NovelToon NovelToon
Demi Semua Yang Bernafas Season 2

Demi Semua Yang Bernafas Season 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Balas Dendam / Identitas Tersembunyi / Raja Tentara/Dewa Perang / Pulau Terpencil / Kultivasi Modern
Popularitas:12.5k
Nilai: 5
Nama Author: Babah Elfathar

Yang Suka Action Yuk Mari..

Demi Semua Yang Bernafas Season 2 Cerita berawal dari kisah masalalu Raysia dan Dendamnya Kini..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9

Bab 9 -

Rangga menatap Naldi dengan pandangan datar, sedikit sinis, lalu berkata pelan namun tegas,

“Seingatku, aku tidak pernah minta bantuanmu, jadi kenapa kamu yang lebih dulu panas?”

Nada suaranya tenang, tapi ada ketajaman yang samar—seperti bilah pisau yang diselipkan di balik senyum.

Naldi melirik Rangga sekilas, kemudian mengalihkan pandangan ke arah Yessi yang berdiri canggung di samping mereka. Ia menegakkan tubuhnya, suaranya meninggi sedikit saat berkata,

“Yessi, mulai sekarang kamu akan jadi pacarku. Aku tidak ingin kamu punya urusan apa pun dengan orang ini. Aku tahu urusan pribadimu bukan wilayahku, tapi karena aku akan jadi pacarmu di masa depan, aku minta satu hal saja—jauhi dia.”

Kalimat itu meluncur begitu saja, tapi di mata Yessi, kedengarannya seperti perintah yang tak bisa dibantah.

Ia terkejut—matanya membesar, bibirnya sempat terbuka, namun tak ada kata yang keluar. Ada penolakan yang tergambar jelas di wajahnya, tetapi ia juga tahu, hanya Naldi yang sanggup membantu ayahnya keluar dari krisis besar yang sedang melanda. Ia menelan ludah pelan, memilih diam.

Rangga sama sekali tidak menanggapi ucapan itu. Ia hanya tersenyum tipis, seolah kata-kata Naldi hanyalah angin lalu. Pandangannya beralih ke arah Mirk, rekan yang menunggu di dekat pintu.

“Kamu bisa pergi sekarang,” kata Rangga datar. “Yessi akan menemaniku bertemu dengan ayahnya.”

Mirk mengangguk cepat. Ia memahami situasi tegang di antara ketiganya, lalu berpamitan dengan singkat dan segera pergi.

“Antar aku bertemu ayahmu,” lanjut Rangga kemudian.

Yessi yang masih canggung mengangguk pelan. “Baik, ikut aku. Tapi sepertinya ayah sedang rapat sekarang.”

Rangga tidak berkata apa-apa lagi selain anggukan kecil. Sementara itu, Naldi mendengus kesal, menatapnya dengan tatapan penuh kebencian yang tak disembunyikan.

Mereka bertiga berjalan menuju lift. Suara langkah sepatu mereka menggema di koridor marmer yang dingin. Ketika pintu lift terbuka dengan bunyi ting, keempatnya—karena Naldi masih mengikuti—masuk tanpa berkata sepatah kata pun.

Udara dalam lift terasa menekan. Tak ada percakapan, hanya suara mesin lift yang bergerak perlahan naik.

Beberapa detik kemudian, pintu lift kembali terbuka di lantai tempat Suryanto berada.

Begitu mereka keluar, suasana di depan ruang rapat langsung terasa tegang. Beberapa orang bersetelan rapi baru saja meninggalkan ruangan itu. Wajah-wajah mereka terlihat suram, beberapa di antaranya menghela napas berat seolah baru saja keluar dari keputusan sulit.

Yessi membungkuk kecil, memberi salam sopan pada setiap orang yang ia lewati.

Rangga memperhatikan semuanya dengan tatapan tajam—ia peka membaca situasi, dan jelas, sesuatu sedang tidak baik di perusahaan ini.

Begitu barisan terakhir keluar, Suryanto muncul bersama seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun. Pria itu tersenyum puas, tapi senyum itu bertolak belakang dengan raut wajah Suryanto yang tegang dan jengkel.

Melihat Rangga, Suryanto tampak terkejut, lalu segera menutupi ekspresinya dengan senyum paksa.

