Tutorial membuat jera pelakor? Gampang! Nikahi saja suaminya.
Tapi, niat awal Sarah yang hanya ingin membalas dendam pada Jeni yang sudah berani bermain api dengan suaminya, malah berakhir dengan jatuh cinta sungguhan pada Axel, suami dari Jeni yang di nikahinya. Bagaimana nasib Jeni setelah mengetahui kalau Sarah merebut suaminya sebagaimana dia merebut suami Sarah? Lalu akankah pernikahan Sarah dengan suami dari Jeni itu berakhir bahagia?
Ikuti kisahnya di dalam novel ini, bersiaplah untuk menghujat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lady ArgaLa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10.
"Apa kabar, Mas?" ucap Sarah dengan senyum dingin di bibirnya
Bima menelan ludahnya dengan susah payah, tenggorokannya serasa tercekat dan lidahnya kelu tak bisa di gerakkan.
Begitu pula Jeni, dia tampak mati kutu begitu bertemu langsung dengan Sarah. Karena selama ini Jeni hanya tau Sarah dari foto yang di tunjukkan Bima padanya atau melihat dari kejauhan saja.
"Wah wah, kita punya tamu rupanya." Sarah menatap Jeni dengan dingin dan angkuh, sangat jauh berbeda dengan Sarah yang biasanya.
"Apa kamu tidak berniat mengenalkan kami, Mas? Sepertinya tamu kita ini belum tau siapa aku," sambung Sarah kembali menatap Bima dengan tajam namun sambil menyunggingkan senyum dingin.
Bima menelan ludah sekali lagi. "S-, s- sayang. Kok kamu ada di sini? Bukannya ... bukannya ..."
"Apa, Mas?" sela Sarah.
"Ah, ah ... ng- nggak, syukurlah kamu sudah sehat, Sayang. Padahal baru aja kamu mau ke rumah sakit jengukin kamu, ya kan Jen?" ungkap Bima gugup.
Sarah tersenyum mengejek, sama sekal tidak lagi percaya dengan ucapan Bima yang sangat jelas penuh kebohongan.
Jeni yang di tanya hanya mengangguk saja sembari meringis karena baru tau kalau aura Sarah bisa begitu menekannya, bahkan kini dia sangat takut hanya untuk sekedar bersuara.
"Waw, hebat sekali kamu ya, Mas? Setelah membuat aku masuk rumah sakit kamu bisa langsung amnesia. Dan baru mau berniat menjenguk setelah berhari-hari aku ada di sana, ckckck ... sungguh luar biasa." Sarah bertepuk tangan di depan muka Bima.
"Ah, ma- maksud Mas, bu- bukan begitu, Sayang Mas hanya ...."
"Apa, Mas? Sayang? Sejak kapan Mas panggil aku dengan panggilan Sayang? Biasa juga panggil nama doang, aku nggak salah denger kan? Atau jangan-jangan panggilan itu bukan buat aku tapi buat ...." Mata Sarah beralih pada Jeni, Jeni gelagapan dan memilih menunduk dalam.
Bima cepat-cepat meraih puncak Sarah dan mengambil dagunya agar melihat ke arahnya saja.
"Nggak, nggak. Ini nggak seperti yang kamu pikirkan, Sayang. Mas panggil kamu begitu karna Mas menyesal sudah kasar sam kamu, Mas mau memperbaiki semuanya dan Mas rasa bisa memulainya dengan membiasakan diri memanggil kamu Sayang. Kamu ... nggak keberatan kan?"
Jeni menatap tak suka pada Bima, dia memberengutkan bibirnya namun cepat kembali menunduk saat menyadari kalau Sarah tersenyum sinis padanya.
"Apa benar begitu, Mas?" pancing Sarah.
Bima mengangguk mantab, membuat Jeni semakin kesal sampai mengepalkan tangannya sekuat mungkin. Sarah bersorak dalam hati karna berhasil mengerjai merek berdua dalam jebakannya.
"Baiklah," Sarah menepis pegangan Bima di bahunya. " Lalu ... apa yang kalian berdua lakukan di kamar kita?"
Bima terkesiap untuk yang kesekian kalinya, matanya liar menatap ke sana ke mari mencari-cari alasan yang sekiranya masuk akal.
"Ehm ... itu karna ... humm,"
"Kami sedang menyiapkan kejutan untuk kamu, Mbak. Rencananya mau kami bawa ke rumah sakit sekalian jenguk kamu, tapi ternyata kamu malah sudah pulang. Dan tadi ... saya juga sekalian bahas proyek perusahaan sama Mas Bima," sela Jeni cepat.
Sarah mendengarkan Jeni dengan seksama namun tetap saja tatapan tajam dan dinginnya sama sekali tak berubah, masih sama menakutkan di mata Jeni.
"Ow, begitu ternyata," gumam Sarah.
"Kalau begitu ... bisa saya lihat kejutannya?" imbuhnya sukses membuat Jeni dan Bima saling pandang dan kebingungan.
