NovelToon NovelToon
Dinikahi Nenek 60 Tahun

Dinikahi Nenek 60 Tahun

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Sablah

Hidup Danu berubah total ketika ia menemukan sebuah amplop misterius di depan pintu kosnya. Di dalamnya, terselip sepucuk surat dengan kertas usang dan bau kayu basah yang aneh.
“Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian.“
Awalnya Danu mengira surat itu hanyalah lelucon dari dosen atau senior iseng. Tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Sampai ia benar-benar membaca isinya…
“Kepada Danu,
Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu.
Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini.
Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat,
meski kamu mungkin tidak mengingatnya.
Hormatku,
Nyai Laras.“
***

Lalu, siapakah sebenarnya Nyai Laras? Apakah Danu hanya korban lelucon terencana? Atau justru kebenaran mengarah ke sesuatu yang jauh lebih mengerikan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

perkemahan tanpa nama

Beberapa menit setelah perjalanan, mobil Danu berbelok memasuki area sekolah Nadia. Suasana pagi itu cukup ramai, tapi belum heboh seperti biasanya. Beberapa siswa terlihat sudah berkumpul di depan aula, sebagian lagi datang tergesa sambil menenteng perlengkapan camping.

Danu melirik jam tangan sambil memarkirkan mobilnya di sisi jalan yang agak teduh. "Lima menit lagi jam delapan. Harusnya kamu gak telat."

Nadia yang duduk di kursi belakang buru-buru merapikan tali ranselnya. "Iya, ini cuma absen doang kok. Gak lama. Nanti aku balik lagi ke sini buat kasih tahu arahan selanjutnya."

Galang yang duduk di kursi penumpang depan menoleh ke belakang. "Yakin nih, Nad. kami gak perlu ikut turun?"

"Gak usah, Kak. Tunggu aja di mobil. Kalau rame nanti malah kelihatan aneh, dua cowok nyari-nyari satu cewek," jawab Nadia santai sambil membuka pintu mobil.

Sebelum keluar, Nadia sempat menunduk sedikit ke arah jendela Danu. "Tungguin ya. Jangan kabur."

Danu mengangkat alis, "Bawel bener ini bocah. Iya.. Iya Mas tungguin"

Nadia hanya mencibir sambil berjalan cepat ke arah halaman sekolah. Danu memperhatikan dari dalam mobil, sementara Galang mengeluarkan ponsel dan mulai main game.

"Gue kadang lupa kalian berdua itu kakak-adik," ujar Galang tanpa menoleh.

"Kadang gue juga pengin lupa," sahut Danu dengan nada datar, lalu menyandarkan punggung ke jok.

Di luar sana, Nadia sudah bertemu dengan teman-teman perempuannya. Ia menyapa sambil menepuk bahu satu persatu, tertawa kecil, lalu berjalan bersama mereka masuk ke dalam aula. Semua terlihat biasa, tapi Danu, dengan naluri khas seorang kakak, masih memilih mengamati dari kejauhan lewat kaca depan mobil.

Mobil itu tetap diam di tempat, dikelilingi oleh suara pagi, riuh rendah siswa, dan obrolan para guru. Tapi di dalam mobil, waktu berjalan lambat. Danu diam. Galang fokus dengan game di ponselnya. Dan mereka menunggu, menanti sang adik kembali dengan kabar tentang perjalanan yang akan dimulai.

***

Sekitar dua puluh menit sejak Nadia masuk ke area sekolah, suara ketukan ringan di jendela membuat Danu dan Galang menoleh bersamaan. Jendela diturunkan, dan wajah Nadia muncul dengan napas sedikit cepat.

"Mas, aku gak bisa ikut kalian," katanya langsung.

Danu mengernyit. "Kenapa?"

Nadia membuka pintu, membungkuk sedikit sambil tetap berdiri di luar. "Ternyata semua siswa diwajibkan naik bus yang udah disiapin. Jadi gak boleh ada yang naik kendaraan pribadi."

Danu bersandar di kursi. "Terus, barang-barangmu?"

"Masih di mobil aja. Nanti tolong dibawa sekalian ya. Kata guru pendamping, orang tua atau keluarga boleh nyusul di belakang bus, asalkan konvoi bareng dan gak misah."

Galang yang sedari tadi duduk di samping Danu, baru ikut bicara, "Yaudah, berarti kita ikut rombongan dari belakang, kan?"

