Sri dan Karmin, sepasang suami istri yang memiliki hutang banyak sekali. Mereka menggantungkan seluruh pemasukannya dari dagangan bakso yang selalu menjadi kawan mereka dalam mengais rezeki.
Karmin yang sudah gelap mata, dia akhirnya mengajak istrinya untuk mendatangi seorang dukun. Lalu, dukun itu menyarankan supaya mereka meletakkan celana dalam di dalam dandang yang berisikan kaldu bakso.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SRI MEMAKSA KARMIN
"Kamu dari mana, Dek?" Karmin menanyai sang istri yang baru pulang dari rumah Tumi.
"Dari samping!" sahut Sri sekenanya. Wajahnya masih menekuk, bibirnya masih mengerucut panjang.
"Jiah! Ditanya baik-baik kok jutek begitu jawabnya?" Karmin memicing.
Sri tidak menyahuti pertanyaan suaminya. Dia langsung masuk ke dalam rumah dengan ayunan langkah kaki yang kian cepat.
"Kesambet setan apaan sih dia? Kok mecucu terus? Mirip ikan kembung!" Pria itu mengkerutkan keningnya, lalu menggeleng heran.
Sri langsung masuk ke dalam kamar dan berdiam diri di sana. Dia tidak mau melepaskan jilbab di kepalanya, karena dia takut kalau tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke dalam rumahnya dan melihat jika di lehernya Sri terdapat warna-warna merah bekas cupang itu.
Sri juga masih nampak risau. Dia sangat memikirkan tentang obrolan antara Tumi dan Halimah tadi. Tentang ritual di rumah seorang dukun yang menggunakan servis ranjang sebagai jaminan atau syaratnya.
"Benarkah ada dukun seperti itu? Mengajak pasiennya kenthu? Menjijikkan sekali!" Wanita itu mendengkus heran.
Kini, otak Sri mulai memutar kembali kejadian semalam di rumah Mbah Samijan. Dia masih ingat betul bagaimana permainan di rumah dukun itu meskipun dengan keadaan sedikit tersadar, karena dia benar-benar merasa mengantuk.
Sri memang belum menyadari jika di dalam minuman yang dia minum, terdapat ramuan yang bisa membuat Sri mengantuk, sehingga dia bisa dijamah tanpa harus memberontak.
Tapi ..., di tengah-tengah kesadarannya yang mulai menipis itu, Sri juga masih merasakan bagaimana cengkraman demi cengkraman tangan lelaki yang menggagahinya itu telah mendarat di tubuhnya dengan kasar, bahkan Sri bisa merasakan bagaimana pria yang berada di atasnya itu telah mendesah-desah dengan suara berat, tapi Sri tidak ingat lagi bagaimana kelanjutannya.
"Biasanya Mas Karmin tidak mendesah begitu. Kenapa semalam dia seperti kerbau yang mau disembelih? Apakah aku hanya bermimpi atau berhalusinasi?" Wanita itu mencebikkan bibir.
"Biasanya cara main dia itu tidak kasar, kok," tandasnya, masih serius berfikir.
Sri menggeser tempat duduknya agar lebih condong ke belakang, karena alat kelaminnya masih terasa sedikit kurang nyaman setelah pergumulan semalam. Sedikit nyeri saja.
"Ahh ...." Dia menyandarkan punggungnya ke tembok.
"Aku akan mencoba mengajaknya kenthu nanti malam. Aku ingin mengetes bagaimana kinerjanya saat kenthu di rumah." Sri tersenyum getir.
"Apakah dia bisa segarang saat di rumah Mbah Samijan atau tidak? Aku harus lekas memastikan hal ini. Aku tidak mau terbawa oleh arus pemikiran-pemikiran di dalam kepalaku yang menyebalkan ini." Dia mendengkus panjang.
"Tapi, anuku masih sakit. Kuat gak yaa aku melayani Mas Karmin lagi? Semalam dia sudah meminta jatah banyak ronde," tandasnya.
"Ah, ini kan cuma pengetesan. Aku hanya ingin melihat bagaimana kinerja suamiku di atas ranjang saat kami memadu kasih tanpa ritual kolor, hehehe." Sri terkekeh.
