Dulu aku menangis dalam diam—sekarang, mereka yang akan menangis di hadapanku.”
“Mereka menjualku demi bertahan hidup, kini aku kembali untuk membeli harga diri mereka.”
“Gu Xiulan yang lama telah mati. Yang kembali… tidak akan diam lagi.”
Dari lumpur desa hingga langit kekuasaan—aku akan memijak siapa pun yang dulu menginjakku.”
“Satu kehidupan kuhabiskan sebagai alat. Di kehidupan kedua, aku akan jadi pisau.”
“Mereka pikir aku hanya gadis desa. Tapi aku membawa masa depan dalam genggamanku.”
“Mereka membuangku seolah aku sampah. Tapi kini aku datang… dan aku membawa emas.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34
Malam itu, tubuh Ulan terbaring diam di ranjang rumah sakit desa, tetapi jiwanya melayang jauh ke dalam dunia mimpi yang tak asing. Mimpi itu bukan sekadar bunga tidur. Itu adalah potongan dari masa lalunya,dunia kehidupan sebelumnya yang ia pikir telah terkubur selamanya.
Dalam mimpi itu, ia berdiri di pelataran sebuah rumah sempit dengan genteng yang sudah patah-patah dan dinding yang penuh tambalan kayu murahan. Di depannya, berdiri seorang pria berwajah kasar dengan mata menyala marah,Li Gang, pria yang menjadi suaminya di kehidupan lalu. Pernikahan itu bukan karena cinta. Ia dipaksa, dijual oleh keluarganya sendiri dengan iming-iming mahar dan janji hidup layak. Tapi kenyataan? Lebih kejam dari mimpi buruk paling gelap.
Tahun pertama, ia melahirkan seorang anak perempuan,bayi mungil yang ia beri nama Li Meilan, secercah harapan yang membuat malam-malam penuh tangis dan luka menjadi sedikit hangat. Tapi kebahagiaan itu tak bertahan lama. Tahun kedua, ia kembali melahirkan,juga seorang putri, dan sejak itu tubuhnya tak pernah pulih. Dokter berkata rahimnya rusak akibat jarak kelahiran yang terlalu dekat. Ia tak bisa memiliki anak lagi.
Sejak saat itu, rumah itu menjadi neraka.
Mertua perempuannya memandang rendah padanya. Setiap pagi, jika sarapan tidak tersedia dalam waktu lima menit setelah ayam berkokok, ia akan disiram air kotor atau dipukul dengan sendok kayu. Suaminya tak pernah membelanya. Sebaliknya, dia ikut memukul. Tangannya kasar, tinjunya cepat datang tanpa alasan. Luka di tubuh Ulan seperti sudah menjadi bagian dari kulitnya sendiri,biru, ungu, pecah, mengering, lalu terulang lagi.
Tahun kelima, dia pulang dari rumah tetangga,
Tapi saat masuk rumah, suasana hening. Terlalu hening. Putrinya yang pertama, Meilan, tidak ada. Tak ada jejak mainan, tidak ada sandal mungilnya di depan pintu seperti biasanya.
Dia bingung dan pergi bertanya pada ibu mertua.
"Dia sudah tidak di sini lagi" kata mertua dengan dingin. "Kami menjodohkannya dengan anak keluarga Lin di pegunungan. Pengantin anak. Mereka bayar banyak."
Ulan ingat tubuhnya lemas, tenggorokannya tercekat. Ia menangis dan memohon agar anaknya dikembalikan. Tapi suaminya memukulnya lagi, lebih keras dari sebelumnya. "Anak perempuan cuma beban," katanya.
Tahun berikutnya, hal yang sama terjadi. Putri bungsunya dijual,dijanjikan sebagai menantu seorang petani tua di desa terpencil. Padahal berapa tahun usianya.Ulan menjerit sekuat tenaga, tapi tak ada yang mendengarkan.
Putus asa, ia berjalan kaki puluhan kilometer ke kampung kelahirannya, berharap pada belas kasih orangtuanya. Tapi yang ia terima hanyalah caci maki.
“Kau sudah menikah! Hidupmu bukan urusan kami lagi!”
