Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebelum kembali ke kota
Minggu pagi, sebelum Fajar berangkat kembali ke kota, ia duduk sejenak di ruang tengah rumah yang pengap. Cahaya pagi yang redup masuk dari jendela kecil yang kacanya retak, menerangi ruangan dengan cahaya kuning pucat yang membuat suasana terasa semakin muram.
Ayahnya, Pak Wira, duduk di kursi roda dengan punggung bungkuk—postur seorang pria yang sudah tidak punya kekuatan lagi untuk tegak. Di pangkuannya, ada radio transistor butut—warisan dari kakek, sudah puluhan tahun usianya. Cat hijaunya mengelupas, antena bengkok ditambali lakban hitam, speaker sering mengeluarkan suara berdesis. Tapi radio itu masih hidup, masih setia menemani Pak Wira setiap hari.
Karena itulah satu-satunya jendela Pak Wira ke dunia luar.
Fajar memperhatikan ayahnya dengan hati remuk. Pak Wira terlihat semakin kurus—tulang pipinya menonjol tajam, kulitnya kusam keabu-abuan seperti tidak pernah terkena sinar matahari, lengannya yang dulu berotot kini hanya tulang terbungkus kulit kendur. Rambutnya yang dulu hitam legam kini hampir sepenuhnya putih, padahal usianya baru empat puluh delapan tahun.
Tapi yang paling menyakitkan adalah matanya. Mata yang dulu penuh semangat, yang dulu bisa menatap dengan penuh percaya diri, kini hanya menatap kosong—mata orang yang sudah menyerah, yang sudah tidak punya harapan, yang hanya menunggu hari-hari berlalu sampai kematian datang menjemput.
*Ini yang mereka lakukan pada Ayah,* pikir Fajar dengan kepalan tangan yang sangat kuat hingga kuku-kukunya menancap ke telapak tangan. *Pak Hendra yang sabotase. Perusahaan yang tidak kasih santunan. Sistem yang tidak adil. Mereka yang hancurkan Ayah. Mereka yang buat pria kuat ini jadi bayangan dirinya sendiri.*
Radio itu tiba-tiba berbunyi lebih keras—siaran berita pagi dari stasiun radio lokal.
"*Selamat pagi pendengar setia Radio Gemilang. Kita mulai dengan berita nasional...*"
Pak Wira tidak bereaksi. Wajahnya tetap datar, menatap kosong ke arah radio seolah mendengar tapi tidak benar-benar mendengar.
"*Komisi Pemberantasan Korupsi pagi ini mengumumkan pengungkapan kasus korupsi baru yang mengejutkan publik. Kasus ini melibatkan lima anggota DPR RI dari berbagai fraksi yang diduga melakukan mark-up anggaran proyek infrastruktur. Total kerugian negara diperkirakan mencapai 300 triliun rupiah—*"
Fajar tersentak. Tiga ratus triliun. Angka yang bahkan tidak bisa ia bayangkan. Sementara keluarganya berjuang untuk mendapatkan tiga ratus ribu untuk makan sebulan, ada orang-orang di luar sana yang dengan mudahnya mencuri tiga ratus triliun uang rakyat.
"*—proyek yang seharusnya digunakan untuk membangun sekolah dan rumah sakit di daerah tertinggal justru hanya ada di atas kertas. Uangnya menguap tanpa jejak. Sementara itu, kelima anggota DPR tersebut tertangkap kamera sedang berlibur di luar negeri dengan akomodasi mewah...*"
"Tiga ratus triliun," gumam Pak Wira dengan suara sangat parau—suara yang hampir tidak terdengar. "Mereka curi tiga ratus triliun. Sementara keluarga kita susah dapat tiga ratus ribu."
Fajar menatap ayahnya. Ada kepahitan yang sangat dalam di suara ayahnya. Kepahitan yang sudah terakumulasi puluhan tahun.
"*Dalam perkembangan lain,*" pembawa berita melanjutkan dengan nada yang terdengar lelah—seolah dia sendiri sudah muak dengan berita-berita seperti ini, "*sebuah video viral kembali menghebohkan publik. Video tersebut menampilkan sejumlah anggota DPR yang menari-menari dengan gembira di gedung DPR setelah voting kenaikan gaji mereka sendiri disetujui. Kenaikan mencapai 60 persen dari gaji sebelumnya, sementara UMP hanya naik 8 persen...*"
Suara musik dangdut terdengar samar dari radio—cuplikan video viral itu. Kemudian tawa-tawa riang para anggota DPR yang bergembira.
Pak Wira menutup matanya. Air matanya mengalir perlahan.
"*Video tersebut memicu gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat. Demo spontan terjadi di beberapa kota besar. Di Jakarta, ribuan mahasiswa dan buruh turun ke jalan menuntut pembatalan kenaikan gaji DPR. Di Surabaya, Bandung, Medan, Makassar—demo serupa terjadi. Namun hingga kini pemerintah belum memberikan respons yang memuaskan...*"
"Mereka joget-joget," bisik Pak Wira dengan suara bergetar marah dan sedih. "Mereka joget-joget karena senang gaji naik. Sementara rakyat kelaparan. Sementara keluarga kayak kita nggak bisa makan."
Fajar merasakan dadanya seperti diremas-remas. Marah. Sangat marah. Tapi juga sedih. Sangat sedih. Karena ia tahu—kemarahan ini tidak akan mengubah apapun. Sistem sudah rusak. Orang-orang yang berkuasa tidak peduli pada orang-orang seperti mereka.
