Diusianya yang tak lagi muda, Sabrina terpaksa mengakhiri biduk rumah tangganya yang sudah terajut 20 tahun lebih lamanya.
Rangga tega bermain api, semenjak 1 tahun pernikahnya dengan Sabrina. Dari perselingkuhan itu, Rangga telah memiliki seorang putri cantik. Bahkan, kelahirannya hanya selisih 1 hari saja, dari kelahiran sang putra-Haikal.
"Tega sekali kamu Mas!" Sabrina meremat kuat kertas USG yang dia temukan dalam laci meja kerja suaminya.
Merasa lelah, Sabrina akhirnya memilih mundur.
Hingga takdir membawa Sabrina bertemu sosok Rayhan Pambudi, pria matang berusia 48 tahun.
"Aku hanya ingin melihat Papah bahagia, Haikal! Maafkan aku." Irene Pambudi.
..........................
"Tidak ada gairah lagi bagi Mamah, untuk menjalin sebuah hubungan!" Sabrina mengusap tangan putranya.
Apa yang akan terjadi dalam kehidupan Sabrina selanjutnya? Akankah dia mengalah, atau takdir memilihkan jalannya sendiri?
follow ig @Septi.Sari21
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5
Pria bernama Ben Hartono itu langsung turun, dan langsung berjalan tergesa menemui adiknya. Pria berusia 48 tahun itu merasa pusing, lelah, tidak tahu apa lagi yang harus dia lakukan, agar sang adik segera sadar, bahwa apa yang dia lakukan selama bertahun-tahun itu tidak ada hasilnya yang jelas.
"Tumben, sudah pulang?" tegur Ben, seraya berjalan masuk kedalam.
"Kerjaan tidak terlalu banyak, jadi aku pulang lebih awal," jawab Aruna setelah dia menjatuhkan kembali tubuhnya diatas sofa.
"Mika?" tanya Ben kembali.
"Belum pulang, katanya ada pelajaran ekstra tambahan," jawab Aruna dengan nada santai.
Ben menyandarkan punggungnya kebelakang. Dia selalu menyempatkan untuk mengunjungi sang adik, ataupun sekedar memberi uang jajan untuk Mika.
"Tidak ada perubahan, bukan? Apa kamu tidak kasian dengan masa depan putrimu, Aruna?" tanya Ben, setelah dia menegakan kembali badanya. Kini sorot matanya mengunci tatapan sang adik, merasa jengah melihat bedohan Aruna selama ini.
Sebelum menjawan, Aruna tampak menghela nafas dalam. Dia terlihat kesusahan menjawab, karena merasa terpojokan dengan pertanyaan sang kakak saat ini.
"Sudah lebih dari 100 kali, kamu mengulang kalimat yang sama, Mas!" kesal Aruna, memutar bola matanya.
"Itu karena aku peduli padamu, Aruna! Aku kakakmu, sudah sepantasnya aku mengarahkan kamu pada kebenaran. Bukan seperti ini! Mau sampai kapan kamu melanjutkan pernikahan tidak jelas begini? Mau sampai kapan, ha? Kamu nggak mikirin masa depan Mika?"
"Tapi Mika punya Ayah, Mas! Mas Rangga juga pasti memikirkan masa depan putrinya. Nyatanya, sampai sekarang hidupku dan Mika tetap dia yang ngurus!" bantah Aruna tak kalah emosi.
Ben mendesah kasar, merasa pusing menasehati adiknya. Tidak hanya sekali dia menyadarkan sang adik, tetapi Aruna masih tetap bersikukuh mempertahankan penikahannya dengan Rangga, yang hanya berstatus siri itu.
"Sepandai-pandainya kamu menyimpan bangkai, entah itu kapannya pasti akan tercium juga, Runa! Apa kamu sudah siap, jika istri Rangga tahu tentang posisi kalian berdua? Dia enak ... Jikapun memilih pisah, maka hartanya Rangga sepenuhnya diwariskan kepada putranya, dengan status sah dalam pernikahan. Lah kamu ... Apa kamu nggak mikir, jika Rangga akan bosan sama kamu, maka tidak ada yang dapat kamu gugat, Aruna! Status Mika anak diluar nikah, yang artinya tidak memiliki hak waris dari keluarga besar Rangga!" tekan Ben, sambil menggelengkan kepala lemah.
Aruna merasa tercekat oleh penuturan sang kakak barusan. Dia terdiam, mencoba meresapi setiap kalimat. Namun Rangga tetaplah Rangga. Ia tidak akan mau, walaupun Aruna meminta berjakali-kali untuk menikahinya. Sementara Aruna sendiri sudah lelah, jika hanya untuk meyakinkan suaminya itu untuk segera menikahinya.
"Jika saja dulu kamu mengikuti ucapan Mas, dan mau menikah dengan Arsyad ... Pasti rumah tangga kalian sudah bahagia hingga kini! Kamu saja yang bodoh, Aruna! Sudah tahu Rangga memiliki istri, mau saja kamu diperbudak nafsu olehnya!" geram Ben, seraya bangkit dari duduknya.
