Aku Raima Nur Fazluna, gadis yang baru saja menginjak usia 21 tahun. Menikah muda dengan Sahabat Kakakku sendiri yang sudah tertarik sejak awal pertemuan kita.
Namanya Furqan Hasbi, laki-laki yang usianya berbeda 5 tahun di atasku. Dia laki-laki yang sudah menyimpan perasaannya sejak masa sekolah dan berjanji pada dirinya sendiri akan menikahiku suatu saat nanti ketika dirinya sudah siap dan diantara kita belum ada yang menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
Hari pernikahan sepupu Kak Furqan pun tiba, aku sudah memakai gamis yang cocok untuk acara formal.
Kak Furqan sudah menungguku sejak pagi. Mamah berulang kali mengetuk pintu kamarku karena sudah siang.
"NUR CEPETAN UDAH SIANG INI!" teriak Mamah.
Aku keluar dari kamar setelah selesai. Kak Furqan tersenyum melihatku dengan make up yang sudah aku hapus berkali-kali.
"Maaf ya Kak lama!" kataku tidak enak.
Kak Furqan tersenyum, "Gak apa-apa, Yuk!" ajaknya.
Kita pamit pergi pada Mamah setelahnya.
Sesampainya di Rumah Kak Furqan, aku sedikit gugup karena perkataan Bibinya terakhir kali.
Kak Furqan menggenggam tanganku lalu tersenyum hangat. "Gak usah gugup, ada aku."
Rombongan pengantin laki-laki baru saja datang, mereka memulai acaranya karena hari sudah mulai siang.
Aku juga sudah berdiri untuk ikut menyambut rombongan mempelai pria. Tanganku terus digenggam oleh Kak Furqan selama acara penyambutan.
"Mamah sama Ica kemana Kak Furqan?" tanyaku bingung sejak tadi tidak melihatnya.
"Mereka jadi pengiring pengantin nanti," jawab Kak Furqan berbisik. Aku mengangguk paham setelahnya.
Acara pun mulai masuk ke bagian akad nikah, mempelai wanita dibawa masuk oleh Annisa dan Ibunya Kak Furqan.
Aku sudah duduk di samping Kak Furqan. Lagi-lagi banyak pertanyaan yang muncul membuatku penasaran.
"Orangtuanya kemana Kak?" bisikku.
"Mereka di Jakarta," jawabnya singkat.
Aku menoleh kebingungan mendengarnya. "Kenapa anaknya nikah mereka gak kesini?" gumamku pelan.
Kak Furqan menangkup pipiku dengan 1 tangannya. "Jangan banyak tanya dulu, nanti aja tanyanya!".
Aku memanyunkan bibirku kesal. Tapi sepertinya memang banyak cerita tentang sepupunya.
Acara akad pun di mulai, setelahnya dilanjutkan dengan resepsi. Aku dan Kak Furqan bersalaman lebih awal karena tamu undangan mulai berdatangan.
Bi Ima terlihat menjaga prasmanan. Aku menghela napas-ku untuk menghadapinya kembali. Kali ini aku harus berani untuk menanggapinya.
Kak Furqan juga tau akan pikiranku saat ini. "Mau makan gak?" tanyanya karena ragu.
Aku mengangguk tersenyum karena kepekaannya, "Makanlah, masa undangan gak makan," ucapku.
Kita ikut mengantri mengambil makanan seperti tamu lainnya. Ica pun bahkan ikut mengantri di belakang Kak Furqan.
"Bawa lagi dia, Furqan? Kok seleranya yang begini?" sindir Bi Ima sembari memberikanku piring.
"Emang apa salahnya bawa saya, Bi?" tanggap-ku.
Dia tersenyum kambing mendengarnya, "Kamu gak berpikir kalau kamu sama Furqan itu terlalu jauh jaraknya?" tanyanya mencela.
Aku tersenyum mendengarnya, "Yang penting dia bisa jaga ucapannya dan sopan sama orang lain dibanding Bi Ima," sela Kak Furqan dengan wajah marahnya.
Kak Furqan langsung mengambil kembali piring yang ku pegang. Di taruh-nya pada tumpukan piring di hadapan Bi Ima.
"Kita gak usah makan di sini, makannya di rumah aja," ucap Kak Furqan langsung membawaku keluar dari antrian.
Begitupun dengan Ica yang berada di belakang Kak Furqan tadi. Dia dengan wajah kesalnya menaruh piringnya kembali. "Bi Ima gak sopan banget sih," kesalnya lalu pergi menyusul Kakaknya.
Tangan Kak Furqan terasa lebih hangat dan berkeringat. "Kak Furqan gak apa-apa?" tanyaku setelah berada di luar.
Dia menggelengkan kepalanya, "Kamu gak apa-apa kan?" tanyanya.
"Aku gak apa-apa, kan tadi udah ngelawan," jawabku tersenyum.
Ica terlihat menyusul kita berdua, "Kak Nge-bakso aja yuk di depan!" ajak Ica pada kita berdua.
Aku langsung setuju dengan ajakan Ica itu, "Ayo!".
"Kamu pergi sama Ica aja dulu. Kakak mau ngerjain dulu sesuatu," ucap Kak Furqan.
"Ngerjain apa?" tanyaku.
Kak Furqan mencubit pipiku gemas. "Mau bantuin Bapak dulu, tadi kayaknya lagi sibuk bantu-bantu," jawabnya. "Nanti aku nyusul tenang aja."
"Yaudah yuk Kak! biarin aja dia," ajak Ica langsung menarik-ku pergi ke pedagang bakso yang tidak terjauh dari Rumah Kak Furqan.
