”, kata Feri.
Bagi keluarga Pak Tomo Yayan sudahlah dianggap sebagai keluarga mereka sendiri. Orang tua Yayan adalah sahabat karib Pak Tomo. Semasa kecil pun Yayan kerap bermain dengan Endang dan juga Feri. Kedatangan manusia lumpur ke desa mengubah segalanya. Yayan yang terkucilkan menjadi enggan untuk bersosialisasi dengan warga. Ia sama sekali sudah tidak dianggap oleh kampungnya sendiri. Hanya keluarga Pak Tomo yang masih mau berbaik hati padanya. Dan untuk alasan itulah mengapa ia lebih memilih hutan sebagai rumahnya. Bahkan kelamaan tinggal di alam liar membuatnya betah dan nyaman.
Hari itu ia menemui Pak Tomo karena ada keperluan yang memang sudah menjadi kebiasaanya untuk meminta pertolongan dari sahabat mendiang ayahnya itu. Kepada siapa lagi ia akan mengadu kalau bukan kepada mereka.
“Tok…tok…tok..”, pintu rumah diketuk.
Feri mengintip lalu membukakan pintu untuk tamunya yang berkunjung di malam gerimis itu. Orang itu adalah Yayan yang sebelumnya sudah membuat janji bahwa malam ini ia akan datang ke rumah. Ia datang dengan bermacam-macam bawaan. Pisang, kelapa, buah-buahan, yang akan ia berikan kepada keluarga Pak Tomo sebagai nilai tukar untuk barang-barang yang ia inginkan. Dari Pak Tomo ia mendapatkan beras, korek api, kopi, dan garam.
“Ini kopinya”, Feri membuatkan orang rumah kopi.
“Punyaku yang mana Fer?”, tanya Yayan mencari kopi pahitnya.
“Mas kalau kau hidup di hutan berarti bisa setiap hari mancing di sungai”, tanya Iwan.
“Ya kalau lagi pengen makan ikan saja aku mancingnya”, jawab Yayan.
“Mas kalau ketemu manusia lumpur bagaimana?”, pertanyaan Iwan yang sesungguhnya yang membuat seisi rumah hening.
Beberapa saat berselang Yayan pun menjawab,
“Ya kalau ketemu mereka aku lari saja ke kebun bambu kuning. Aku kan manusia hutan”, jawab Yayan dengan maksud kembali mencairkan suasana.
“Kalian mau coba ikut tinggal sama aku di hutan?”, tawar Yayan.
“Saya mending di rumah saja mas yakin”, jawab Iwan tidak berani.
Yayan pamit pulang setelah selesai berkunjung ke rumah Pak Tomo untuk pertukaran dan menjumpai teman mainnya dulu sewaktu kecil setelah mendengar kabar kepulangannya ke desa. Di malam yang dingin di tengah hujan ia berjalan menuju hutan sendirian tanpa rasa gentar sedikitpun.
Di sinilah Iwan mendapatkan sebuah pertanyaan yang membuatnya kembali bingung tentang misteri apa yang sebenarnya terjadi di desa. Siapakah Yayan orang yang tinggal di hutan yang tidak sedikitpun merasa takut ketika berbicara tentang manusia lumpur? Terlebih saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri saat Yayan berjalan dengan begitu tidak peduli melintasi sosok manusia lumpur di hadapannya yang ia lewati begitu saja.
pendek BGT...
coba lanjut