Namun sebelum dia keluar, Ben meninggalkan beberapa lembar uang dengan pecahan seratus ribu sebanyak 10 lembar, yang ia letakan diatas meja.
"Berikan pada Mika, buat uang jajannya!" Setelah mengatakan itu, Ben benar-benar pergi melenggang dari sana.
Aruna bergeming, begitu sang kakak benar-benar hilang dari pandangannya. Dadanya terasa sesak, bergemuruh, bingung seperti apa cara mengekspresikannya. Hidupnya bagaikan teroris, yang harus selalu bersembunyi kemanapun berada.
Kedua matanya terasa panas, hingga pandanganya terasa buram saat ini. Aruna sedikit mendongakan wajah, menarik nafas dalam, agar dapat menahan air matanya.
*****
Setelah makan siang tadi, Brina kini tertinggal di Cafe itu, karena dia akan bertemu dengan adiknya~Revan.
Sementara Rangga, pria matang itu langsung kembali menuju kantornya. Walaupun tadi makan siang berlangsung terasa hambar. Namun Brina masih memposisikan dirinya sebagai istri, karena masih banyak hal yang ingin ia ungkap.
Revan datang bersama istrinya~Ambar.
Sabrina bangkit, menyambut kedua adiknya, sambil melepas rindu dengan memeluk tubuh Revan serta Ambar sekilas.
"Mau makan dulu?" tanya Brina dengan lembut.
"Tidak, Mbak! Aku dan mas Revan baru saja makan siang," jawab Ambar, sambil mengusap lengan Brina. Dia menatap suaminya sekilas, seolah meminta ijin untuk mengungkapkan semuanya.
Revan mengangguk. Membiarkan istrinya saja yang membuka suara.
"Apa, Mbak Brina akhir-akhir ini tidak merasakan kejanggalan dalam diri mas Rangga? Aku tidak ingin membuat mbak Brina lebih kepikiran. Tapi, mungkin dengan video ini, mbak Brina dapat menilai sendiri." Ambar terlihat mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya.
Wajah Sabrina tampak masih tenang. Dia mengambil ponsel Ambar, begitu iparnya berhasil memutar video pendek yang sempat dirinya rekam beberapa hari lalu.
Mata Brina spontan memanas, kala melihat sepenggal video pendek, yang dimana memperlihatkan sebuah keluarga kecil, yang tengah merayakan ulang tahun putri mereka.
Di video itu, ada seorang anak yang tengah berbahagia, tersenyum, kala kedua orang tuanya tampak antusias menyambut hari kelahirannya itu. Sementara si Ibu, wanita dewasa itu tak kalah bahagia, merasa rumah tangganya paling harmonis. Dan pria itu ... Brina tidak dapat lagi meneruskan melihat video tadi.
Dia membekap mulutnya, dengan air mata yang sudah mengalir deras pria itu adalah suaminya~Rangga. Wajah Rangga terlihat bahagia sekali.
"Selamat ulang tahun anak cantik, Papah." Rangga memberikan kecupan singkat pada kepala putrinya, setelah Aruna juga melakukan hal yang sama.
Sejauh ini, selama ini, bagaiman bisa dia hidup dalam ambigu. Tersiksa dengan senyum palsu suaminya. Berdiri disamping Rangga, namun hanya Raganya yang dia dapat. Hati Rangga terbagi, bercabang mengakar kemana-mana.
Wajah Brina terlihat shock berat. Dia sejujurnya sudah tahu. Namun, yang ditunjukan adiknya saat ini adalah kebenaran adanya. Nyata, walaupun dibalik layar saja.
Ambar langsung memeluk tubuh Sabrina, yang saat ini tengah bergetar menahan tangisnya. Tega sekali suaminya. Pria yang paling ia percaya dan banggakan, nyatanya ia lah yang menusuk tubuh Sabrina dari belakang. Hantaman demi hantaman Rangga lontarkan, bahkan ia tidak berpikir, sesakit apa yang dirasakan Brina saat ini.
Revan bergerak cepat, untuk menggambilkan kakaknya air minum. Walaupun ditolak, namun Revan tetap mengarahkan pipet bewarna hitam itu kedalam mulut Brina.
"Minum sedikit, Mbak! Biar lebih tenang," Ambar terlihat mengusap air matanya, yang saat ini juga ikut menetes karena ikut merasakan sesak.
Tatapan Brina kembali kosong, membiarkan air matanya bebas berjatuhan. Dadanya bagai tersayat-sayat, melihat bahagianya kehidupan suami dengan selingkuhannya.
"Aku sudah tahu, disaat aku menemukan hasil USG milik wanita itu! Dan sialnya, tadi siang dia datang ke perusahaan Mas Rangga," gumam Brina, hingga nyaris tak terdengar akibat isakan tangisnya. Dia masih menatap lurus kedepan. "Kirimkan video tadi kedalam ponselku, Ambar!" lanjut Sabrina.
...lanjut thor 💪🏼
di tunggu boncapnya thor lanjut.
lanjut thor💪🏼