Semesta Animers yang damai, dikelola oleh lima kerajaan berdaulat yang dipimpin oleh sahabat karib, kini terancam oleh serangkaian insiden sepele di perbatasan yang memicu krisis sosial. Para pemimpin harus bertemu dalam pertemuan puncak penuh ketegangan untuk menyelesaikan konflik politik dan membuktikan apakah ikatan persahabatan mereka masih cukup kuat untuk menyelamatkan Semesta Animers dari kehancuran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Queen of Lucius : Ai Haruka Lyra
Lyra mempertahankan senyum manis palsunya, namun tatapan matanya yang tajam mengunci pandangan Indra dan Sabre. Ia tak butuh waktu lama untuk membongkar kebohongan itu.
"Kalian memang tidak pandai berbohong, ya?" sindir Lyra, nadanya kini dingin namun jenaka. Ia meletakkan cangkir anggurnya. "Evelia minta dijemput di Kota Ranox, kan? Bukan diculik."
Indra hanya bisa terkekeh, "hihihi," merasa tertangkap basah.
Lyra menjelaskan, tanpa mengubah ekspresi manisnya. "Adikmu, Riana, sudah mengirimkan pesan darurat melalui jaringan pribadi beberapa hari yang lalu, meminta aku untuk memeriksa apakah pesan itu benar atau hanya jebakan. Aku sudah tahu sebelum kalian berdua tiba."
Sabre terperangah. "Riana menghubungimu? Dan kau tahu semuanya?!"
Lyra tersenyum lebar, senyum yang kini terlihat lebih asli, namun juga menyimpan bayangan gelap. Ia berdiri dari singgasananya.
"Baiklah, aku akan ikut membantu," jawab Lyra, mengabaikan keterkejutan Sabre. Ia melangkah turun dari tahta, sosoknya yang ramping memancarkan aura bahaya yang tersembunyi. "Aku sudah bosan dengan kedamaian Lucius City. Mungkin Ranox adalah tempat yang penuh kejahatan, dan aku ingin sekali membunuh seseorang."
Mendengar pengakuan jujur Lyra yang mengerikan itu, Indra hanya bisa tertawa canggung. Ia menggaruk belakang lehernya, tidak tahu bagaimana harus bereaksi terhadap motivasi sahabatnya yang sedingin es.
Sabre memandang Lyra yang kini sudah berdiri di hadapan mereka, auranya seolah membawa janji darah. Dalam hati, ia benar-benar terheran-heran. Apakah Lyra sejahat ini? Atau dia hanya terlalu jujur tentang sifat aslinya? Yang jelas, ia tidak ingin Lyra menjadi musuhnya.
.
.
.
.
Lyra menoleh ke belakang, ke arah Penasihat setianya yang masih berdiri di dekat pintu masuk. Senyum manisnya kini sepenuhnya tertuju pada Lioniz.
"Nah, Lioniz, tolong jaga kerajaan ini selagi aku keluar, ya~" ucap Lyra dengan nada riang dan ramah, seolah ia hanya pergi untuk piknik sore.
Lioniz menghela napas panjang—satu-satunya tanda bahwa ia merasa tertekan oleh keputusan mendadak Ratu. Ia tahu betul tidak ada kekuatan di dunia ini, kecuali Bahamut, yang bisa menghentikan Lyra dari melakukan apa yang diinginkannya.
Lioniz membungkuk dalam-dalam. "Baik, Yang Mulia. Saya akan menjaga Lucius City dengan nyawa saya. Hati-hati dalam perjalanan Anda."
Lyra mengibaskan tangannya dengan santai, lalu berbalik kepada Indra dan Sabre.
"Ayo, mari kita mulai liburan yang berdarah ini," ajak Lyra, memimpin langkah keluar dari ruang tahta, meninggalkan kemewahan dan kedamaian Lucius City menuju Ranox.
Setelah persiapan yang sangat singkat—karena Lyra adalah sosok yang selalu siap tempur—trio tersebut segera meninggalkan kemegahan Istana Lucius City. Lyra, yang kini mengenakan pakaian perjalanan yang lebih fungsional namun tetap elegan, memimpin jalan.
Alih-alih langsung menuju gerbang kota untuk memulai perjalanan panjang mereka ke Ranox, Lyra malah mengarahkan mereka ke salah satu penginapan kecil yang terpencil di pinggiran Lucius City.
Sabre segera menunjukkan keheranannya. "Tunggu sebentar, Lyra. Kenapa kita ke sini? Istana kita sendiri jauh lebih aman dan nyaman. Kau punya kamar tidur seluas lapangan—"
Sebelum Sabre bisa menyelesaikan protesnya, Lyra menghentikannya. Lyra membalikkan badan dengan cepat dan meletakkan jari telunjuknya tepat di bibir Sabre.