Wanita itu terus bermonolog dengan dirinya sendiri. Dia berusaha meyakinkan hatinya bahwa apa yang dibicarakan oleh Halima dan Tumi tadi itu tidaklah berlaku untuk Mbah Samijan.
Sri sangat risau. Saking risaunya, dia bahkan sampai enggan membantu sang suami di warung. Dia sibuk dengan kegundahan yang merajai hatinya. Kepingan-kepingan puzzle yang belum tersusun rapi di dalam pemikirannya itu benar-benar mengikis habis semangat hidupnya.
Sri gundah gulana.
*****
Malam menjelang. Warung bakso sudah tutup. Karmin pun sudah sibuk memasukkan dandang dari warungnya ke dalam dapur. Sri hanya membantu sekadarnya saja. Dia membersihkan beberapa bekas kotoran di atas meja dan kursi, lalu membawa sisa mangkok kotor dan juga menggondol uang di dalam toples bekas kaleng biskuit bertuliskan Serena Monde itu.
Sesamapai di dalam rumah, Sri lekas meletakkan uang hasil penjualan di atas nakas.
"Akan aku hitung besok saja. Malam ini aku mau mengulangi percintaan dan pergumulan dengan Mas Karmin, hehehe." Sri terkekeh-kekeh pelan.
Dia menghampiri Karmin yang sedang mengurusi kolor pu—ma di dapur. Itu adalah tugas Karmin, dan dia memang sangat bersemangat dalam mengurusi ritual perkoloran di dalam dandang bakso tersebut.
"Belum selesai, kah, Mas?" Sri melingkarkan tangannya di tubuh Karmin yang cungkring. Ketika keduanya berjajar, benar-benar mirip angka 10.
"Belum. Baru selesai menyaring kaldu." Sahutan Karmin terdengar datar .
"Mas bebersih saja. Aku yang akan menyelesaikan. Cuci muka sana, mandi juga lebih bagus." Lagi, suara Sri dibuat semanja mungkin.
"Lagi dingin begini, kamu memintaku mandi? Edan! Bisa menggigil kedinginan aku." Karmin mendengkus. Wilayah Malang memang selalu dingin.
"Tenang, Mas. Kalau kedinginan, nanti aku angetin, deh." Sri mulai merayu. Dia berkedip genit. Sebuah kode bahwa dia sedang meminta jatah anu.
"Waduh, ini si karung goni ngapain sih ngerayu segala?" Hati Karmin nampak keberatan. Wajahnya mendadak pias.
"Dia pasti mau minta jatah nih. Bukankah semalam dia sudah dikasih jatah sampai gumoh dan sampai kembung?" Dia mendengkus pelan.
"Kenapa, Mas? Kok kayaknya keberatan begitu?" Sri mendongak. Ia lepaskan tangannya yang melingkar di tubuh sang suami.
"Eh, anu, Dek. Aku hanya lelah. Hari ini kan aku berjualan sendirian. Kamu sedari pagi kan istirahat, terus dipanggil emaknya si Tumi sampai menjelang Magrib. Jadi, aku kewalahan di warung." Karmin mengusap wajah dengan tawa kuda andalannya.
"Kalau kamu lelah, kamu di bawah saja deh, Mas. Aku yang pegang kendali di atas." Sri masih nampak memaksa dengan cara halus.
"Anjay, bisa gepeng nih ayas kalau digenjot Sri dari atas. Gepeng kabeh awak sak kunam-ku, Rek." Hati Karmin meringis.
[Ayas; saya]
[Kunam; Manuk, burung]
[Bisa gepeng semua, badan sekaligus burungku, Rek]
"Mas ...! Kok bengong? Plonga plongo kayak kerbau habis dicocol hidungnya." Sri berdecak kesal. Sikap Karmin selalu begitu saat diajak kenthu.
"Aku lagi memikirkan sesuatu, Dek. Kayaknya hari ini kita belum membayar angsuran ke Bawon, deh." Pria cungkring itu mencoba mengalihkan pembicaraan. Barangkali itu bisa mengalihkan pikiran dan hasrat Sri yang menggebu-gebu.
