Semesta Animers yang damai, dikelola oleh lima kerajaan berdaulat yang dipimpin oleh sahabat karib, kini terancam oleh serangkaian insiden sepele di perbatasan yang memicu krisis sosial. Para pemimpin harus bertemu dalam pertemuan puncak penuh ketegangan untuk menyelesaikan konflik politik dan membuktikan apakah ikatan persahabatan mereka masih cukup kuat untuk menyelamatkan Semesta Animers dari kehancuran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Camping in the Snow
Malam tiba, dan dinginnya dataran tinggi memaksa Lyra, Indra, dan Sabre untuk mendirikan kemah darurat. Mereka menyalakan api unggun kecil di antara tumpukan batu, membiarkan kehangatan merayap membelah udara yang membeku. Kelelahan setelah bertarung sepanjang hari kini digantikan oleh ketenangan, dan suara gemuruh api menjadi satu-satunya latar belakang.
Setelah menikmati jatah makanan kering, Lyra membuka pembicaraan.
"Aku masih tidak percaya," ujar Lyra, memegang cangkir logam hangat. "Indra, kau masih ingat bagaimana kau mencoba menyusup ke perpustakaan pada malam hari untuk mengubah nilai ujianmu?"
Indra tertawa terbahak-bahak, menyandarkan punggungnya pada tumpukan salju yang diselimuti jubah. "Itu bukan mengubah nilai! Itu hanya... mengoreksi kesalahan sistem. Lagipula, aku hanya ingin mengubah nilai D-ku di Etika Kerajaan menjadi C+."
Sabre menggelengkan kepala. "Dan kau malah mengaktifkan alarm sihir kuno, membuat seluruh Akademi terbangun, dan akhirnya dihukum bersih-bersih toilet selama seminggu!"
"Oh, toilet itu!" Lyra menambahkan, dengan nada geli yang jarang ia tunjukkan. "Itu semua salah Sabre! Dia yang menyuruhmu menggunakan 'Jalur Terowongan Rahasia' yang ternyata sudah tidak dipakai selama dua abad!"
Sabre segera membela diri. "Aku tidak tahu! Aku dapat peta itu dari senior! Aku hanya menyalurkan semangat petualangan kita, yang sering kau nikmati saat kita pergi keluar diam-diam untuk menguji senapan barumu, Lyra."
Lyra tertawa kecil. "Setidaknya saat aku pergi, aku tidak membuat kekacauan berskala istana. Aku selalu berhati-hati. Kecuali saat aku menembakkan proyektil ke kamar Master Ryker karena dia merusak rambutku saat ujian praktikum pedang."
Indra menyeringai, mengenang sifat brutal Lyra yang sudah ada sejak remaja. "Itu hanya masalah sehelai rambut, Lyra. Tapi ya, saat itu kau mendapatkan julukan 'Si Brutal Berambut Indah'. Aku rasa julukan itu masih melekat padamu."
Di tengah tawa dan kenangan konyol itu, ketegangan misi sejenak terlupakan. Mereka bukan lagi Ratu, Pangeran, atau Raja, melainkan hanya tiga sahabat yang berbagi masa lalu. Momen-momen itu, meskipun sepele dan memalukan, adalah pilar sejati yang menopang ikatan persahabatan mereka, ikatan yang kini harus mereka bawa untuk menyelamatkan dunia yang perlahan-lahan mulai kehilangan kedamaiannya.
.
.
.
.
.
.
Di bawah cahaya api unggun yang berkedip, keheningan menyelimuti mereka setelah tawa mereka mereda. Mereka mulai membahas dan mengingat kembali kepribadian unik yang mereka miliki saat masih di Akademi, yang kini membentuk cara mereka memerintah.
Lyra menyandarkan punggungnya ke batu, matanya memandang Sabre.
"Kau tahu, Sabre. Kau adalah kasus yang paling aneh di Akademi."
Sabre (Tanaki Sabre) menaikkan alisnya dari balik kacamata yang dulu sering ia pakai.
"Aku? Kau yang paling aneh! Tapi ya, aku akui. Aku adalah pria kutu buku berkacamata yang selalu menyendiri. Aku hanya tertarik pada hal-hal berbau misteri, sihir kuno, dan teori konspirasi yang tersembunyi. Merenung adalah hobiku, bukan kesepian."
"Tepat," timpal Lyra. "Kau akan menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan, lalu tiba-tiba muncul di tengah duel dengan mantra baru yang kau dapatkan dari buku yang seharusnya dilarang. Itu membuatmu sulit didekati."
Indra mengangguk, lalu pandangannya beralih ke Lyra.
"Kau tidak jauh berbeda. Semua orang takut padamu, Lyra."
Lyra (Ai Haruka Lyra) tersenyum manis, tapi matanya tetap tajam, seperti sedang menganalisis.
"Aku adalah wanita psikopat tipe observer. Aku tidak pernah bertindak tanpa data. Di Akademi, aku hanya mengumpulkan informasi tentang kelemahan, kebiasaan, dan pola pikir setiap orang yang akan kubunuh atau kulawan di arena. Dan kau tahu, keahlianku merubah suara adalah alat terbaik untuk mendapatkan informasi tanpa diketahui identitasku."
Sabre bergidik kecil. "Benar. Aku ingat kau pernah membuat gurauan dengan menyamar sebagai suara kepala sekolah. Itu adalah hari terburuk bagi Master Ryker."
Terakhir, mereka memandang Indra (Royal Indra) yang duduk di seberang api.