“Eh, Rangga! Kamu datang, rupanya. Ayo, kita bicara di ruanganku saja.”

Mereka pun beranjak ke ruangan pribadi milik Suryanto.

Ruangan itu luas, penuh wibawa. Rak buku berjejer rapi memenuhi dinding, setiap lembar dokumen tertata dengan disiplin. Aroma kayu dan tinta memenuhi udara. Begitu semua duduk, Suryanto menghela napas panjang.

“Rangga, tunggu sebentar ya,” katanya sopan. “Aku masih harus berbicara dengan Pak Budilow sebentar.”

Belum sempat Rangga menjawab, Naldi yang dari tadi menahan diri akhirnya bicara dengan nada tinggi.

“Ah, pas sekali! Om Suryanto, tadi Yessi sudah janji padaku. Dia bersedia jadi pacarku. Sebenarnya, aku datang menemuimu untuk membicarakan hal itu. Menurutku, daripada berlama-lama, kenapa tidak langsung menentukan tanggal pernikahan saja? Lebih cepat lebih baik, kan? Lagi pula, kalau hubungan ini resmi, ayahku tak akan ragu menginvestasikan dana besar ke perusahaanmu!”

Ucapan itu membuat Suryanto tertegun. Ia menatap Yessi dengan pandangan terkejut.

Di sebelahnya, Budilow—ayah Naldi—menyambung dengan nada puas,

“Wah, kabar bahagia rupanya. Tapi, kalau memang benar begitu, Pak Suryanto, syarat saya tetap sama. Saya akan investasi lima puluh miliar, tapi saya ingin tiga puluh persen saham perusahaan Anda.”

Suryanto mengerutkan kening, wajahnya memerah karena menahan amarah.

“Budilow, kamu membesarkan putra yang... cukup percaya diri,” katanya getir. “Perusahaan kami nilainya jauh lebih besar dari itu. Kamu meminta tiga puluh persen saham hanya karena investasi lima puluh miliar? Itu tidak seimbang. Dan lagipula, jumlah itu tidak cukup untuk menyelamatkan perusahaan kami.”

Ia lalu menatap putrinya dengan lembut tapi penuh kecewa.

“Yessi, bukannya kamu tidak suka Naldi? Kalau semua ini hanya demi perusahaan, lebih baik jangan. Ayah lebih rela perusahaan ini bangkrut daripada melihatmu dikorbankan. Kamu jauh lebih berharga daripada semua saham dan angka.”

Budilow hanya tersenyum tipis. “Saya hanya menawarkan solusi. Kalau Pak Suryanto setuju, kita bisa tandatangani kontrak hari ini juga. Tapi tentu saja, pernikahan anak kita juga akan tercantum di dalamnya.”

Yessi menundukkan kepala dalam-dalam. Suaranya bergetar saat berkata,

“Ayah... aku bersedia menikah dengan Naldi.”

Ucapan itu mengguncang ruangan.

Budilow menatap Suryanto dengan senyum kemenangan. “Nah, bagaimana, Pak Suryanto? Keputusan ada di tangan Anda.”

Suryanto terdiam. Tatapannya bergantian antara putrinya, Budilow, dan Rangga. Ia tampak benar-benar kebingungan.

Hening sesaat. Lalu suara Rangga memecah suasana, tenang tapi penuh bobot.

“Pak Suryanto,” katanya, “bolehkah saya tahu berapa besar dana yang Bapak butuhkan untuk menyelamatkan perusahaan?”

Semua kepala menoleh padanya. Bahkan Naldi mendelik sinis, “Untuk apa kamu ikut campur? Kamu saja tidak bisa apa-apa!”

Suryanto berusaha tersenyum sopan. Ia tahu siapa Rangga sebenarnya—sosok misterius yang dikenal sebagai Night Watcher. Tapi ia tidak tahu seberapa besar kekayaan yang dimiliki pria itu.

“Setidaknya,” jawabnya perlahan, “kami butuh beberapa triliun.”

Rangga mengangguk sedikit. “Kalau modal itu terpenuhi, apakah perusahaanmu bisa bangkit lagi?”

Naldi menghentak kaki, tak sabar. “Kamu ini kenapa sih? Jangan sok penting!”

Rangga menatapnya seolah sedang memandangi anak kecil yang berteriak tanpa arti.