Nadia mengangguk. "Iya. Bus-nya sebentar lagi jalan, jadi aku harus balik. Nanti lokasi camp-nya juga gak jauh-jauh amat, paling sekitar dua jam."

Danu mengangguk pelan. "Oke, kamu hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa, kabari."

Nadia tersenyum singkat. "Iya, Mas. Terima kasih ya udah anterin."

Sebelum pergi, Nadia sempat menoleh sebentar ke arah Galang dan memberi senyuman tak kalah hangat nya "Makasih juga ya, Kak Galang"

Galang hanya membalas dengan anggukan kecil. "Iya."

Danu dan Galang memperhatikan saat Nadia berjalan cepat ke arah deretan bus yang sudah berjejer di sisi lapangan sekolah. Beberapa guru dan panitia terlihat sibuk mengatur formasi anak-anak dan memberi arahan. Beberapa orang tua terlihat berdiri di dekat pagar, ada yang sambil memotret anaknya, ada yang cuma melambaikan tangan.

Begitu seluruh siswa sudah naik, satu per satu bus mulai berjalan meninggalkan sekolah. Danu menunggu sejenak sampai bus tempat Nadia berada ikut bergerak, lalu menyalakan lampu sein dan mulai mengikuti dari belakang. Di sebelahnya, Galang kembali duduk santai.

"Perjalanan baru dimulai," gumam Galang sambil menatap keluar jendela.

Mobil Danu melaju pelan mengikuti barisan kendaraan di depan. puluhan menit telah berlalu dan semakin lama, Jalanan yang dilewati mulai menyempit, berganti dari jalanan kota yang mulus menjadi aspal kasar, lalu perlahan beralih ke jalur tanah berdebu yang penuh kerikil.

"Ini beneran ke tempat camping atau ke tempat syuting film horor?" celetuk Galang dari kursi penumpang depan sambil menopang dagu. Pandangannya menatap ke luar, di mana pohon-pohon besar berdiri rapat, membentuk semacam lorong alami.

"Gue juga gak nyangka sekolah Nadia bakal milih tempat beginian. Jauh banget dari perkampungan. Sinyal HP aja mulai ilang," jawab Danu sambil mengecek ponselnya. Sesekali dia melirik kaca spion, memastikan konvoi masih utuh.

Mobil-mobil lain juga tampak berhati-hati melewati jalur sempit ini. Di beberapa titik, kendaraan harus bergantian jalan karena hanya muat satu mobil.

Danu menarik napas. “Ya semoga tempatnya gak kayak yang kita bayangin. Kita belum lihat semuanya.”

Sementara itu, di salah satu bus, Nadia duduk di deretan kursi tengah bersama dua temannya. Rani dan Shafa. Bus terasa ramai, penuh suara tawa, obrolan seru, dan musik yang diputar pelan oleh sopir dari radio tua di depan.

"Aku kira kita bakal camping di pinggir pantai atau tempat wisata, ya. Eh malah masuk hutan," keluh Rani sambil melihat ke luar jendela.

Shafa nyengir. "Kata panitia sih biar kita belajar ‘mandiri dan dekat dengan alam’. Padahal kayaknya lebih ke ‘menghilang dari dunia’."

Nadia ikut tertawa kecil. "Tapi kayaknya seru sih, asal jangan ada yang iseng atau aneh-aneh."

Perjalanan makin terasa panjang karena jalan makin bergelombang, membuat isi bus bergoyang.

Beberapa siswa mulai mengeluh, ada yang tidur, ada juga yang merekam perjalanan dengan ponsel mereka sambil berkomentar lebay layaknya vlogger.

Sekitar 30 menit kemudian, konvoi mobil dan bus perlahan melambat. Danu memutar kemudi, mengikuti jalur kecil yang menurun menuju lapangan terbuka di tengah hutan pinus.

Ketika mobil berhenti, Galang membuka kaca jendela dan menganga. "Wah… Ini… beneran camping di tengah nowhere sih."

Danu mematikan mesin mobil, keluar, dan memandang sekeliling. Di depan mereka terbentang lapangan luas, diapit bukit kecil dan dikelilingi hutan lebat. Tak ada satu pun rumah penduduk terlihat, hanya ada tenda besar berwarna krem yang sudah berdiri di beberapa sudut.

"Ada jalan masuk satu-satunya, gak ada sinyal, dan gak ada perkampungan di radius… lima kilometer kayaknya," gumam Danu sambil mengambil ponselnya yang sudah menunjukkan tanda "No Signal".