"Dan kau, Indra," kata Sabre. "Kau adalah misteri berjalan."
"Aku adalah pria yang anti-sosial," jawab Indra, nadanya sedikit melunak. "Bukan karena aku ingin. Aku hanya pemalu, dan ekspresi dingin ini selalu membuat orang salah paham, jadi mereka menjauhiku." Indra menghela napas. "Tapi setidaknya, ada satu orang yang melihat di balik itu semua."
Lyra tersenyum penuh arti. "Evelia. Dia menyukaimu justru karena ekspresi dingin itu. Dia bilang ekspresimu yang kaku saat sedang bingung itu lucu."
Kenangan akan alasan Evelia menyukai Indra membawa keheningan yang lebih serius. Malam itu, di tengah salju dan api unggun, mereka tidak hanya mengenang siapa mereka dulu, tetapi juga menyadari bahwa sifat-sifat ekstrem mereka inilah yang kini menjadi kekuatan unik yang dibutuhkan untuk menyelamatkan Semesta Animers dan menemukan Evelia.
Indra memandang nyala api unggun yang menari, ekspresi dinginnya melunak oleh pantulan cahaya. Setelah beberapa saat hening, ia menghela napas, menyuarakan harapan yang terpendam di hatinya.
"Kalian tahu," ujar Indra, suaranya pelan, memecah keheningan malam bersalju itu. "Setelah semua kekacauan ini selesai. Setelah Evelia aman, dan jika kita bisa menstabilkan kondisi perbatasan..."
Indra menoleh, menatap Lyra dan Sabre yang menunggunya melanjutkan.
"Aku mengusulkan," lanjutnya, senyum tipis terukir di bibirnya. "Kita semua harus berkemah. Kita, Shin, Gumi... dan Evelia. Berkemah seperti yang sering kita lakukan dulu, jauh dari urusan kerajaan. Kita bisa bercerita sepanjang malam tentang hal-hal konyol yang pernah kita lakukan di Akademi, tanpa ada Penasihat atau tuntutan rakyat yang mengganggu."
Lyra menyesap cokelatnya, tatapannya melembut. "Berkemah? Kedengarannya terlalu... damai, Indra."
Sabre tertawa, namun ada kehangatan dalam suaranya. "Aku suka ide itu. Aku akan membawakan peta kuno yang baru kutemukan, dan kita bisa membahas semua misteri yang ada di Semesta Animers, tanpa harus mengkhawatirkan Demon atau Riana yang panik."
Indra mengangguk. Ide itu, sebuah rencana sederhana untuk kembali ke masa lalu yang damai, kini terasa seperti alasan terkuat mengapa mereka harus berhasil dalam misi yang berbahaya ini.
Indra memandang ke atas, menembus lapisan kanopi dan bayangan salju, ke langit gelap tempat para Dewa bersemayam. Keberadaan Lyra beberapa waktu lalu mengingatkan mereka pada sosok yang jauh lebih besar dan menakutkan.
"Ngomong-ngomong soal kekacauan," ujar Indra, suaranya sedikit pelan. "Kalian pernah memikirkan Bahamut? Kalian pernah melihat wujudnya yang sebenarnya?"
Pertanyaan itu seketika memicu minat Sabre yang memang kutu buku dan penggila misteri.
"Oh, itu topik yang bagus!" seru Sabre, matanya berkilat. Ia menyesuaikan posisi duduknya, siap untuk berteori. "Secara resmi, Bahamut adalah Pengawas Kosmik yang Omnipresent. Tapi aku punya teori, berdasarkan manuskrip kuno yang kubaca di perpustakaan terlarang: Bahamut tidak punya wujud. Wujudnya adalah konsep itu sendiri. Dia adalah akumulasi data dari kegagalan sepuluh Semesta sebelumnya. Dia tidak turun tangan secara fisik, dia hanya memanipulasi kode genetika dan takdir. Dia adalah Arsitek Realitas, Indra, bukan naga raksasa seperti yang dibilang legenda!"
Lyra menyilangkan tangan, mengamati api unggun dengan mata tajamnya. "Sabre, kau terlalu banyak membaca buku. Aku pernah mencoba mencari data tentang intervensi-Nya. Hasilnya nol. Tidak ada data fisik, tidak ada jejak sihir, hanya perubahan statistik yang tiba-tiba dan mustahil. Jika aku harus menebak, aku setuju denganmu. Dia mungkin hanyalah sebuah kesempurnaan logis yang memastikan 'Katalisator' ditempatkan dengan benar."
Indra menggelengkan kepala, terhibur oleh analisis yang mendalam dari kedua sahabatnya. "Jadi, Sang Pencipta kita adalah sebuah spreadsheet raksasa yang tidak punya wajah?"
"Atau," sela Sabre sambil tersenyum misterius. "Dia adalah naga kuno yang tidur, dan kita semua adalah mimpinya. Dan jika kita membuat terlalu banyak keributan, Dia bisa terbangun dan memutuskan untuk menghapus mimpinya."
"Semoga saja Dia suka drama," canda Lyra, meskipun ada nada dingin di sana.
Indra tertawa, suasana kembali ringan. "Yah, terlepas dari wujudnya, mari kita pastikan kita tidak membuat-Nya cukup tertarik untuk mengintervensi. Seru juga ya, membahas konspirasi absurd ini di tengah salju."
Obrolan itu, meskipun hanya pengisi waktu, menjadi pengingat bagi mereka tentang betapa kecilnya posisi mereka dalam tatanan kosmik, sekaligus mempererat ikatan mereka melalui minat yang mereka bagi.