“Tanpa ayahmu,” katanya pelan, “kamu bukan siapa-siapa. Kamu hanya bisa bersembunyi di balik nama keluargamu dan mengancam orang lain untuk terlihat hebat. Kamu suka Yessi, wajar. Tapi kamu yakin Yessi sungguh-sungguh mau menikah denganmu?”

“Orang ini pasti sudah kehilangan akal!” sela Budilow, menunjuk Rangga.

Namun Suryanto justru menatap Rangga lekat-lekat. Ia mengenal sorot mata orang yang berbicara bukan tanpa dasar.

“Kalau aku bisa mendapatkan dana itu,” katanya akhirnya, “aku yakin bisa membangun perusahaan ini lebih besar lagi dalam dua atau tiga tahun.”

Rangga mengangguk. “Baik. Aku akan mempercayai ucapanmu.”

Ia mengeluarkan ponsel, menekan satu nomor, dan menunggu beberapa detik.

“Ya, ada apa?” suara Bilar terdengar dari seberang.

“Apa kamu kenal Suryanto Weda dari Kota Yanzim?” tanya Rangga datar.

“Tahu. Perusahaannya sedang dalam masalah besar,” jawab Bilar cepat.

“Benar. Dia butuh dana beberapa triliun. Pastikan kau kirimkan dana itu secepatnya. Kalau tidak cukup, hubungi pihak Astra Bank, sebut saja namaku.”

“Baik, seharusnya dananya ada,” sahut Bilar.

“Bagus. Urusan lainnya langsung bicarakan dengan Pak Suryanto. Aku tidak akan ikut campur lebih jauh.”

Panggilan berakhir.

“Bilar dari Expert Group,” kata Rangga tenang.

Suryanto sontak memucat lalu berseri. “Bilar… dari Expert Group?” serunya.

Budilow dan Naldi tampak kaget.

Naldi mendengus tak percaya. “Meskipun kamu kenal Bilar, tidak mungkin dia langsung mengirimkan beberapa triliun hanya karena kata-katamu!”

Rangga menatapnya malas. “Kenapa tidak? Expert Group itu milikku. Ada masalah?”

Sekali lagi ia mengulang dengan nada dingin,

“Expert Group itu milikku.”

Mata Budilow dan Naldi membulat. Wajah mereka seketika kehilangan warna.

Di Kota Yanzim, keluarga mereka termasuk golongan atas, tapi jika dibandingkan keluarga-keluarga besar dari luar kota, mereka tak ada apa-apanya.

“Mustahil…” gumam Naldi lirih.

“Percaya atau tidak, bukan urusanku,” jawab Rangga ringan.

Beberapa menit kemudian, telepon Suryanto berdering. Ia berjalan ke pojok ruangan, berbicara singkat, lalu berbalik dengan ekspresi penuh haru dan lega.

“Rangga!” serunya. “Akhirnya! Aku baru saja dikabari, besok aku akan terbang ke Lyren Haven untuk menandatangani kontrak dengan Pak Bilar. Aku tidak tahu harus berterima kasih bagaimana!”

Rangga hanya tersenyum. “Tak usah berlebihan, Om. Aku hanya menyampaikan pesan.”

Suryanto menoleh ke Budilow dan Naldi dengan wajah berubah total.

“Budilow, masalah investasimu tidak diperlukan lagi. Jadi, tolong keluar. Kita sudah selesai.”

Budilow menegang, wajahnya merah padam. Naldi menatap Yessi dengan wajah memelas.

“Perjanjian kita batal,” kata Yessi dingin.

Ayah dan anak itu akhirnya keluar tanpa banyak bicara, hanya menyimpan kemarahan yang tak bisa mereka lampiaskan. Mereka tahu, Rangga bukan orang yang bisa disentuh.

Setelah pintu tertutup, Suryanto menarik napas lega.

“Rangga, aku sungguh berterima kasih. Kau menyelamatkan semuanya.”

“Tidak apa-apa,” jawab Rangga sambil melirik Yessi sekilas.

Tatapan mereka bertemu hanya sebentar, tapi cukup untuk membuat pipi Yessi memerah.

Suryanto berdehem kecil, lalu berkata, “Yessi, kamu kembali ke ruanganmu dulu. Aku ingin bicara berdua dengan Rangga.”