Beberapa guru pendamping sudah mulai menata kedatangan, mengarahkan para siswa untuk turun dari bus dan membawa tas ke tempat registrasi tenda. Danu melihat dari jauh sosok Nadia turun dari bus, menoleh ke kiri dan kanan, lalu melambaikan tangan ke arah mobil mereka.

"Ayo, Lang. Bantu gue bawa barang-barang Nadia" ucap Danu ke Galang.

Mereka membuka bagasi dan mulai mengangkat koper, tas gendong, dan tikar gulung milik Nadia. Saat berjalan mendekati area tenda, Galang masih sempat berbisik, "Gue gak nyangka bakal kayak gini. Ini bukan camping biasa, Nu. Ini kayak... pelatihan bertahan hidup."

Danu cuma geleng-geleng. Tapi dalam hati, dia mulai bertanya-tanya, kenapa sekolah memilih lokasi seasing ini? Dan kenapa rasanya... tempat ini terlalu hening?

keduanya kemudian mendekati area kumpul tempat para siswa menurunkan barang bawaan masing-masing. Suara ramai, langkah kaki yang berlarian, serta suara guru-guru yang membagikan nomor tenda membentuk riuh khas kegiatan lapangan.

Nadia berdiri agak ke pinggir, menanti sambil melindungi wajah dari sinar matahari yang tembus dari celah pepohonan pinus. Begitu melihat sang kakak, ia segera menghampiri.

"Makasih ya, kak Galang. Udah bawain barang-barangnya,” ucap Nadia sambil menerima tas punggung dari Galang.

"Ini koper dan tikar kamu," kata Danu, menaruh dua barang terakhir di depan adiknya.

Nadia tersenyum. Namun ia menatap Danu yang seolah sedang kebingungan "Mas Danu kenapa?"

Danu menoleh sedikit ke kanan dan kiri, memastikan tak banyak yang memperhatikan. Lalu ia mencondongkan tubuh, menunduk sedikit dan berbisik, "Kamu yakin tempat ini aman, Nad? Jauh banget dari mana-mana. Bahkan sinyal aja mati total. Mas agak... gak tenang ninggalin kamu di sini."

Nadia mengangkat alis, lalu tersenyum tipis. Tatapannya tenang, bahkan sedikit geli melihat kekhawatiran kakaknya yang berlebihan. "Mas Danu, aku bakal baik-baik aja. Ini kan bareng temen-temen dan guru juga ada. Kita gak akan tidur sendirian. Semua udah diatur. Serius, gak usah khawatir."

"Ya, Bukan gitu, Nad. Ini bukan kayak camping biasa di pinggir kota. Mas aja sempet mikir kita nyasar tadi," bisik Danu lagi.

Galang berdiri beberapa langkah di belakang, sengaja memberi ruang. Tapi dari cara dia mengangkat alis dan menyilangkan tangan, jelas ia juga menyimpan rasa heran yang sama dengan Danu.

Nadia menepuk lengan kakaknya pelan. "Udah, Mas Danu sama kak Galang pulang aja dulu. Nanti kalau boleh dikunjungi, Mas datang, ya? Aku bakal kirim kabar lewat guru. Tenang aja."

Danu menatap wajah adiknya beberapa detik. Hatinya berusaha menerima bahwa Nadia sudah cukup dewasa untuk menjaga dirinya. Meski tetap, tempat ini membuatnya gelisah.

Akhirnya ia mengangguk. "Oke. Tapi kamu harus janji kalau ada apa-apa, langsung minta tolong guru. Jangan sok mandiri kalau udah mulai gak enak."

"Iya, janji." Nadia mengacungkan kelingkingnya, dan Danu dengan senyum kecil menyambutnya dengan kelingkingnya juga. Janji sederhana khas mereka berdua sejak kecil.

Galang akhirnya mendekat. "Udah kelar sesi drama keluarga?"

"Bukan drama. Ini bentuk perhatian abang yang baik" jawab Danu singkat.

Galang hanya mengangkat tangan sebagai tanda menyerah. "Baiklah, Nona Nadia. Jaga diri. Jangan bikin Mas mu yang sok ganteng ini bolak-balik ke hutan buat ngecek kamu, ya."

"Haha... Iya, Kak Galang. Hati-hati juga kalian di jalan," jawab Nadia sopan, tetap menjaga sikapnya.