Hancur, patah, remuk. Dia kembali ke rumah suaminya untuk memohon, untuk mengambil kembali anak-anaknya. Tapi yang ia dapatkan hanyalah penganiayaan. Dia diusir, diceraikan tanpa secarik kertas pun. Hanya cemoohan dan bekas luka yang ia bawa pergi.
Sejak itu, hidupnya hanyalah perjalanan panjang mencari jejak dua gadis kecil yang pernah memanggilnya,ibu.Ia melewati desa ke desa, kota ke kota, tidur di bawah kolong jembatan, makan dari sisa dapur umum, menukar tenaganya dengan secangkir air hangat.
Hatinya tidak pernah sembuh.
Di akhir hidupnya, tubuhnya lemah, paru-parunya sakit karena terlalu banyak malam dingin tanpa selimut. Tapi hatinya lebih dingin lagi. Ia meninggal di sebuah bilik reyot di pinggir kota, dengan tangan kurus memeluk sehelai kain lusuh milik anaknya dulu. Di benaknya, hanya satu harapan.
“Jika ada kehidupan lain… kumohon, biarkan aku hidup sebagai perempuan yang bebas. Yang tidak dijual, yang tidak dipukul… yang bisa melindungi anak-anaknya…”
Air mata mengalir dari pelupuk mata Ulan yang terbaring di rumah sakit. Tangis yang datang tanpa suara, tapi menghentak dada siapa pun yang melihatnya. Ia tidak tahu bahwa mimpi itu akan kembali.
Bahwa rasa sakit dari kehidupan sebelumnya akan menembus waktu dan kembali menusuk jiwanya.
Namun, kini… ia bukan lagi perempuan lemah yang dibungkam.
Kini, dia adalah Gu Xiulan. Seorang gadis yang tidak akan membiarkan dirinya diinjak lagi. Dan jika ada karma, maka dunia harus tahu… siapa yang harus membayar semua penderitaan itu.
Untuk beberapa waktu, ulan tenggelam dalam mimpi nya.
Dia tidak bangun sampai pagi datang.
Begitu kelopak matanya terbuka perlahan, dunia terasa buram, seperti embun pagi yang masih menggantung di daun. Cahaya lembut dari jendela rumah sakit menyusup masuk, menari di atas lantai ubin yang kusam. Nafas Ulan tersengal ringan. Kepalanya berat, tubuhnya lelah, namun hatinya... jauh lebih berat dari segalanya.
Sosok wanita duduk di sisi ranjang, menatapnya dengan mata merah.
Itu adalah istri kepala desa, wanita yang kini ia panggil sebagai Bibi Lu. Wajah lembutnya tersenyum, namun di balik itu ada duka yang sulit disembunyikan.
“Ulan… kau sudah sadar.” Suaranya gemetar, seperti seseorang yang telah menahan tangis terlalu lama.
Ulan memandangi wajah itu dengan mata basah, lalu tiba-tiba ingat. Ingat betapa ia berlari, menangis, dan bagaimana tubuh tua yang dipanggilnya Ayah Lu ,kini tak lagi bisa menjawab panggilannya.
"Bibi,ayah lu.." suara nya tertahankan tanpa suara, air mata mengalir deras melewati pelipisnya.
“Pemakamannya sudah selesai,” lanjut Bibi Lu dengan suara pelan. “Kami melakukannya secara sederhana… seperti yang ia mau…”
Tangisan Ulan pecah.
Ia menggenggam tangan wanita itu erat, seolah berharap tangan itu bisa mengembalikan waktu. “Aku belum sempat berterima kasih… aku belum sempat berbakti,bibi aku masih ingin memanggilnya ayah lagi dengan suara lantang…”
“Dia sudah tahu, ulan…” bisik Bibi Lu sambil menyeka air mata di pipi Ulan. “Dia sangat menyayangimu.”
Bibi lu menarik nafas panjang,dia berkata,"Kita semua tahu jika dia sudah lama sakit dan bisa pergi kapan saja . Tapi setelah pergi, Paman mu masih belum siap"
Kepala desa pasti sedih, mereka hanya dia saudara kandung saja , tapi sekarang saudara kandung nya juga sudah pergi.
Dalam hening yang penuh duka itu, ulan dan bibi lu saling menggenggam tangan,seperti dua wanita yang sama-sama kehilangan, tapi juga saling menguatkan.
