HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN, PASTIKAN UDAH PUNYA KTP YA BUND😙
Bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?" dan tuntutan keluarga perihal pasangan hidup lantaran usianya kian dewasa, Kanaya rela membayar seorang pria untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hari perkawinan Khaira, sang adik. Salahnya, Kanaya sebodoh itu dan tidak mencaritahu lebih dulu siapa pria yang ia sewa. Terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri, hancur dan justru terikat salam hal yang sejak dahulu ia hindari.
"Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa ... toh kita cuma melakukannya sekali bukan?" Sorot tajam menatap getir pria yang kini duduk di tepi ranjang.
"Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ... tapi perlu kau ingat, Naya, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku." Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting itu bukan masalah.
Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10
Jemarinya bergantian mengetuk permukaan meja, wajahnya yang tadi sumringah kini perlahan memudar. Dia sudah menunggu sejak lama, hingga akhirnya kini pria itu mendapatkan apa yang ia damba.
"Aku masih menunggumu," ucap Ibra masih setia memantau balasan Kanaya, sudah hampir lima menit dan sejak tadi sama saja.
Sedang mengetik...
Ibra menghela napas kasar, apa yang diketik Kanaya hingga selama ini. Apa mungkin nantinya akan memenuhi layar ponselnya, sungguh saat ini Ibra penasaran.
Naya : Tempat pertama, aku tunggu 3 sore.
Dia sama sekali tidak menutup jendela pesan itu, Ibra begitu sabar menanti jawaban Kanaya selanjutnya. Pria itu menarik sudut bibir, ini yang dia mau sejak lama. Setelah kejadian itu, Ibra benar-benar tidak bisa menghubungi Kanaya sama sekali.
"Hm."
Hanya itu, Ibrahim mengirimkan balasan sesingkat itu. Tak ingin terlalu banyak pertanyaan, karena baginya yang terpenting saat ini ialah janji temu itu kembali ia dapati.
Pria itu segera berlalu dan memasukkan ponselnya ke saku celana. Berlalu keluar dari tempat itu setelah Gavin tiba menjemputnya.
"Pulang?" tanya Gavin memastikan sebelum dia melaju, takutnya Ibra justru memintanya mengubah tujuan padahal nantinya sudah dekat.
"Mereka ada di rumah?"
"Iya, Tuan."
"Apartemen, aku butuh istirahat hari ini."
Gavin mengangguk patuh, titah Ibrahim adalah hal mutlak yang harus dia turuti meski sedikit bertentangan dengan keinginan Gavin.
Sudah beberapa hari terakhir Ibra enggan pulang dan memilih tempat hiburan untuk menghabiskan waktu dan menghamburkan uang.
Memastikan sekilas bagaimana Ibra saat ini, pria itu terlihat tengah tertidur dengan menyandarkan tubuhnya yang tampak lelah.
"Perhatikan jalanmu, Gavin."
Sontak pria itu terperanjat kaget, Ibra Benar-benar membuatnya terkejut kini. Meski itu bukan bentakan ataupun sebuah lontaran amarah, akan tetapi jika berada di posisi seperti ini siapa yang bisa bersikap santai.
"Maafkan saya, Tuan."
Tak ada jawaban lagi dari Ibra, sepertinya pemilik manik hazel itu mulai terlelap. Malam dijadikan siang, dan siang tetap fokus sebagai seorang pemimpin adalah hal yang sangat Gavin sayangkan.
Meski sejak dahulu Gavin mengingatkan Ibra untuk mengontrol waktu tidurnya yang seberantakan itu, tetap saja Ibra seakan tutup mata dan telinga.
"Gavin, siapkan perlengkapanku ... jam 3 sore aku harus bertemu seseorang."
Belum juga 10 menit perjalanan Ibra sudah memberikan perintah, tiba di tempat tinggalnya saja belum, pikir Gavin kesal.
"Siapa, Tuan? Apa perlu saya dampingi?" Gavin memberikan penawaran, entah kenapa setelah pertemuan Ibra dengan seorang wanita tiga minggu lalu, Gavin tak bisa membiarkan Ibra pergi sendirian.
"Tidak ... ini urusan pribadi, kau pulanglah setelah melakukan tugasmu."
Pribadi, baiklah jika memang itu yang Ibra mau. Karena bagi Ibra urusan pribadi adalah hal mutlak yang tidak boleh siapapun ikut campur.
-
.
.
.
Ini saatnya, Kanaya datang lebih awal daripada jam yang dijanjikan. Walau sempat ragu bahkan hampir memilih pasrah meski harus mejadi amukan Widya, kini dia kembali pada tekatnya.
Uang cash sudah ia siapkan, dengan jumlah yang sama dan Kanaya tidak akan menawar ataupun bernegosiasi meskipun keuangannya tercekik.
"Aku kecepetan," ujar Kanaya meremmas jemarinya yang kini terasa dingin saking gugupnya.
Apa yang nanti akan dia katakan pada Ibra, bagaimana mengutarakannya dan sungguh dia benar-benar bingung sendiri dan gugupnya melebihi saat pertemuan pertama.
"Tenangkan dirimu, Naya ... tarik napas ... buang."
Berusaha menjadi penenang untuk dirinya sendiri, Kanaya benar-benar gundah bahkan minumannya sudah habis setengah.
"Tarik nap_"
"Hai, kau sudah lama menunggu?"
Kanaya terkejut luar biasa, pria itu tiba-tiba saja sudah menghampiri mejanya. Tunggu, Ibra terlihat berbeda, penampilannya kenapa lebih berwibawa daripada sebelumnya?
Gawat, jika dia menemui mamanya begini, sudah bisa dipastikan Widya ngebet minta dia nikah cepat-cepat, pikir Kanaya meramal keadaan yang akan datang.
"Kanaya?"
Ibra menyadarkan Kanaya yang kini tiba-tiba mematung usai dia datang. Ada apa dengan wanita ini, pikir Ibra merasa benar-benar ada yang tidak beres.
"Ehm, maaf ... duduklah," pinta Kanaya dengan senyum palsu di sana, palsu sekali.
Dia canggung, tatapan Ibra sedari tadi ia hindari dan ini adalah bagian yang tak ia sukai.
"Hm, bagaimana kabarmu?" Ibra bertanya layaknya seseorang yang sudah lama tak berjumpa, sementara Kanaya justru gugup luar biasa begitu suaranya kembali membuat Kanaya berdesir secara tak langsung.
"Baik ... Ibra langsung saja, aku memintamu datang ke sini untuk membicarakan hal penting soal," ungkap Kanaya tiba-tiba terhenti dan justeu malu sendiri.
"Soal apa?" Ibra mengerutkan dahi, dia menanti jawaban selanjutnya dari mulut Kanaya.
"Ehm, soal .... kemarin."
"Katakan saja, Naya, kau hamil?" tanya Ibra frontal tak peduli di kanan kiri banyak orang, menatap Kanaya penuh selidik dan sorot mata yang sulit untuk Kanaya artikan.
"Hah?! Kecilkan suaramu!"
TBC