"*Beralih ke berita lokal,*" pembawa berita melanjutkan, "*di Kabupaten Wonosari, termasuk Desa Asri—*"
Fajar dan Pak Wira sama-sama tersentak mendengar nama desa mereka disebut.
"*—warga mengeluhkan ketidakadilan dalam distribusi bantuan sosial desa. Program bantuan langsung tunai senilai lima ratus ribu rupiah per keluarga yang seharusnya ditujukan untuk warga tidak mampu justru banyak diterima oleh warga yang kondisi ekonominya jauh lebih baik. Sementara keluarga-keluarga yang benar-benar membutuhkan—termasuk keluarga dengan kepala keluarga disabilitas dan anak putus sekolah—justru tidak masuk dalam daftar penerima...*"
Fajar merasakan seluruh tubuhnya menegang.
"*Kepala Desa Asri, Bapak Suroto, membantah tuduhan nepotisme dan korupsi. Beliau menyatakan bahwa distribusi bantuan sudah sesuai prosedur dan berdasarkan data yang valid. Namun warga tetap menuntut transparansi dan audit independen...*"
Pak Wira membuka matanya. Menatap radio itu dengan tatapan kosong yang sangat mengerikan.
"Data yang valid," katanya dengan suara datar—terlalu datar, seolah sudah tidak punya emosi lagi. "Keluarga kita nggak masuk data yang valid. Ayah yang lumpuh nggak cukup 'valid'. Ibu yang kerja keras cuci baju orang nggak cukup 'valid'. Rani yang dikeluarkan sekolah nggak cukup 'valid'. Kita nggak cukup 'valid' untuk dianggap manusia yang layak dibantu."
"Ayah..." Fajar berlutut di depan kursi roda ayahnya. Tangannya gemetar memegang tangan ayahnya yang dingin seperti es.
Pak Wira menatap anaknya. Air matanya mengalir semakin deras.
"Jar," bisiknya dengan suara sangat lemah—suara orang yang sudah sangat lelah dengan hidup, "Ayah dulu percaya kalau kita kerja keras, kita jujur, kita baik, pasti hidup akan baik. Ayah percaya ada Tuhan yang adil. Ayah percaya ada keadilan di dunia ini."
Ia berhenti sejenak, menarik napas yang terdengar sangat berat.
"Tapi Ayah salah, Nak. Ayah salah besar. Nggak ada keadilan untuk orang kayak kita. Orang miskin hanya dijadiin bahan tertawaan. Dijadiin bahan hinaan. Dijadiin kambing hitam kalau ada yang salah. Sementara orang kaya yang mencuri ratusan triliun bebas berkeliaran. Orang berduit yang korupsi malah jadi pahlawan. Dan orang jujur kayak kita? Diinjak-injak sampai mati."
"Jangan bilang begitu, Yah," Fajar menangis. "Please jangan bilang begitu."
"Kenapa nggak?" Pak Wira tersenyum getir—senyum yang sangat menyakitkan untuk dilihat, senyum orang yang sudah menyerah total. "Itu kenyataan, Jar. Ayah disabotase sampai lumpuh. Nggak ada yang peduli. Rani difitnah mencuri. Nggak ada yang percaya dia. Keluarga kita yang seharusnya dapat bantuan, malah diabaikan. Sementara orang-orang yang punya rumah layak, yang punya penghasilan tetap, malah dapat bantuan. Karena mereka pinter cari muka. Pinter nyogok. Pinter main politik kampung."
Pak Wira menatap langit-langit rumah yang bocor.
"Ayah capek, Nak," bisiknya dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Ayah sangat capek. Capek hidup dalam dunia yang nggak adil begini. Capek jadi beban untuk keluarga. Capek ngeliat anak-anak Ayah menderita gara-gara Ayah nggak berguna. Kadang Ayah mikir... mungkin kalian lebih baik tanpa Ayah. Mungkin kalau Ayah mati, setidaknya kalian berkurang satu beban."
"TIDAK!" Fajar berteriak dengan suara bergetar keras. Air matanya mengalir deras. "JANGAN PERNAH BILANG BEGITU, YAH! AYAH BUKAN BEBAN! AYAH TIDAK PERNAH JADI BEBAN!"
Pak Wira menangis—menangis diam-diam, air mata mengalir tanpa suara, tubuhnya bergetar.
Fajar memeluk ayahnya erat-erat. Sangat erat. Seolah takut kalau ia lepaskan, ayahnya akan benar-benar pergi.
"Dengar aku, Yah," kata Fajar dengan suara bergetar tapi sangat tegas, "Aku tahu dunia ini kejam. Aku tahu sistem ini rusak. Aku tahu banyak ketidakadilan. Aku lihat sendiri di kota—orang kaya yang sombong, mahasiswa berduit yang merendahkan aku setiap hari, sistem yang selalu memihak yang punya uang. Aku lihat semua itu."
Ia melepas pelukannya, menatap mata ayahnya yang basah.
"Tapi aku nggak akan menyerah, Yah. Aku nggak akan biarkan mereka menang. Aku akan buktikan bahwa orang jujur kayak kita bisa naik. Aku akan sukses. Aku akan angkat derajat keluarga kita. Dan yang paling penting—aku akan buat Ayah bangga. Aku akan buat Ayah bisa angkat kepala tinggi-tinggi dan bilang: 'Itu anak saya. Anak yang lahir dari keluarga miskin yang selalu diinjak-injak, tapi berhasil melangit lebih tinggi dari mereka semua.'"
bersambung
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.