"Apa rencana mu setelah ini?"tanya bibi lu.
Setelah beberapa saat, Ulan menghela napas. Ia menatap ke luar jendela, melihat langit biru yang cerah,terlalu cerah untuk hari berduka.
“Aku akan mengambil pekerjaan itu,” katanya perlahan. “Departemen pembelian di pabrik baja. Setelah itu… aku akan pergi ke kota.”
Bibi Lu mengangguk, sedikit lega mendengar keputusan itu. “Itu pilihan yang baik. Kau masih muda, Ulan. Hiduplah untuk dirimu sendiri.”
Ulan hanya diam, mengangguk kecil. Lalu Bibi Lu melanjutkan, pelan dan hati-hati, “Ada… kabar tentang keluargamu.”
Ulan menoleh. Hatinya berdenyut pelan, tapi dia sudah tahu. Ia sudah tahu pasti akan datang waktu ini.
“Nenekmu… telah dijatuhi hukuman mati. Pengadilan memutuskan karena menyebabkan kematian secara tidak langsung dan tidak menunjukkan penyesalan…” Suaranya melemah, “Ayah dan ibumu beberapa kali datang ke rumah sakit, mereka menunggu kau sadar… ingin kau mencabut tuntutan.”
Ulan terdiam lama.
Akhirnya, ia berkata dengan suara tenang, tanpa amarah, tapi juga tanpa kelembutan, “Aku tidak memiliki hubungan dengan mereka lagi. Tidak ada dendam… tapi juga tidak ada kasih sayang. Hidup mereka bukan tanggung jawabku.”
Bibi Lu mengangguk perlahan. Tidak ada bantahan, hanya kesepakatan dalam kesedihan yang diam.
“Kakekmu…” lanjutnya, “mengalami stroke lagi. Sekarang dia hanya bisa berbaring, dijaga di rumah ,dia tidak dirawat lagi karena rumah sakit menolak mereka. Kondisinya memburuk.”
Ulan menatap ke depan. Mata itu tak lagi berkaca-kaca, hanya kosong, namun kuat.
“Aku hidup untuk diriku sendiri sekarang. Sudah cukup aku dibakar habis oleh keluarga yang hanya melihatku sebagai beban. Jika hidupku membawa keberuntungan, itu akan kupakai untuk melangkah ke depan. Aku… bukan milik mereka lagi.”
Hening menyelimuti ruangan itu.
Matahari sudah tinggi, tapi suasana hati mereka tetap kelam. Namun, dalam kelam itu, ada secercah tekad—Ulan, yang selama ini diinjak, disakiti, kini perlahan berdiri di atas luka-lukanya.
Dia akan memulai lagi.
Dan kali ini, bukan sebagai korban. Tapi sebagai perempuan yang memilih jalan hidupnya sendiri.
Setelah beberapa waktu, Ulan di pulang kan.Dia segera kembali ke desa dengan bibi lu.
Saat itu sudah lewat jam makan siang ketika Ulan tiba.
Meskipun, matahari menggantung tinggi di langit, tapi sinarnya terasa dingin di rumah keluarga Gu. Tidak ada aroma masakan dari dapur, tak ada bunyi panci atau gelak tawa dari keluarga besar seperti dulu. Rumah itu sunyi, seolah ikut berduka atas kehancuran yang sedang merayap perlahan-lahan, namun pasti.
Tiba-tiba saja Ulan merasa kehilangan .
Sementara itu,di rumah keluarga gu.
Di meja makan, tempat yang dahulu dipenuhi suara nenek yang cerewet dan tawa kakek tua yang kadang berseloroh dengan suara parau, kini hanya menyisakan empat wajah letih dan mata yang tak bersinar.
Ayah Ulan duduk di kursinya, menunduk dalam diam. Di sampingnya, istrinya,ibu Ulan,memeluk kedua lututnya, mencoba menghangatkan diri dari kenyataan. Bibi kedua duduk dengan raut kosong, seperti manusia yang jiwanya telah keluar dari tubuhnya. Dan dua adik laki-laki Ulan, duduk dengan pandangan tak peduli, seperti sedang menunggu keputusan yang tak ingin mereka buat, tapi mereka harapkan cepat datang.