Setelah satu anggukan terakhir dari Danu, mereka berdua berbalik, berjalan menuju mobil. Tapi belum jauh melangkah, Danu kembali menoleh, dan melihat Nadia sudah tertawa kecil bersama teman-teman nya, satu alasan yang akhirnya membuat Danu berusaha yakin meninggalkan tempat ini.

Perjalanan pulang dimulai. Mobil melaju perlahan melewati jalan berbatu yang diapit hutan lebat di kedua sisi. Cahaya matahari mulai meninggi, membawa angin semilir beserta hawa teriknya nya.

Galang yang duduk di sebelah Danu sesekali melirik. "Masih kepikiran?"

Danu menghela napas. "Iya. Gak tahu kenapa... kayak ga rela aja ninggalin Nadia disana. Tempat itu terlalu terpencil"

"Namanya juga camping, Nu. Pasti nyari yang alami. Lagian, mereka rame-rame. Gak bakal kenapa-kenapa."

"Semoga aja," jawab Danu pendek. Tangannya menggenggam setir lebih erat dari biasanya.

Setelah beberapa menit lagi melewati tikungan panjang dan menuruni jalanan curam, akhirnya mereka mulai melihat tanda-tanda kehidupan. Gubuk kecil di pinggir jalan, tiang listrik, dan papan warung kayu yang menggantung setengah miring.

"Lang, kita istirahat sebentar, ya,” kata Danu sambil menepikan mobil ke depan sebuah warung kecil yang tampak sepi tapi bersih. Spanduk bertuliskan "Warung Kopi Kakek – Gorengan, Kopi, Mi Rebus" tergantung di atas pintu.

Galang mengangguk, lalu keluar dari mobil bersamaan dengan Danu. Angin hutan terasa masih menggigit meski sudah lebih terbuka.

Begitu mereka masuk, terdengar suara lonceng kecil dari atas pintu. Seorang kakek paruh baya muncul dari belakang tirai dapur, mengenakan kaos oblong putih dan sarung, wajahnya dihiasi senyum hangat.

"Silakan, Nak. Mau pesan apa?" tanya si kakek, sambil mengelap meja dengan kain basah.

Danu duduk, diikuti Galang. "Kopinya dua, Kek. Sama gorengan, kalau masih ada."

"Ada, ada. Tadi baru saya angkat dari penggorengan. Tunggu sebentar, ya."

Kakek itu beranjak pelan, tapi cekatan, menyiapkan kopi dan sepiring gorengan panas. Bau harum kopi tubruk menyeruak tak lama kemudian, menyatu dengan aroma pisang goreng dan tempe yang renyah.

"Silakan, silakan. Masih panas ini," kata kakek sambil meletakkan nampan di meja.

"Makasih, Kek," ujar Danu sopan. Ia mengambil satu tahu isi, meniup sedikit sebelum menggigitnya.

Galang ikut menyusul. "Enak nih. Jarang-jarang nemu gorengan gurih begini di tempat terpencil."

Kakek itu tertawa kecil. "Iya, walau di pinggir hutan, yang makan tetap harus kenyang, kan?"

Danu tersenyum, tapi matanya masih terlihat berat.

Kakek memperhatikan, lalu duduk di kursi kecil di dekat dapur. "Kalian dari atas, ya? Tempat perkemahan?"

"Iya, Kek," jawab Danu. "Adik saya ikut camping di sana. Saya habis nganterin tadi."

"Hmm…" Kakek mengangguk perlahan. "Banyak yang camping di situ belakangan ini. Ramai. Dulu mah jarang ada yang mau nyasar ke sana."

Danu melirik Galang, lalu kembali ke kakek. "Memang dulu kenapa, Kek?"

“Ah, enggak. Biasa aja. Cuma dulu belum dijadikan tempat resmi. Baru beberapa tahun ini rame lagi," jawab kakek, cepat. Tapi tatapan matanya sedikit menghindar.

Danu mencatat itu dalam hati, tapi memilih tak menggali lebih jauh dulu. "Kakek tinggal di sini sendiri?"

"Iya. Anak-anak pada merantau. Saya jaga warung, sambil ngobrol sama orang-orang yang mampir. Lumayan, bisa dapat cerita banyak."

Danu tertawa tipis. "Kalau cerita tentang tempat itu, banyak, Kek?"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!