"Kemarin aku sudah membayar double sampai empat hari, untuk kemarin, hari ini, besok lusa, dan lusanya lagi. Jadi, Bawon tak akan datang menagih sampai dua hari ke depan." Sri menyahuti.
Skak mat! Niat Karmin untuk mengalihkan pembicaraan dan membuyarkan fokus sang istri agar membahas hal lain, ternyata gak sesuai dengan ekspektasi-nya. Karmin kembali memutar otaknya yang sering nge-lag itu.
"Oh." Pria itu hanya nampak mengagguk perlahan.
"Ya sudah, jangan bahas Bawon terus, bikin gak napsu makan dan bikin puyeng. Ayo kita kenthu saja, yuk." Sri nampak bergelayut manja.
"Dek, aku lagi gak mood. Aku masih capek. Semalam kan kamu sudah kuberi jatah banyak." Karmin tersenyum lebar.
"Iya, tapi aku ingin mengulang permainan semalam itu, Mas." Sri mengerucutkan bibirnya hingga memanjang sekian senti.
"Gak bisa, Dek. Aku sangat sibuk hari ini. Sumpah." Karmin masih berusaha menolak kemauan sang istri dengan keukeuh.
"Satu ronde saja. Aku yang akan berada di atas. Kamu tinggal melek merem saja, beres." Sri mencoba meyakinkan.
"Bukan soal itu, Sayang. Tapi suamimu ini memang ekstra lelah dan ekstra ngantuk." Karmin tersenyum lagi. Dia harus memasang senyum menawan agar Sri tak curiga.
"Oke kalau begitu. Tapi ... Senin atau Kamis depan ..., aku gak mau kamu ajak ke rumah Mbah Samijan lagi." Sri pun tak kehilangan akal. Dia terus mencecar suaminya demi mendapatkan hak atas nafkah batin atas dirinya.
"Lho? Kok gitu?" Karmin terhenyak. Wajahnya seketika melongo m
" Aku capek, aku lelah, aku pengen tidur seharian. Kamu saja yang pergi ke sana untuk mengasah kolor. Aku mau tinggal di rumah saja." Sri langsung berucap dengan tegas.
"Laah? Yo gak bisa, Dek. Itu kan sudah sesuai dengan kesepakatan awal kita dengan Mbah Samijan, Dek." Senyuman Karmin mulai mengembang, tapi kali ini ... Sri benar-benar memasang wajah masam.
"Kita? Kamu aja kali, aku gak ikut-ikutan menyanggupi kesepakatan itu!" Sri menyeringai.
"Jangan begitu dong, Dek." Karmin mengecap ludahnya berulang kali.
"Kalau Mas Karmin ingin agar aku mau sampean ajak ke rumah dukun itu, maka ... Mas Karmin harus mau aku ajak bercinta di rumah. Seminggu 4x sampai 5x."Wanita gemuk itu menyeringai.
"Baiklah, Dek. Bisa diatur itu. Nanti Mas atur waktunya, ya." Karmin menarik kedua ujung bibirnya agar nampak tersenyum manis.
"Aku gak mau menunggu! Gak usah lah terlalu diatur-atur atau dipikir-pikir segala. Masa ... mau kenthu aja masih harus mengatur suasana dan waktu?" Suara Sri terdengar meninggi, lalu menghilang ditelan kekesalannya sendiri.
"Bukannya begitu, Dek. Maksud Mas ... Mas kan mencari waktu yang nyaman dan—"
"Halah! Gak usah kakean petingsing! Cepat bersiap-siap! Aku mau kita melakukannya malam ini juga! Saat ini juga!" Wanita gemuk itu menegaskan.
[Gak usah kebanyakan alasan!]
"Lhoh? Jangan sekarang dong, Dek." Karmin nampak keberatan. Dia merasa benar-benar kepepet oleh keadaan.
"Kenapa? Memangnya ada apa? Kenapa kamu nampak keberatan, Mas?" Suara Sri kembali meninggi.
"A a a anu, Dek. Anu."