“Huh, padahal aku juga ingin dengar pembicaraannya,” gumam Yessi kesal, tapi ia tetap berdiri dan pergi keluar.

Begitu pintu menutup, Suryanto kembali menatap Rangga. “Aku tak tahu tujuanmu datang ke sini sebenarnya.”

Rangga belum menjawab, tapi di sampingnya, Raysia melepas kacamata hitamnya. Ia tersenyum tipis.

“Pak Suryanto, apa Anda masih mengenal saya?”

Suryanto mengerutkan kening, menatapnya lekat-lekat. “Kamu… sepertinya aku tidak ingat.”

“Raysia Garcia,” katanya lembut.

Suryanto langsung terperanjat. “R-Raysia… Garcia?”

Raysia mengangguk. “Benar.”

“Tidak mungkin! Kamu masih terlihat muda… aku pikir kamu sudah meninggal empat puluh tahun lalu!”

Raysia tersenyum samar. “Kebetulan saja aku selamat.”

Rangga yang mendengar itu ikut tercengang. Tapi kemudian ia ingat—Raysia memang berasal dari keluarga terpandang di Yanzim empat dekade lalu.

Suryanto menarik napas panjang. “Aku masih ingat… keluarga Garcia yang dulu membantu bisnisku di masa awal. Mereka memberiku modal dua miliar saat itu. Tapi setelah itu…”

Rangga memotong, “Kami ke sini untuk menanyakan sesuatu. Tentang keluarga Stanley. Mereka menghilang dari Kota Yanzim, apa Anda tahu keberadaan mereka?”

Suryanto menghela napas dalam. “Itu memang aneh. Setelah keluarga Garcia lenyap, posisi mereka digantikan keluarga Stanley. Mereka naik begitu cepat, sampai jadi salah satu keluarga terkuat di seluruh negara Aerion. Tapi dua puluh tahun lalu… mereka semua menghilang dalam semalam.”

“Dalam semalam?” Rangga mengerutkan kening. “Maksudnya?”

“Ya. Semua anggota keluarga Stanley lenyap tanpa jejak. Bisnis mereka sempat kacau, tapi kemudian ada orang-orang yang mengambil alih, sekitar dua ratus orang, mereka bahkan menempati kediaman lama keluarga Stanley. Tidak jelas apakah dibeli, atau ada hal lain di baliknya.”

Rangga menatapnya serius. “Bisa bantu kami mencari tahu siapa yang menempati kediaman itu sekarang?”

“Tentu,” jawab Suryanto. “Aku akan gunakan jaringan perusahaan untuk melacaknya. MungkiN ada jejak yang tertinggal.”

“Terima kasih, Om,” kata Rangga. “Semakin cepat, semakin baik.”

Suryanto mengangguk. “Kalian pasti lelah. Aku sudah menyiapkan kamar di Permata Hotel untuk kalian. Dua kamar, sesuai permintaanmu.”

Rangga tersenyum tipis. “Oke. Terima kasih.”

Setelah berbincang beberapa menit lagi, mereka berpamitan. Rangga meminjam mobil Suryanto dan meminta alamat hotel. Saat mereka berjalan ke parkiran, Raysia menatap langit sore yang mulai memerah, lalu berkata pelan,

“Ayo, Rangga. Sebelum malam, kita ke kediaman lama keluarga Stanley.”

Rangga hanya mengangguk, matanya tajam menatap jauh ke depan.

Misterius.. ini Misterius.. Bagaimana kelanjutan cerita nya?

Bersambung...

1
Was pray
ya memang Rangga dan raysa yg harus menyelesaikan permasalahan yg diperbuat, jangan melibatkan siapapun
Was pray
Rangga memang amat peduli sama orang2 yg membutuhkan pertolongan dirinya tapi tidak memikirkan akibatnya
hackauth
/Pray/ mantap update terus gan
Was pray
MC miskin mantaf ..
Was pray
Rangga. dalam rangka musu bunuh diri kah?
adib
alur cerita bagus..
thumb up buat thor
adib
keren ini.. beneran bikin marathon baca
Maknov Gabut
gaskeun thor
Maknov Gabut
ceritanya seru
Maknov Gabut
mantaff
Maknov Gabut
terima kasih thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!