Kak Furqan pergi menemui Ibunya yang berada di dapur. "Loh kok ke sini? Nur-nya kemana?" tanya Ibunya.
Wajah Kak Furqan masih terlihat kesal, "Bi Ima lagi-lagi ngatain Nur, Mah," ujarnya.
"Terus kenapa kesini? Nanti Nur-nya nangis lagi," tanya Ibunya bingung.
"Furqan mau bikin pelajaran sama Bi Ima," ucap Kak Furqan.
Ibunya mengerutkan kening bingung. "Mau ngerjainnya gimana emangnya?" tanya Ibunya.
"Bikin dia capek Mah," jawab Kak Furqan.
Kak Furqan menyuruh ibu-ibu yang bertugas di dapur untuk beristirahat. Mereka pergi dari dapur, ada yang pulang ke rumahnya, ada juga yang pergi ke pedagang bakso yang sama denganku.
"Loh Teh, gak bantu-bantu di rumah nenek lagi?" tanya Ica yang mengenal ibunya.
"Kita di suruh istirahat dulu sama Furqan, katanya biar Bi Ima yang ngerjain semuanya," jawab Ibunya.
Aku dan Ica saling bertatapan bingung, kita sama-sama terkekeh setelahnya. "Kakak kamu ada aja ide jahilnya," bisikku.
"Kak Furqan emang the best lah," puji Ica pada Kakaknya sendiri.
Kak Furqan baru saja datang ke pedagang bakso. Dia langsung duduk di sampingku dengan senyumnya yang sumringah.
"Kakak abis ngerjain Bi Ima?" tanyaku membuatnya cengengesan.
"Abisnya ngeselin, yang begitu gak boleh dikasih hati terus," tutur Kak Furqan.
Bi Ima baru saja pergi ke dapur Rumah Nenek. Dia terkejut dengan piring dan wajan besar masih berantakan dan kotor. Sedangkan, di dapur tidak ada siapapun.
"Pada kemana ini?" tanyanya bingung.
Nenek masuk ke dapurnya, "Ini semua karena kamu, Ima," ungkapnya.
"Maksudnya apa Mah?"
"Ima, ibu-ibu pada tersinggung sama kamu. Kamu enak banget cuman ngasih piring di depan yang lain malah di suruh beres-beres di rumah," jelas Nenek.
"Itukan tugas mereka, Mah," ujar Bi Ima.
"Tugas kamu bilang? Kamu jadiin mereka babu. Bahkan Kakak kamu sendiri," ucap Neneknya.
"Furqan tadi marah-marah karena kamu jadiin Ibunya babu disini. Harusnya Ibunya Furqan yang jadi penanggung jawab di nikahan ini karena dia adik pertama," sambung Nenek.
"Tapi kamu kukuh karena dapet uangkan?" tanya Nenek.
"Jelas-jelas anak itu cewek gak bener, makanya sampe hamil di luar nikah. Tapi kamu malah mau bertanggung jawab pernikahan dia," ucap Nenek yang tidak terlalu suka dengan cucunya itu.
Ibu Kak Furqan masuk kembali ke dapurnya. "Udah Mah gak apa-apa, yang lain juga nanti pada ke sini lagi," ucap Ibunya Kak Furqan.
"Mamah istirahat aja ya!" pinta Ibunya Kak Furqan diangguki oleh Nenek.
Bi Ima malah mendelik pada Kakaknya, "Ini. semua gegara anak sama calon menantu Kakak yang gak terdidik itu," cela Bi Ima.
PLAK ....
"Jangan sesekali lagi mencela anak dan calon menantu saya. Kamu gak pernah tau apa dia lakukan di balik semuanya," ucap Ibunya Kak Furqan tidak bisa lagi menahan emosinya.
Dia langsung pergi tidak mengurusi acaranya lagi. Tinggal Bi Ima dan beberapa orang lagi yang ikut mengurusnya.
Aku, Kak Furqan dan Ica baru saja sampai ke Rumah Kak Furqan. Ibunya terlihat masuk ke kamar begitu saja.
"Itu Mamah kamu kenapa Kak?" tanyaku bingung.
"Kayaknya dia marahan sama Bi Ima. Udah biarin aja Bi Ima sendirian di sana," ucap Kak Furqan yang sama kesalnya.
Kita berdua duduk di kursi teras rumahnya, sedangkan Ica ikut masuk Ibunya ke rumah.
"Neng boleh tanyain hal yang sempet tadi ke tunda gak?" tanyaku.
Kak Furqan tersenyum lalu mengelus kepalaku. "Boleh dong, mau tanya apa?" tanyanya.
"Kenapa orangtuanya gak hadir di pernikahan anaknya sendiri?" tanyaku.
"Sepupu aku dibuang sama orangtuanya sendiri," ungkap Kak Furqan.
"Loh kenapa?"
"Dari kecil orangtuanya sudah kerja sampai dia lulus sekolah pun. Dia jadi anak broken home, sering bepergian sama pacarnya yang nakal. Akhirnya bulan lalu, dia dipindahkan ke rumah Bi Ima karena hamil duluan," jelas Kak Furqan.
"Pindah ke Rumah Bi Ima? Kenapa hajatannya di Nenek kamu?" tanyaku penasaran.
Dia sedikit terkekeh mendengarnya, "Kan Rumahnya Bi Ima masih nempel sama Rumah Nenek," terangnya sembari menunjuk rumah Bi Ima yang terlihat kecil.
merinding jadinya
jangan sampai thor kasihan si ica