"Ah, kejutannya ... itu ... jadi ... begini, Sayang ...."
"Kejutannya masih di pesan, Mbak!" lagi lagi Jeni menyela ucapan Bima, membuat Sarah menaikkan alisnya tak suka.
Sarah mencondongkan tubuhnya ke arah Jeni yang ternyata lebih pendek dari perkiraannya itu.
"Sepertinya kalian lebih dekat dari pada yang terlihat ya? Sampai semua jawaban yang akan di lontarkan suami saya kamu bisa tau."
Jeni menunduk, meremas jemarinya dengan gugup.
"Ma- maksud Jeni bukan begitu, Sayang ...."
Sarah mengangkat sebelah tangannya meminta Bima untuk diam.
"Sudah cukup, aku capek. Aku bahkan baru pulang dari rumah sakit, menyetir motor sendiri dan kalian dengan pongahnya bersantai di kamar ku dan sekarang membiarkan aku berdiri terlalu lama di sini. Kalian punya otak?"
Bima terkesima melihat perubahan besar yang tiba-tiba terjadi dalam diri Sarah, sebelumnya padahal tak sekalipun Sarah berani meninggikan nada suaranya jika berbicara padanya. Namun hari ini, di depan matanya sendiri Sarah berubah menjadi sosok yang bahkan tidak Bima kenali.
"Menyingkir, aku mau tidur di kamarku." Sarah melirik Jeni sinis dengan menekankan kata kamarku, menegaskan kalau Jeni tidak punya hak di dalamnya.
Bima yang teringat betapa kotor dan berantakannya kamar itu lekas menahan pergerakan Sarah yang hendak melangkah masuk, bekas makanan ringan dan tisu yang belum sempat di buang juga jangan lupa berbagai macam lendir yang ada di kamar itu membuat Bima benar-benar takut Sarah melihatnya.
"Ada apa, Mas? Apa sekarang aku pun tidak boleh masuk ke kamarku sendiri? Jangan lupa kamu, Mas. Ini rumahku bukan rumahmu!" tekan Sarah memelototi Bima dan tak lupa menekankan kata rumahku untuk mengingatkan Bima posisinya di rumah itu.
Jeni mendelik mendengar ucapan Sarah, karna sebelumnya Bima selalu berkoar-koar kalau rumah dan mobil yang di pakainya itu adalah murni miliknya yang dia beli menggunakan uangnya sendiri. Namun nyatanya, semua itu adalah milik Sarah.
"Sayang, tunggu. Sepertinya lebih baik sekarang kita ngobrol santai dulu. Ada tamu, masa kamu malah mau tidur? Kita ngobrol-ngobrol dulu ya," pinta Bima selembut sutera sambil memaksa tubuh Sarah untuk menuju ke ruang TV lantai dua yang tak jauh dari sana.
"Apa ada yang kalian sembunyikan di kamar itu?" selidik Sarah pura-pura tidak tahu.
Jeni yang berjalan di belakang Sarah akhirnya bisa mengembuskan napas lega karna mengira kalau Sarah ternyata tak tau mengenai apa yang terjadi di kamar itu sebelumnya.
"Nggak dong, Sayang. Nggak ada apa-apa di kamar itu, Mas cuma lagi pengen santai dan ngobrol sama kamu, sekalian kamu juga kenalan sama Jeni." Bima membawa Sarah duduk di sofa bersebelahan dengannya sedangkan Jeni duduk di sebrang mereka.
"Aneh, kenapa juga aku harus kenalan sama tamu kamu? Kamu aja nggak pernah mau tau sama teman-teman dan tamu-tamu ku." Sarah bergeser menjauh, tak sudi rasanya dia berdekatan dengan tubuh Bima yang sudah menjamah wanita lain.
Bima diam tak menjawab. Di tangannya dia sibuk membuka ponsel dan mengirimkan pesan singkat pada Jeni agar membersihkan kamar itu sedangkan Bima akan mengajak Sarah keluar rumah.
Tling
Ponsel Jeni berbunyi, dan lekas dia melihatnya namun tak lama matanya melotot sambil menatap pada Bima. Bima balas menatapnya dengan mata memelas, sampai akhirnya Jeni menyerah dan menyanggupi walau bibirnya kini mengerucut sepanjang jalan kenangan.
"Hmmm Sayang," panggil Bima pada Sarah yang tengah sibuk mengganti saluran tivi.
"Hmm," sahut Sarah enggan.
"Bagaimana kalau kita beli cemilan di minimarket depan? Nggak enak rasanya kalau ngobrol tapi nggak ada cemilannya. Yuk, kamu mau kan?" ajak Bima.
Sarah melirik aneh pada lelaki yang sah suaminya itu. "Kamu cuma ngajak aku? Terus dia gimana? Aku nggak mau ya Mas ada orang asing nggak di kenal ada di rumah ku. Nanti kalau ternyata dia panjang tangan dan nyuri barang-barang berhargaku waktu aku nggak ada gimana?"