"Sstt..." desis Lyra pelan, matanya mengunci pandangan Sabre, menghilangkan semua kesan manis yang ia tunjukkan pada Lioniz. "Aku ingin tempat yang tenang. Istana itu penuh dengan mata dan telinga Lioniz dan para pelayan. Jika kita ingin mencari Evelia tanpa menarik perhatian orang-orang yang terlalu... resmi, kita perlu tempat di mana kita bisa berbicara tanpa tirai istana yang menguping."
Indra dan Sabre saling pandang, mengangguk tanpa perlu kata-kata. Mereka mengerti. Misi ini sekarang bersifat rahasia, di luar jangkauan birokrasi kerajaan. Mereka mengikuti Lyra masuk ke dalam penginapan kecil yang sunyi itu.
.
.
...
.
Lyra meletakkan tas perjalanannya di lantai kayu penginapan dengan anggun. Ia menoleh ke arah dua sahabatnya dengan senyum yang sangat manis, namun nadanya tidak bisa dibantah.
"Baiklah, kalian berdua tidur di ruang tamu," ucapnya dengan suara lembut dan sehalus sutra, menunjuk ke arah sofa panjang dan lantai yang bisa mereka gunakan. "Dan aku tidur di kamar."
Sabre langsung merasa tidak adil. "Tunggu dulu! Kenapa begitu? Kita berdua yang menempuh perjalanan jauh, dan kau—"
Namun, sebelum perdebatan itu bisa memanas, Indra yang sudah terlalu lelah segera menghentikan. Indra meletakkan tangannya di bahu Sabre.
"Sudahlah, Sabre," kata Indra, nadanya datar dan penuh kelelahan. "Dia wanita, ya... Hormati wanita juga. Jangan mau menang sendiri hanya karena kamu laki-laki. Kita bisa tidur di mana saja."
Sabre mencoba mencari pengakuan, matanya melirik Lyra yang hanya tersenyum puas. "Tapi..! Tapi—"
Indra memotongnya lagi. Ia sudah menemukan sofa terpanjang dan segera menjatuhkan diri di sana. "Aku lelah sekali, Sabre. Aku ingin segera tidur. Jangan membuat keributan."
Sabre mendengus kesal. Ia melirik sinis ke arah Lyra, yang kini sudah berjalan menuju kamar tanpa peduli, dan bergumam dengan jengkel.
"Dasar wanita, maunya menang sendiri," keluh Sabre pelan, hanya didengar oleh dirinya sendiri dan Indra.
Indra, yang sudah berbaring miring di sofa, hanya menjawab dengan nada yang nyaris tenggelam oleh kelelahan. "Sudahlah, Sabre."
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, udara Lucius City terasa dingin dan segar. Setelah Lyra keluar dari kamar—terlihat jauh lebih segar daripada dua pria yang tidur di sofa—mereka bertiga meninggalkan penginapan kecil itu. Mereka memutuskan untuk tidak langsung mengendarai kuda, melainkan mampir ke kedai kecil yang menjual cokelat panas di sudut jalan, mencari sedikit kehangatan sebelum memulai perjalanan panjang.
"Ah, ini baru namanya memulai misi dengan benar," ujar Sabre, menyeruput cokelat panasnya dengan nikmat. Ia tampak melupakan dendam tidurnya semalam.
Tujuan mereka selanjutnya adalah Hamel City, kerajaan yang dipimpin oleh sahabat mereka, yang kini berstatus sebagai seorang Ratu.
"Aku jadi penasaran, bagaimana kabar dia sekarang," kata Indra sambil meniup uap dari cangkirnya. "Terakhir kali aku bertemu dengannya, dia masih sibuk berdebat tentang cara paling efisien untuk menata gudang senjata."
Lyra terkekeh, senyumnya kali ini terasa tulus. "Pasti Hamel City sekarang menjadi kerajaan yang sangat terorganisir. Kau tahu betapa perfeksionisnya dia."
"Aku ragu dia masih sesantai dulu," timpal Sabre, ia menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Mengingat dia adalah yang paling cepat panik di antara kita semua saat ada ujian mendadak di Akademi. Bayangkan dia menghadapi krisis perbatasan sekarang, aku yakin dia sudah bolak-balik sepuluh kali dalam sehari."
Indra dan Lyra saling bertukar senyum geli, berbagi kenangan tentang sifat sahabat mereka yang kadang terlalu overthinking.
"Yah, mari kita berharap Ratu Hamel City itu masih cukup tenang untuk menerima kunjungan tiga sahabat lamanya yang mendadak ini," ujar Indra, menghabiskan sisa cokelatnya.
Lyra meletakkan cangkirnya. "Kita harus segera berangkat. Semakin cepat kita tiba di sana, semakin cepat kita bisa menemukan petunjuk tentang Evelia, dan semakin cepat aku bisa menemukan orang yang pantas untuk kuberi pelajaran."
Dengan semangat dan tekad yang diperbarui, dipicu oleh kenangan lama dan kekhawatiran baru, mereka bertiga bangkit. Tujuan mereka selanjutnya: Hamel City.