Kakek Gu. Separuh tubuhnya lumpuh, wajahnya miring ke satu sisi, dan hanya satu matanya yang bisa melihat samar dunia. Tapi yang paling menyedihkan adalah,telinganya masih bisa mendengar semuanya.
Dia mendengar apa yang di bicarakan oleh anak cucunya.
"Ayah mertua itu... lebih baik dibiarkan saja, ya," suara Bibi Kedua tiba-tiba terdengar datar, seolah mengomentari hewan peliharaan yang sudah tua. “Uang di rumah ini tak ada. Untuk apa dipaksakan? Lagipula, rumah sakit sudah menolak. Desa juga tak mau beri pinjaman. Bahkan tetangga sebelah pun menolak mencatat utang.”
Tak ada yang menyela.
"Kalau begitu, kita rawat sekadarnya saja," ibu Ulan menambahkan dengan suara lelah, " jangan beri makanan lagi.Kalau waktunya datang... biarkan saja."
"Begitu saja, kita tidak bisa menahan ayah lagi di rumah "
Adik laki-laki Ulan yang masih remaja menyahut pelan, tapi menohok, " bibi benar, rumah tidak ada makanan,kakek juga tidak bisa kerja lagi, hanya membebani. Ayah, kita butuh orang yang kuat, bukan beban tua di sudut rumah."
"Ya ayah,aku sendiri ke ladang untuk mengejar poin, Kakek malah beruntung bisa berbaring sepanjang hari ketika mau makam, juga di antar, bosan juga liat nya"
Ayah Ulan, yang biasanya diam, mengangkat wajahnya. Ada luka di sana,tidak hanya luka fisik, tapi luka sebagai anak, sebagai manusia yang kehilangan arah. “ tapi dia ayahku…” katanya pelan. Tapi kata-kata itu tenggelam dalam tekanan, pandangan sinis, dan kenyataan pahit bahwa mereka tak punya apa-apa lagi.
"suami ku,ayah mertua juga akan mengerti kok, biarlah Hem"
"Tapi...
Mereka berbicara… seolah kakek Gu hanyalah tubuh kosong di sudut rumah. Tapi di balik kelopak mata tuanya yang sayu, air mata perlahan jatuh membasahi pipinya yang keriput.
Dia tidak bisa bicara. Tidak bisa bergerak. Tapi dia bisa merasa.
Setiap kata,pedih dan dingin,menusuk ke dalam dadanya seperti pisau yang berkarat. Tangannya yang lumpuh tak bisa mengepal. Suaranya tak bisa keluar untuk membela diri. Tapi kenangannya... masih ada.
Dan di antara kabut yang menyelimuti pikirannya, muncullah satu wajah,wajah mungil gadis kecil dengan dua kuncir yang dulu berlari tergopoh-gopoh ke rumah dokter, membawa kain basah dan bubur panas untuknya ketika ia demam tinggi.
Itu Ulan.
Ya, Ulan yang mereka sebut pembawa sial. Ulan yang mereka hina sebagai wanita sial. Ulan yang kini sudah tidak lagi tinggal di rumah ini.
Dulu dia marah, karena Ulan tak secantik Yueqing. Dulu dia percaya Yueqing adalah keberuntungan. Tapi sekarang, ketika ia tak bisa bahkan mengangkat jari untuk menghalau lalat, ia baru sadar, cucu perempuan yang dulu mereka remehkan, adalah satu-satunya yang punya hati.
Selalu ulan bukan yueqing.
Yueqing saat itu, bahkan tidak pernah mencuci piring di rumah. Dua cucu perempuan yang di bedakan.
"Ulan...
Jika saja… hanya jika saja… mereka memperlakukan Ulan lebih baik… mungkinkah keluarga ini tidak akan runtuh sedalam ini?
Air matanya tak berhenti mengalir. Tanpa suara, tanpa jeritan. Hanya genangan rasa sesal di pipi tua yang tak mampu bicara.
Tapi menyesal pun sekarang tidak berguna.Sudah terlalu lambat, Ulan tidak akan pernah pulang lagi.
lanjut thorrr terusss semangatt💪💪💪❤️
tetap semangat..💪