Vira, terkejut ketika kartu undangan pernikahan kekasihnya Alby (rekan kerja) tersebar di kantor. Setelah 4 tahun hubungan, Alby akan menikahi wanita lain—membuatnya tertekan, apalagi dengan tuntutan kerja ketat dari William, Art Director yang dijuluki "Duda Killer".
Vira membawa surat pengunduran diri ke ruangan William, tapi bosnya malah merobeknya dan tiba-tiba melamar, "Kita menikah."
Bos-nya yang mendesaknya untuk menerima lamarannya dan Alby yang meminta hubungan mereka kembali setelah di khianati istrinya. Membuat Vira terjebak dalam dua obsesi pria yang menginginkannya.
Lalu apakah Vira mau menerima lamaran William pada akhirnya? Ataukah ia akan kembali dengan Alby?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Drezzlle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berniat Mencari Pria Lajang
Vira tertawa hambar. "Bapak bercanda?" tanyanya sambil mundur, merasa tidak nyaman. Nggak mungkin... orang yang setiap hari bikin aku stres, yang bikin aku sakit kepala dan asam lambungku kumat, tiba-tiba ngelamar aku? Ini pasti mimpi buruk! pikirnya panik, tenggorokannya tercekat, membuatnya sulit bernapas.
“Diam tandanya setuju,” ucap Pak William dengan nada yang tegas.
Vira segera menyilangkan kedua tangannya di dada.“Tidak, saya menolak.”
Pak William mendorong kursinya maju dengan gerakan perlahan, membuat jarak antara mereka menyempit hingga berhadapan erat—hanya beberapa sentimeter saja memisahkan wajah mereka. Saat Vira hendak melangkah mundur untuk menghindar, William dengan gerakan cepat namun lembut menarik tangan kanannya.
"Pak, saya ingin mengundurkan diri. Alasannya... pertama, karena tentang Alby, mantan saya. Kedua... ya, karena Bapak sendiri," jawab Vira, menatap langsung ke mata William.
Cengkeraman William mengendur, lalu terlepas sepenuhnya. “Saya? Apa maksudmu?”
Karena Bapak bikin hidupku lelah! batin Vira geram. Ia hanya membalas dengan senyum tipis—senyum palsu yang menyembunyikan kekesalannya.
"Karena saya terlalu menekan kamu?" tebak William, nadanya berubah menjadi lebih lembut.
"That's Right," jawab Vira dengan nada lirih. Sudah tahu, masih tanya, batinnya sinis.
"Saya marah karena kamu sering salah, desainmu nggak beres, dan..."
"Itu dia masalahnya!" potong Vira, jarinya membungkam William. "Saya sudah capek dimarahi di kantor. Nggak mau lagi dimarahi di rumah!"
William tersenyum dan menarik jari Vira. "Di rumah, kamu akan saya sayang, bukan saya marahi."
Vira menarik tangannya. "Maaf, tapi saya tetap menolak."
William menarik kursinya lagi, keluar dari area meja kerja, lalu mendekat ke arah Vira dengan langkah yang lambat. “Coba pikirkan lagi, kita ini cocok lho. Percaya deh sama saya.”
Vira mengernyit, menatap atasannya dengan mata yang membulat tak percaya. “Cocok?”
William mengangguk dengan yakin. “Iya, kamu lajang, saya duda. Kamu selalu teledor, saya teliti—itu yang bikin kita melengkapi satu sama lain. Seperti dua bagian yang mencari pasangan.”
“Karena itulah kita tidak cocok. Saya masih lajang, lebih suka bermalas-malasan, dan gemar menghabiskan uang untuk traveling. Sementara Bapak seorang duda dengan tanggung jawab besar dan karir yang cemerlang. Kita berbeda jauh, hanya Bapak yang bersikeras mengatakan kita cocok.” Vira melanjutkan dengan suara yang lebih tenang, “Saya sudah memahami kekurangan saya dalam pekerjaan ini, Pak. Saya permisi.”
William menghela napas kecewa, lalu bersiap kembali bekerja. Namun, Vira justru mendekat dengan langkah pasti.
"Saya akan mengundurkan diri. Saya harap Bapak setuju," ucap Vira dengan nada tegang.
William tetap fokus pada laptopnya. "Saya lebih memilih melamar kamu."
Vira mengepalkan tangan, lalu membanting pintu saat keluar. Sehingga terdengar bunyi Thump yang keras dan jelas di ruangan.
