Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."
Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surat
Malam itu kosan Nadira terasa lebih sunyi, Biasanya terdengar suara Mbak Intan di kamar sebelah karaoke dangdut, atau gerobak bakso berdenting. Tapi malam ini hening, sepi hanya detak jam dinding bernyanyi.
Ia menatap kosong keluar jendela gelap tanpa cahaya bintang.
\=\=\=
“Nad, yuk kita pulang. Udah jam tujuh, bos aja pada kabur,” ajak Sinta sambil memunggungi tas.
Nadira melirik ke arah ruang Bram yang masih terang. “Gue tungguin Pak Bram bentar lagi. Dia kayaknya masih lembur.”
“Lah, kenapa? Masa mau nemenin centong nasi itu? .”
“Hus, nggak juga sih,” Nadira tersenyum. “Gue cuman…males aja pulang, lebih baik di sini .”
Sinta menghela napas. “Hati-hati aja, Nad. Kantor malam-malam berasa aneh. Apalagi lantai kita, ruang arsip—”
“Dih, jangan mulai!” potongnya sambil tertawa “Gue jadi nggak berani pulang nanti.”
“Ya udah, terserah lu. Besok jangan ngeluh ngantuk ya.”
“Iya, iya. Hati-hati di jalan, Sin.”
Sepeninggal Sinta, kantor terasa semakin senyap. Nadira menyelesaikan sedikit pekerjaan, sesekali melirik ke arah ruang Bram yang masih terang. Setelah satu jam lebih menunggu dengan mata yang semakin berat, akhirnya ia memutuskan untuk mengecek.
“Pak Bram, mau aku bantu—” ucapnya sambil membuka pintu ruangan itu perlahan.
Ruangannya kosong.
Laptop tertutup, kursi agak tertarik, dan jaket yang biasanya tergantung di belakang kursi sudah lenyap. Rupanya, Bram sudah pergi tanpa sepatah kata pun—meninggalkannya sendirian di kantor yang semakin sunyi.
Nadira menghela napas panjang, bercampur kesal dan lelah. “Awas lu ya baskom, tunggu pembalasan gue…”
Ia membereskan meja dengan cepat, rasa tidak nyaman mulai menggelitik di tengkuknya. Kosongnya kantor tiba-tiba terasa sangat luas dan terlalu hening. Langkahnya terdengar bergema di lorong saat ia bergegas menuju lift, berharap bisa segera sampai di kosan dan beristirahat.
\=\=\=
Nadira baru saja selesai mandi, rambutnya masih basah, ketika lampu kamarnya tiba-tiba berkedip-kedip.
“Ah, listrik lagi,” gumamnya kesal. “Kosan mahal, tapi listriknya kayak orang sakit di ICU”
Namun tidak lama hidup kembali. Ia menghela napas duduk di depan meja rias menyisir rambutnya, tiba tiba saja tengkuknya meremang, cermin di depannya berkabut total
Ia berbalik cepat—tidak ada siapa-siapa di belakangnya.“Sudahlah, jangan paranoid. Kerja kebanyakan, kurang tidur,” bisiknya meyakinkan diri membuka laci meja rias.
Tiba tiba matanya tercekat pada sekuntum bunga melati di atas hiasan make up, Nadira tersentak kaget secara reflek mendorong kursinya mundur.
“Gue… nggak pesan aromaterapi,?” candanya sendiri
Aroma melati begitu tajam menusuk menempel tepat di atas hidungnya. Dengan tergesa gesa ia meraih jaket bersiap lari ke luar, namun saat tangannya menyentuh gagang pintu—pintu bergetar kuat seakan tertahan dari seberang.
“Hei ....?!” teriaknya sambil memukul-mukul kayu pintu.
Getaran tiba-tiba berhenti, sunyi kembali melanda, tapi wangi melati merebak memenuhi seluruh ruangan.
