NovelToon NovelToon
Jangan Salahkan Aku, Ibu

Jangan Salahkan Aku, Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Poligami / Bullying dan Balas Dendam / Hamil di luar nikah / Cintapertama / Mengubah Takdir
Popularitas:300
Nilai: 5
Nama Author: Widhi Labonee

kisah nyata seorang anak baik hati yang dipaksa menjalani hidup diluar keinginannya, hingga merubah nya menjadi anak yang introvert dengan beribu luka hati bahkan dendam yang hanya bisa dia simpan dan rasakan sendirian...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widhi Labonee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku Nggak Mau Pulang

Gadis kecil itu membuka perlahan matanya, kemudian memandang sekeliling. Dia cukup kaget mengapa banyak orang yang semuanya memandang dirinya.

“Aku dimana…? Apakah ini sudah di surga? Mana Bapakku…?” tanya nya lemah.

Semua orang yang ada disitu tercengang mendengar pertanyaan anak kecil itu.

“Kamu tidak di surga Nak, ini masih di dunia kok. Kamu berada di rumah Pak Tarmo, di desa Kambingan. Siapa namamu? Rumahmu dimana Nak?” tanya seorang ibu yang sepertinya seorang pengajar itu.

“Nama saya Tiwi Bu, saya..saya rumah saya… saya tidak mau pulang Bu, saya mau mencari Bapak,” jawab Tiwi lirih.

“Bapakmu tinggal dimana Nak?” tanya istri pak Tarmo yang duduk disamping anak itu.

“Bapakku ada di Surga Bu.. aku mau ikut Bapak.. hiks..hiks..hiks..” tangis Tiwi pecah, bu Tarmo pun meraihnya kedalam pelukan.

Semua yang melihat anak itu menangis pilu menjadi trenyuh. Sepertinya anak ini lari dari rumah, dan berusaha mencari sang Bapak yang sudah meninggal dunia.

“Ya Allah Nak…kasihan kamu…” gumam para orangtua yang ada disitu.

“Memangnya makam Bapakmu di daerah sini ya Nak?” tanya seseorang.

Tiwi menggelengkan kepalanya, kemudian dia menjawab pelan,

“Bapakku dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, aku mau kesana, aku mau tidur disana saja, aku nggak mau pulang, aku nggak mau dimarahi dan dipukuli lagi, aku capek… hiks..hiks..” kembali anak kecil itu terisak-isak. 

“Sudah, biarkan Tiwi istirahat disini dulu, sepertinya dia lapar dan haus, juga sakit badannya. Itu benjolan di kepalanya sebesar telur ayam itu pasti sakit, biar di bersihkan dulu badannya, terus makan. Saya akan ajak bu Bidan Dwi kesini memeriksanya nanti, takutnya ada yang luka lagi di tubuhnya karena jatuh dari ketinggian begitu.” Ujar Bu Sri yang bekerja sebagai Guru SD itu.

Semua pun bubar dan pulang kerumah masing-masing dengan membawa cerita dan pertanyaan tentang anak kecil yang katanya Yatim itu. 

Saturi sudah numpang mandi tadi pas masih banyak orang. Sekarang dia sudah duduk di teras bersama pak Tarmo ditemani segelas kopi buatan bu Tarmo.

Sementara Tiwi diajak mandi oleh bu Tarmo dan di pakaikan pakaian yang Tiwi bawa dari rumah. Kemudian anak itu duduk diatas kasur bersandar ke dinding yang belum diperbaharui cat nya itu. Bu Tarmo membawa sepiring nasi dengan lauk Tempe goreng dan oseng sayur serta kerupuk yang dia serahkan ke Tiwi untuk memegangnya sendiri agar gampang buat menggigitnya. Segelas Teh hangat dia letakkan di nakas di dekat Tiwi duduk.

“Ayo Ibu suapi, makan yang banyak ya, biar kamu cepat sembuh dan tidak lemas lagi,” ujar bu Tarmo pada Tiwi.

Tiwi pun mengangguk dan membuka mulutnya. Dia adalah anak yang tidak menolak makanan apapun. Jadi meskipun lauknya cukup sederhana begitu, dia tetap lahap makan. Bu Tarmo sampai terenyuh melihat anak yang kurus badannya ini seperti sedang kelaparan. Setelah selesai menyuapi, bu Tarmo pun ke belakang untuk mencuci piring bekas Tiwi makan.