William tersenyum, merasakan jantungnya berdebar kencang. Telapak tangannya menumpuk di dada, merasakan debaran jantung yang masih berdebar kencang—sisa dari kebahagiaan tersembunyi ketika wanita yang ia sukai diam-diam selama setahun itu meninggalkan ruangannya.
.
.
Setelah itu, jam istirahat habis. Suara-suara berbisik yang merapat, langkah kaki yang cepat dan riuh, serta bunyi pintu ruangan yang terbuka-tutup secara bergantian mulai memenuhi lantai kantor. Semua karyawan telah kembali ke meja kerja masing-masing, membuat suasana yang tadi sepi dan sunyi menjadi riuh dan penuh aktivitas. Beberapa berbicara riang tentang makan siang mereka, yang lain sudah mulai mengetik cepat di keyboard atau berbicara lewat telepon dengan klien dengan nada yang sibuk.
Suara telepon yang berdering terus-menerus, tawa kelompok karyawan yang riang, dan bunyi printer yang bekerja dengan berdesir bergabung menjadi satu irama yang penuh kehidupan. Tapi bagi Vira, semua itu terasa seperti bunyi jauh dan tidak jelas—ia masih tertekan oleh kata-kata William yang terus bergema di kepalanya "Saya lebih memilih melamar kamu."
Vira memejamkan mata, memijat pelan kedua pelipisnya yang mulai pegal karena berpikir terlalu banyak. “Astaga, pria itu selalu menambah beban pikiranku. Tidak cukup dengan tumpukan pekerjaan yang menumpuk. Sekarang… Hah…” napasnya memburu, terasa sesak di dada. “Pria itu melamar ku tiba-tiba, dia kira jadi istri tidak butuh basic?” racaunya dengan nada yang kesal.
Tok! Tok!.
Suara ketukan meja yang lembut membuka kelopak mata Vira perlahan. Lisa, rekan timnya yang juga sahabat baik, menyodorkan coffee cup berwarna krem yang sedang mengeluarkan uap hangat yang membanjiri. Bau kopi yang kuat dan harum langsung menyebar di sekitar meja kerja Vira, membuatnya sedikit terbangun dari kebingungan yang masih melayang di kepala.
“Kamu terlihat pusing banget, Vir. Ini kopi rasa caramel macchiato—pake gula sedikit biar ga terlalu pahit, biar pikiran mu segar lagi,” ujar Lisa dengan senyum ramah dan penuh perhatian, menyadari temannya lagi-lagi melewatkan makan siang karena terlalu tertekan.
Tangan Vira sedikit gemetar saat menerima kopi dari Lisa. Kehangatannya terasa menenangkan. "Makasih, Lis... kamu memang sahabat terbaik," bisiknya, lalu menyesap kopi itu. Rasa manis karamel dan asam kopi yang segar membuatnya sedikit lebih tenang, meski jantungnya masih berdebar.
Lisa menarik benang emas dari undangan pernikahan di mejanya, lalu menatap nama mempelai yang berkilauan. "Hah..." Ia menghela napas sedih, kemudian merobek kartu itu dengan kasar. "Pecundang!" gerutunya.
Lisa menepuk bahu Vira. "Lupakan dia, Vir. Masih banyak pria lain yang lebih baik. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik." Lisa tahu Vira sangat mencintai Alby, dan semua pengorbanannya berakhir sia-sia.
Vira meletakkan kopi, lalu mendekat pada Lisa dan menyandarkan kepalanya. "Aku nggak yakin bisa nemuin yang kayak dia lagi, Lis. Hatiku udah buat dia semua."
Lisa mengusap punggung Vira. "Nanti malam kita ke klub, ya? Cari cowok lain yang lebih oke. Mau?"
Brak!
Sebuah tumpukan salinan pekerjaan diletakkan secara kasar di atas meja Lisa, membuat bunyi keras yang mengguncang. Jantung Lisa hampir melompat karena kejutan.
“Ini tempat kerja!” gertak William tiba-tiba. Suaranya menggelegar, membelah riuh rendah kantor yang tadinya hanya diisi deru printer di sudut ruangan. Semua mata tertuju pada William, lalu beralih ke Vira—menunggu. “Vira, mulai malam ini, kamu lembur setiap hari!”
Bersambung…
tapi di cintai sama bos gaskeun lah 😍