Bram, playboy kelas kakap dari Bekasi, hidupnya hanya tentang pesta dan menaklukkan wanita. Sampai suatu malam, mimpi aneh mengubah segalanya. Ia terbangun dalam tubuh seorang wanita! Sialnya, ia harus belajar semua hal tentang menjadi wanita, sambil mencari cara untuk kembali ke wujud semula. Kekacauan, kebingungan, dan pelajaran berharga menanti Bram dalam petualangan paling gilanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zaenal 1992, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menstruasi dan Penyelamatan: Babak Baru Kehidupan Sinta
Setelah berhasil melewati drama pemasangan pembalut pertama, Sinta (Bram) merasa sedikit lebih tenang. Namun, perutnya masih terasa sakit dan tidak nyaman. Ia memutuskan untuk membeli obat pereda nyeri menstruasi di apotek terdekat.
"Aduh, Mbak, obat buat nyeri haid yang paling ampuh apa ya?" tanya Sinta (Bram) pada apoteker. Wajahnya masih terlihat sedikit pucat.
"Ini, Mbak, ada Methergin. Biasanya bagus untuk mengurangi nyeri dan melancarkan haid," jawab apoteker sambil memberikan sebuah kotak obat.
Sinta (Bram) menerima obat tersebut dan membayarnya. Setelah itu, ia berjalan pulang dengan hati-hati. Ia masih belum terbiasa dengan rok span yang dipakainya.
Dalam perjalanan pulang, Sinta (Bram) berjalan melewati jalanan yang cukup ramai. Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada seorang anak laki-laki berusia sekitar empat tahun yang sedang mengejar bola karetnya. Bola itu memantul liar hingga ke tengah jalan raya.
Seketika, insting lama Bram sebagai pria cepat tanggap mengambil alih, melupakan sekilas rasa nyeri di perutnya. Ia melihat ke arah yang sama dengan si anak—sebuah truk kontainer berwarna hijau melaju cepat, membunyikan klaksonnya nyaring, tidak mungkin bisa mengerem mendadak.
"AWAS!!!" teriak Sinta (Bram) sekuat tenaga, suaranya melengking.
Tanpa berpikir panjang, Sinta (Bram) langsung berlari kencang. Rok span yang dipakainya terasa seperti beban, tapi adrenalinnya mengalahkan semuanya. Ia menerjang ke tengah jalan, menangkap tubuh mungil anak itu, dan berguling cepat ke tepi jalan tepat saat truk itu melintas dengan deru yang memekakkan telinga.
Jantung Sinta berdebar kencang. Napasnya terengah-engah. Ia memeluk erat anak kecil itu, yang kini menangis ketakutan.
"Kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya Sinta (Bram) dengan nada khawatir sambil memeriksa keadaan anak kecil itu.
Anak kecil itu menangis, tapi tidak mengalami luka serius. "Aku nggak apa-apa, Kak," jawabnya sambil menangis.
Tiba-tiba, seorang pria berlari menghampiri mereka dengan wajah panik. "Fahri! Ya Tuhan, kamu nggak apa-apa kan?" Pria itu langsung memeluk anak kecil itu erat.
"Saya nggak apa-apa, Paman," jawab anak kecil yang bernama Fahri itu.
Pria itu kemudian menoleh ke arah Sinta (Bram) dengan tatapan penuh rasa terima kasih. "Ya ampun, Mbak! Terima kasih banyak sudah menyelamatkan keponakan saya! Saya nggak tahu bagaimana jadinya kalau Mbak nggak ada di sini."
Sinta (Bram) tersenyum lega. "Sama-sama, Pak. Kebetulan saja saya lewat sini. Lain kali, tolong dijaga baik-baik ya keponakannya."
"Pasti, Mbak! Sekali lagi terima kasih banyak. Nama saya Rian," kata pria itu sambil mengulurkan tangannya.
"Saya Sinta," jawab Sinta (Bram) sambil menjabat tangan Rian.
Saat Rian menatap Sinta, ada keheningan sejenak. Mata Rian tampak memancarkan kekaguman yang nyata. Ia menatap lekat, senyum tipis terukir di bibirnya.
Dalam hati Rian:
"Ya Tuhan, dia nggak cuma pemberani, tapi juga cantik sekali. Matanya kelihatan tulus, dan senyumnya... manis. Sepertinya saya baru saja jatuh cinta pada pandangan pertama."
Momen itu langsung memicu sesuatu yang familiar di dalam pikiran Sinta (Bram). Sensor 'Playboy' lamanya langsung menyala. Bram sangat tahu tatapan itu—tatapan terpesona, penuh hasrat, dan sedikit gugup yang selalu ia gunakan dan terima dari wanita.
Dalam benak Sinta (Bram):
"Sial! Gue tahu tatapan ini. Tatapan cowok yang lagi naksir! Dia suka sama gue! Ya ampun, ini beneran terjadi. Gue yang nyelametin keponakannya, kok gue yang malah dilirik! Tunggu dulu... gue kan cewek sekarang! Jadi wajar aja dilirik! Tapi... tapi dia naksir Bram yang sekarang jadi Sinta! Ini karma yang aneh banget!"
Rian tersenyum manis. "sekali lagi terima kasih banyak mbak."
Sinta (Bram) tersenyum. "Sama sama. Sudah ya, Pak. Saya permisi dulu."
Sinta (Bram) segera berpamitan dan berjalan pergi secepat mungkin. Ia merasa tidak nyaman dengan tatapan Rian yang terus mengikutinya.
Sesampainya di rumah Maya, Sinta (Bram) menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Namun, ia menyembunyikan bagian tentang tatapan Rian dan perasaannya yang tidak nyaman. Ia hanya ingin menceritakan tentang aksi heroiknya menyelamatkan Fahri.
Sementara itu, di tempat lain, Rian mondar-mandir di ruang tamu rumahnya dengan gelisah. Ia menyesali satu hal: kenapa tadi ia tidak menanyakan alamat Sinta?
"Ah, bodohnya aku! Kenapa tadi aku nggak sekalian minta nomor teleponnya atau alamat rumahnya?!" gerutu Rian sambil menjambak rambutnya frustrasi. "Sinta... nama yang indah. Wajahnya juga cantik, hatinya mulia. Ya Tuhan, sepertinya aku jatuh cinta pada pandangan pertama!"
Rian benar-benar terpikat oleh Sinta. Bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena keberanian dan ketulusannya menyelamatkan Fahri. Ia merasa Sinta adalah wanita yang istimewa, wanita yang selama ini ia cari.
"Aku harus mencari Sinta! Aku harus bertemu dengannya lagi!" tekad Rian dengan semangat membara. Ia lalu mengambil jaketnya dan berlari keluar rumah. Ia berniat mencari Sinta di sekitar tempat kejadian tadi.