Tirai jendela tertutup rapat—bergoyang dengan sendirinya.Itu bukan angin tapi gerakan tangan memegang dari balik kain.
Nadira menutup mulutnya rapat-rapat. Desah napas dari balik tirai seakan menarik tubuh membuatnya mundur selangkah.
“Aku… nggak tahu siapa kamu… tapi tolong jangan ganggu aku. Aku cuma teman sekantor Raga…”
Begitu nama itu disebut, tirai berhenti bergerak, lalu…Bruk! kain itu terjatuh dari relnya ditarik kasar oleh tangan tak terlihat.
Gadis itu panik berlari kencang
menyusuri lorong kos tanpa peduli. Napasnya memburu, jantungnya berdebar kencang, tapi yang membuat darahnya membeku sebuah layar pesan WhatsApp baru masuk tanpa nama kontak, tanpa nomor. hanya satu kalimat:
"Jangan sebut nama dia lagi." Dan tepat di bawah pesan itu…sebuah ikon bunga melati kecil.
\=\=
Pagi itu sebelum meeting pagi Nadira mencari pak Bram untuk menanyakan perihal bunga melati yang ia temukan dalam kamar kosnya, tapi ruangan itu kosong
" Sin..Pak Bram belum datang ? " tanyanya pelan duduk kursi samping filling cabinet meja kerja Sinta
" Kaya' nya tambun belum datang, apa hal yang ingin lu tanyakan? "
" Gak sih ...gue cuma..." Ia terhenti melihat Bu Rani dari ujung koridor masuk kedalam ruangan HRD. " Sebentar Sin, gue mau nemuin Bu Rani."
\=\=
“Masuk saja.” Suara Ibu Rani, kepala HRD, terdengar dari dalam seperti perintah tuan tanah
Nadira membuka pintu, ruangan HRD beraroma lavender murahan dari difuser yang dipaksa bekerja 24 jam, terlalu putih, terlalu steril, dan terlalu sunyi seperti tempat pesakitan karyawan melanggar aturan menandatangi surat PHK.
Ibu Rani mengangkat wajah dari laptopnya.
Wajahnya selalu tenang—tanpa expresi, matanya tajam menikam membuat orang kabur sebelum bertanya“Ya, Nadira. Ada perlu?”
Ia menarik napas yang tersekat di kerongkongannya, “Saya mau bertanya soal Raga, Bu. Sudah dua minggu dia nggak masuk, dan Pak Bram juga bilang cuma ‘urusan keluarga’. Boleh saya tahu apa benar begitu? Atau ada hal lain?”
Ibu Rani berhenti mengetik, jari-jarinya menggantung di atas keyboard.“Raga sudah mengajukan cuti darurat secara resmi,” jawabnya singkat.
Nadira mengangguk. “Saya tahu, Bu. Tapi… biasanya Raga mengasih kabar ke saya. Tapi tiba-tiba dia hilang begitu saja. Saya cuma… khawatir.”
Hening
Hening yang berat, sesuatu yang seharusnya tertutup sekarang dibuka. Perempuan berkaca mata itu melipat tangan diatas meja.“Nadira,” katanya pelan, “sebenarnya… ada hal yang ingin Ibu tanyakan.”
Nadira mengerutkan dahinya“Tentang apa, Bu?”
“Raga,” jawabnya lirih, “sebelum berangkat ke kampung… dia menitip sesuatu ke kantor.”
“Titip?” Nadira semakin bingung. “Titip apa?”
Ibu Rani bangkit dari kursinya membuka laci yang terkunci. Ia mengambil sebuah amplop cokelat lusuh—yang sejujurnya terlihat seperti bukan dari kantor modern, melainkan dari tempat sangat jauh dan tua.
Ia meletakkan amplop itu di hadapannya
“Ini untukmu, tertera namamu dengan tulisan tangan.”
Napas Nadira terhenti membaca dibagian depan, tertulis,
Untuk Nadira.
Kalau aku belum kembali setelah tujuh hari, tolong buka ini.