Tiwi duduk diam, matanya berkeliling melihat rumah yang sangat sederhana itu, tapi ada kehangatan yang dia dapatkan disana. Tidak seperti di rumahnya sekarang yang jauh berubah. Yang ada hanyalah pertengkaran, bentakan, terkadang pukulan yang dia dapati, juga ambisi kedua orang tuanya yang seolah gila kerja itu.

Tiba-tiba ada suara orang mengucap salam, dan melangkah masuk ke dalam rumah itu. Mendekati tempat Tiwi berada. Dilihatnya dua orang perempuan sebaya ibunya, yang satu yang sepertinya bu Guru tadi, dan yang satu lagi adalah seorang bu Bidan yang membawa tas tempat alat periksa itu.

“Hai Tiwi, sudah mandi ya, duh manisnya anak ini ya Bu?” tanya Bu Guru Sri pada Bidan Dwi.

“Iya, manis sekali, boleh bu bidan memeriksamu Nak?”tanya Bidan Dwi pada Tiwi.

Anak kecil itu mengangguk, lalu merebahkan dirinya siap untuk diperiksa.

Bu bidan itu pun mulai memeriksa tubuh Tiwi dengan seksama, tampak beberapa luka lecet di siku dan lutut anak itu, serta di kening yang terdapat benjolan yang mulai membiru itu dan beberapa luka goresan di wajahnya akibat bergesekan dengan tanah keras berpasir itu. Dirabanya kening anak itu terasa mulai panas, kuatir nanti malam akan demam tinggi, maka Bidan Dwi memberikan suntikan pencegah dan obat penurun panas serta penahan rasa nyeri pada Tiwi. Bu Tarmo yang mendampingi Tiwi pun menerima obat itu dan berjanji akan memberikannya nanti.

Setelah selesai memeriksa, ketiga ibu-ibu itu mencoba bertanya dan berbicara dari hati ke hati kepada Tiwi, mengenai penyebab anak itu nekat pergi dari rumah.

Awalnya Tiwi hanya diam membisu, tapi kemudian dengan pendekatan sebagai pendidik yang sedikit mengerti tentang psikologi anak, maka akhirnya Tiwi pun bercerita apa adanya tentang hidupnya.

Tanpa terasa ketiga ibu itu meneteskan air mata, mereka ikut merasakan kesedihan yang Tiwi alami. Tarmo dan Saturi serta pak Heri Ketua RT setempat yang ikut mendengarkan pun saling bertukar pandang dan menghela nafas panjang. Anak sekecil Tiwi harus menghadapi ujian hidup keluarga yang seberat itu.

Mereka pun menyayangkan sikap Bapak baru Tiwi yang dinilai egois dan arogan itu. Nggak seharusnya dia memperlakukan anak sekecil Tiwi dengan sekeras itu. Karena jika diamati, sebenarnya Tiwi adalah anak yang cukup penurut dan tidak banyak menuntut. 

Setelah mendengar cerita Tiwi, akhirnya orang-orang itu memutuskan untuk membiarkan Tiwi menginap malam ini dirumah pak Tarmo. Besok mereka akan mencoba bertanya dimana alamat rumah anak itu yang sebenarnya. Karena jika mereka memaksa malam ini, takutnya Tiwi malah akan lari dari rumah itu. Dan mereka tidak akan tega membiarkan anak itu sendirian diluar dalam kegelapan malam.

“Loh, siapa itu Mak?” Tanya Ali anak Pak Tarmo yang baru saja pulang dari sekolah di MA (Madrasah Aliyah) setara SMA itu.

“Oh, namanya Tiwi, dia tersesat dan ditemukan oleh Bapakmu, biar dia tidur di rumah ini dulu malam ini, besok baru diantarkan pulang,” jawab Bu Tarmo pelan kepada anak laki-lakinya itu.

Pemuda tanggung itu memandangi anak kecil yang sedang tidur memeluk boneka Monyet nya itu dengan erat. Ada rasa penasaran ingin bertanya lebih banyak, tapi dia merasa Mak nya pun tidak tahu banyak. Akhirnya dia pun memutuskan segera mandi dan makan malam, kemudian istirahat. Karena letak sekolahnya lumayan jauh dari desanya. Dan dia menempuhnya dengan bersepeda, cukup melelahkan, tapi demi masa depannya, dia tidak banyak mengeluh.

