NovelToon NovelToon
Terpaksa Menjadi Madu

Terpaksa Menjadi Madu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Cinta Seiring Waktu / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Alya adalah gadis mandiri yang bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Hidupnya sederhana namun bahagia, hingga suatu hari ia harus menghadapi kenyataan pahit, ayahnya terlilit utang besar kepada seorang pengusaha kaya, Dimas Ardiansyah. Untuk melunasi utang itu, Dimas menawarkan satu-satunya jalan keluar—Alya harus menikah dengannya. Masalahnya, Dimas sudah memiliki istri.

Dengan hati yang terpaksa dan demi menyelamatkan keluarganya, Alya menyetujui pernikahan itu dan menjadi madu. Ia masuk ke dalam kehidupan rumah tangga yang dingin, penuh rahasia, dan ketegangan. Istri pertama Dimas, Karin, wanita anggun namun penuh siasat, tidak tinggal diam. Ia menganggap Alya sebagai ancaman yang harus disingkirkan.

Namun di balik sikap dingin dan keras Dimas, Alya mulai melihat sisi lain dari pria itu—luka masa lalu, kesepian yang dalam, dan cinta yang belum sempat tumbuh. Di tengah konflik rumah tangga yang rumit, kebencian yang mengakar, dan rahasia besar dari masa lalu,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 20

Sudah dua minggu sejak Rey melamar ulang Alya. Tapi Alya tak pernah menjawab.

Bukan karena dia tak merasa apa-apa — justru karena perasaannya terlalu banyak, marah, kecewa, iba, dan entah apa lagi yang tak bisa ia beri nama. Setiap malam, pesan Rey membanjiri ponselnya. Setiap siang, Rey muncul di tempat-tempat yang tak seharusnya dia ada.

Rey mulai melewati batas.

Pagi itu, saat Alya sedang mengajar sebagai dosen tamu di kampus swasta di Semarang, Rey tiba-tiba muncul di depan kelas. Membawa buket bunga. Di hadapan puluhan mahasiswa.

“Alya, aku hanya mau bilang satu hal… aku mencintaimu. Dan aku nggak akan berhenti sampai kamu memaafkan aku.”

Semua mata tertuju padanya. Mahasiswa mulai bersorak, sebagian tertawa geli. Tapi bagi Alya, itu memalukan.

“Keluar dari sini, Rey,” suaranya bergetar menahan marah.

“Aku hanya—”

“Keluar!” Kali ini Alya berteriak.

 

Tapi Rey tak berhenti di situ.

Ia menyambangi ayah dan ibu Alya di kampung. Membawa seserahan. Memohon izin untuk melamar putri mereka lagi.

Ayah Alya marah besar. Ia yang selama ini diam dan menahan, akhirnya bersuara keras.

“Kamu pikir kamu bisa datang dan memperbaiki semua dengan uang dan bunga? Anak saya bukan boneka yang bisa kamu ambil lagi seenaknya!”

“Pak… saya benar-benar menyesal.”

“Kalau kamu sungguh menyesal, kamu pergi. Jangan buat Alya makin menderita!”

 

Rey pulang dengan wajah babak belur.

Secara harfiah — karena warga sekitar sempat memukulnya saat ia memaksa masuk ke rumah Alya malam itu, berdiri di luar pagar sambil teriak-teriak.

“Alya! Aku cuma mau bicara! Sekali saja!”

Tetangga marah. Beberapa bapak menendangnya keluar pagar.

 

Di tengah kekacauan itu, Alya justru semakin tenang.

Ia tak menangis lagi. Tak gemetar setiap nama Rey disebut. Ia merasa seperti seorang wanita yang akhirnya kembali memegang kendali atas hidupnya.

“Dia bukan berjuang, Fahri,” katanya malam itu sambil menyeruput teh hangat.

“Lalu?”

“Dia sedang mempermalukan dirinya sendiri karena tak bisa menerima kenyataan. Itu bukan cinta. Itu obsesi.”

 

Alya menatap kotak yang ada di tanganya. Ada rasa takut yang aneh. Seolah di dalam kotak itu ada kebenaran yang bisa menghancurkan atau menyelamatkannya.

 

Tapi sebelum Alya sempat membuka… Rey muncul lagi.