Ia menatap Ibu Rani mata melebar, “Tapi sekarang sudah dua minggu, Bu.”
“Ibu tahu“Itulah kenapa Ibu sangat berharap kamu datang hari ini.”
Gadis itu menelan ludah, tangannya basah oleh keringat.“Bu… saya boleh buka disini?”
Lampu di ruangan HRD berkedip, hanya sebentar.Tapi cukup untuk membuat suasana berubah dingin.
Ibu Rani menelan gugup.“Kita… buka saja di ruang meeting. Jangan di sini.”
“Kenapa?”
Ia tidak menjawab, tapi pandangannya melirik ke cermin kecil di dinding— refleksinya tampak bergetar.
Nadira merinding menggenggam amplop kuat Entah apa yang dititipkan Raga…tapi HRD, yang biasanya dingin dan profesional, hari ini terlihat seperti menyimpan rahasia gelap terlalu lama dikunci.
Dan Nadira baru saja memegang kunci pembukanya.
\=\=
Di lorong kantor sepi, lampu-lampu utama sebagian telah padam, hanya menyisakan cahaya redup dari beberapa bilik masih bekerja. Nadira berdiri termangu, menggenggam amplop cokelat yang baru saja diberikan oleh staf HRD tadi.
Ia menatap amplop tidak berkedip,
Tulisan tangan yang biasanya rapi dan sedikit condong ke kanan. Kali ini, huruf-hurufnya terkesan terburu-buru, seperti pesan darurat.
Tidak kembali tepat waktu? Gadis itu mengerutkan kening. Ini bukan gayanya, dia cuma pulang kampung, bukan pergi bertualang.
Ia membuka lipatan amplop dengan napas buru, Isinya tidak banyak selembar kertas surat yang dilipat rapi, sebuah kunci kecil berwarna perak usang, bergerigi aneh, dan selembar foto polaroid rumah panggung kayu, lapuk dan terasing.
Di serambinya, terlihat bayangan seorang gadis berdiri, menghadap ke arah kamera namun wajahnya terselubung cahaya senja yang redup. Dingin menjalar di tulang punggungnya.
Dira,
Gue tahu lu akan bingung. Maaf, gue harus pergi seperti ini, tanpa penjelasan. Gue bahkan tidak bisa memberitahu secara langsung.
Perjalanan ke kampung ini… tidak seperti terduga. Gue tidak tahu harus berapa lama di sini. Kalau lu membaca surat ini, berarti gue telah melanggar janji pada diri sendiri untuk kembali.
Selama ini, gue menganggap cerita-cerita keluarga sebagai dongeng pengantar tidur. Ketika semuanya mulai terlihat di sini, di Koto Tuo.
Tapi… jika sesuatu benar-benar terjadi padaku, dan lu merasa harus mencari tahu, jangan mencari gue
Percayalah pada nalurimu, Nadira
Salam
Surat itu terjatuh dari genggamannya. Ruangan kantor yang biasanya ramai dengan bunyi keyboard dan percakapan kini sunyi bagaikan kuburan. AC berhenti berdengung. Lampu neon di atas kepalanya berkedip sekali, dua kali, lalu kembali stabil berdesis halus.
Dia mengambil lagi foto polaroid itu, matanya menyipit memperhatikan detail. Baru sekarang ia melihat senyum tipis di wajah gadis bayangan itu. Dan di sudut bawah foto, tergores tulisan tipis, hampir tak terbaca, seperti ditulis dengan kuku
Dia tidak sendiri, jantungnya berdebar kencang, suaranya menggema di telinganya sendiri.
Dari arah lorong menuju ruang HRD, terdengar suara parau, berdesis, namun terdengar jelas, seolah berada tepat di sebelahnya.
“Kembalikan dia…”
Amplop, surat, kunci, dan foto—semua berhamburan ke lantai. Nadira terdiam membatu, darahnya membeku.