—------------

“Kamu ini bagaimana sih Ti, ini sudah malam. Dan Tiwi belum ditemukan. Bagaimana jika ada apa-apa dengan anak itu. Dia masih kecil loh Ti. Kasihan cucuku…” bu Mirah berkata dengan suara serak, dari tadi dia sudah menangis kuatir dengan Tiwi yang belum pulang sampai malam tiba begini.

Riyanti pun sebenarnya sedang kebingungan. Tapi untuk melapor ke Polisi, harus menunggu waktu satu kali dua puluh empat jam dulu baru bisa ditindaklanjuti. Tadi Ismawan sudah pergi ke kantor polisi, dan mereka sudah berjanji untuk ikut membantu mencari Tiwi. Sementara anak buah Ismawan termasuk Tris sudah ikutan sibuk mencari anak kecil berusia sembilan tahun lebih itu. Bude Sunarti dan suaminya juga sudah ikut mencari, sampai sang Paman yang ada di desa lereng gunung pun ikut heboh mencari. Anik dan anak-anaknya menemani bu Mirah yang dari tadi menangis itu, Misti pun turut datang dengan membawa bayinya yang sebaya dengan anak bayi Anik, mereka ikut kuatir karena Tiwi yang menghilang itu. Berbagai pikiran berkecamuk. Berbagai dugaan juga bermunculan. Ada yang bilang mungkin Tiwi jadi korban penculikan. Ada yang menduga mungkin Tiwi bermain terlalu jauh lalu tersesat. Ada yang mengira Tiwi sedang disembunyikan makhluk alam lain. Dan masih banyak lagi spekulasi beredar di pikiran orang banyak itu. Para tetangga pun juga ikutan heboh mendengar Tiwi hilang. Mereka juga ikutan mencari dengan meminta foto terbaru Tiwi dan menyebarkannya kepada para saudara dan kenalan siapa tau ada yang pernah melihat Tiwi.

Karena tidak kuat menahan beratnya beban pikiran, juga phisik yang memang sudah menua, maka bu Mirah pun pingsan. Dan dilarikan ke rumah sakit.

Bertambah kalut lah Riyanti. Belum reda kebingungannya mengenai Tiwi yang belum ditemukan, sang Ibu harus dirawat di rumah sakit.

“Sebenarnya apa yang kalian lakukan pada Tiwi, Ti?” tanya bude Sunarti pada adik perempuannya itu. 

“Aku sudah mendengar sebagian ceritanya dari Anik dan juga Ibu. Kamu sekarang berubah Ti. Ingat, bagaimana sayangnya kamu pada anak itu. Seolah dia terlahir dari rahimmu sendiri. Kau selalu perhatian padanya, tidak pernah kasar padanya. Mengapa sekarang malah kau perlakukan dengan sekeras itu Ti? Tiwi itu cuma anak kecil yang butuh perhatian orangtuanya Ti, nggak lebih.” Imbuh Bude Narti.

Riyanti hanya diam, ada rasa sesal dalam hatinya mengingat sikapnya akhir-akhir ini pada anaknya yang memang cenderung keras dan berubah itu. Semua itu karena dia pun mengalami tekanan mental akibat perubahan yang harus dia jalani setelah memutuskan  menikah dengan Ismawan. Rasa bersalahnya pada almarhum Raka yang meninggal karena sakit jantung sepulang dari rumahnya lalu itu masih begitu menghantui pikirannya. Belum lagi dia harus menghadapi teror dari istri tua Ismawan yang selalu bermain playing victim dihadapan semua keluarga Ismawan, yang membuat dirinya dibenci dalam diam oleh mertua dan para saudara iparnya di Ponorogo sana. Belum lagi ternyata kerja kerasnya membantu Ismawan bekerja dengan menambahi modal kerja menggunakan uang tabungan masa depan Tiwi dari almarhum suaminya yang sangat dicintai Tiwi itu hanyalah untuk menutupi tagihan hutang yang segunung yang ditanggung Ismawan karena membangun rumah yang sangat megah di kota M sana. 

Hal-hal itulah yang membuat Riyanti stress dan tanpa disadarinya semua itu dilampiaskan pada Tiwi, anak kecil yang semakin hari semakin kurus itu.

Riyanti pun tergugu di kursi tunggu di luar kamar rawat sang ibu.

Hatinya menyesali semuanya, dan ingin anaknya segera ditemukan. Dia berjanji untuk kembali menyayangi Tiwi seperti dulu, jika Tiwi kembali ke pelukannya.

***********

Apakah Tiwi mau pulang keesokan harinya?

Bagaimana keadaan bu Mirah?

1
Widhi Labonee
Bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!