Dengan mata lebam, luka di pelipis, dan suara serak.

“Aku tahu kamu sudah muak. Tapi aku nggak punya siapa-siapa lagi, Alya.”

“Itu bukan salahku, Rey.”

“Tapi aku kehilangan segalanya sejak kamu pergi.”

“Kamu kehilangan aku karena kamu tak pernah benar-benar menjaga aku.”

 

Alya berdiri. Tegas.

“Pergilah. Cari hidupmu. Jangan bawa aku ke dalam kehancuranmu lagi.”

Rey menunduk. Kali ini dia tidak memohon, tidak berlutut, tidak menangis.

Ia hanya menatap Alya dalam diam. Kemudian berkata:

“Kalau aku mati, kamu bakal datang ke pemakamanku?”

Alya menatapnya tajam.

“Kalau kamu sungguh mencintaiku… kamu akan belajar melepas-ku.”

 

Rey pergi. Untuk pertama kalinya, tanpa kata, tanpa paksaan.

Rey telah kehilangan semuanya, termasuk harga dirinya. Tapi Alya akhirnya menemukan suara jiwanya sendiri. Dalam sunyi, dalam luka yang dipeluk… ia memilih untuk tidak lagi mencintai demi rasa kasihan.

*

Alya berdiri di depan pintu apartemennya. Tangannya bergetar saat mencoba membuka pintu yang terlihat sudah rusak.

Pintu itu dibobol.

Ia baru pulang dari perjalanan kerja luar kota selama tiga hari. Dan di dalam apartemennya, Rey duduk di sofa. Tak diundang. Tak diizinkan.

“Kamu ke mana aja, Alya? Aku tunggu-tunggu.”

Alya terpaku. Jantungnya berdetak kencang — bukan karena rindu. Tapi karena takut. Rey bukan sekadar mantan suami sekarang. Ia mulai berubah jadi seseorang yang tak waras.

“Keluar dari sini.”

“Aku cuma mau bicara. Kita butuh waktu, Alya. Kamu lari terus.”

“Ini rumahku! Kamu masuk tanpa izin. Kamu udah gila!”

Rey berdiri. Matanya merah, seperti orang yang sudah kehilangan kendali.

“Kamu pikir bisa pergi dari aku? Kamu pikir bisa punya hidup baru dengan… laki-laki itu? Fahri?”

 

Tiba-tiba, pintu dibuka paksa dari luar.

Fahri berdiri di sana. Nafasnya terengah, jaketnya basah oleh hujan. Begitu melihat wajah pucat Alya dan Rey yang mulai mendekat, tangannya langsung mengangkat dan mendorong Rey mundur.

“Jangan pernah kamu sentuh dia lagi.”

Rey tertawa sinis.

“Kamu pikir kamu siapa? Pahlawan kesiangan?”

“Aku lelaki yang tahu batas. Yang nggak menyeret perempuan ke luka masa lalu demi harga diri yang sakit!”

 

Alya menggigil. Ia tak tahu siapa yang ia takutkan lebih: Rey yang kehilangan akal, atau dirinya sendiri yang nyaris tak bisa bicara.

Fahri berdiri di depannya, tubuhnya jadi tameng antara Alya dan Rey.

“Keluar dari sini, Rey. Sekarang juga. Sebelum aku benar-benar menyeret-mu ke kantor polisi.”

Rey memandang mereka berdua. Nafasnya berat, keningnya berkeringat. Tapi kali ini ia tahu… ia benar-benar telah kehilangan.

 

Setelah Rey pergi, Alya terduduk di lantai.

Ia menangis, pelan. Fahri duduk di sampingnya, menggenggam tangannya dengan lembut.

“Kamu nggak sendiri, Alya.”

“Aku takut, Fahri. Dia makin nekat. Dia masuk rumahku, dia ngikutin aku ke luar kota… dia tahu semua jadwalku.”

Fahri menatapnya dalam.

“Besok kita ke kantor polisi. Aku akan dampingi kamu. Biar ini berhenti.”

Alya mengangguk. Tapi ada satu hal yang belum ia katakan: bagian terdalam dari dirinya masih merasa bersalah karena dulu pernah mencintai Rey, pernah memaafkannya, dan pernah percaya padanya.

 

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!