NovelToon NovelToon
Mahira

Mahira

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Pengganti
Popularitas:8.5k
Nilai: 5
Nama Author: santi damayanti

“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

mh 23

Mahira menarik napas panjang. Untuk pertama kalinya hari itu, udara terasa lebih lega baginya. Ia keluar dari ruang kepala sekolah dengan langkah ringan. Bu Susi langsung menuju ruangan Pak Marno untuk mengambil dana belanja perlengkapan sekolah bagi para penerima beasiswa, sementara Anggi tampak tergesa memasuki ruang BK.

“Akhirnya mereka mendapatkan haknya,” ucap Mahira dalam hati. Senyum kecil muncul di bibirnya.

Ia tidak memedulikan tatapan sinis para guru yang berpapasan dengannya di koridor. Ia sudah terlalu lelah untuk membela diri atau mencari penerimaan. Baginya, yang penting adalah masa depan anak-anak itu, bukan lagi pandangan orang lain.

Mahira melangkah menuju lapangan belakang, tempat beberapa siswa penerima beasiswa biasa berkumpul. Namun pandangannya tiba-tiba terpaku pada lapangan upacara. Di sana, Doni sedang berdiri tegap sambil menghormat bendera.

“Astaga, apa lagi yang dia lakukan sekarang,” gumam Mahira.

Ia berpapasan dengan Pak Agus. “Kenapa dia dihukum, Pak?” tanya Mahira.

“Seperti biasa. Terlambat tapi tetap ngotot ingin masuk. Akhirnya dihukum Bu Fanyi,” jawab Pak Agus sambil tertawa kecil.

Mahira menggeleng. “Baru beberapa hari sekolah di sini sudah buat ulah saja,” gumamnya dalam hati.

Dari kejauhan terdengar suara Lusi, salah satu siswi. “Tahan ya, dua menit lagi,” teriaknya sambil mengangkat botol minum ke arah Doni.

Doni membalas dengan senyum lebar. Mahira merasakan dadanya menegang. Ada siswi yang memberi perhatian pada Doni, dan itu membuatnya kesal. “Dasar playboy,” gerutunya.

Ia menatap Doni lebih lama. “Tidak mungkin dia anak ketua yayasan. Kalau iya, pasti dia diperlakukan istimewa. Ini malah dihukum seperti siswa biasa,” batinnya. Melihat semakin banyak siswi yang menggoda Doni, rasa kesalnya makin meningkat. Ia pun memutuskan pergi sebelum pikirannya makin kusut.

Mahira melangkah menuju ruang tempat anak-anak penerima beasiswa berkumpul. Mereka terlihat menunggu dengan cemas. Begitu melihat Mahira datang, wajah tegang mereka makin jelas. Mahira ikut terharu. Semangat belajar mereka tinggi, tetapi keadaan ekonomi sering kali menahan langkah mereka.

“Bagaimana, Bu?” tanya Ica dengan suara bergetar.

Mahira terdiam beberapa detik, belum sempat menjawab. Detik-detik itu membuat beberapa dari mereka menunduk dan menitikkan air mata. Mereka mungkin mengira harapan mereka sudah pupus.

“Kalau tidak bisa, kami tidak apa-apa, Bu. Kami tetap menghargai usaha Ibu,” ucap Rina dengan senyum getir.

Rijal ikut bersuara. “Kami tahu ini sulit, Bu. Kami rela. Toh kami masih bisa bekerja. Mungkin memang sampai di sini pendidikan kami.”

“Betul, Bu. Ibu jangan merasa bersalah. Ibu tetap guru terbaik kami,” sambung Ica sambil menyeka air matanya.

Mahira merasa dadanya hangat dan matanya mulai basah. “Kemari kalian semua,” ucapnya pelan.

Sepuluh siswa itu mendekat. Mahira tak mampu menahan tangis dan terisak di antara mereka.

“Bu, jangan bersedih. Kami kuat, Bu. Ibu tidak usah mengkhawatirkan kami,” kata Isa lembut.

Mahira memeluk Ica, lalu memandang mereka satu per satu. Mereka memang anak-anak yang tidak mudah menyerah. Mereka siap bekerja, siap berjuang, bahkan rela berhenti sekolah daripada menjadi beban.

“Kalian anak-anak yang hebat,” kata Mahira tulus.

“Terima kasih, Bu. Terima kasih sudah memperjuangkan kami,” ujar Rijal.

“Walaupun kami tidak sekolah di sini lagi, kami tetap akan sering ke sini untuk menemui Ibu,” kata Rina.

“Iya bu biar kami putus sekolah tapi yakin kami tidak akan putus asa” Ucap rijal

Mahira mengerutkan kening. “Siapa bilang kalian putus sekolah?”

Rina dan Rijal saling pandang. “Maksud Ibu bagaimana?”

“Nanti jam satu siang kalian harus siap. Kalian akan ikut acara penyerahan beasiswa penuh sampai lulus. Kalian juga akan mendapat perlengkapan sekolah baru,” ujar Mahira.

“Benarkah, Bu?” tanya Rina sambil menahan napas.

“Tentu saja,” jawab Mahira yakin.

Sejenak ruangan dipenuhi isak haru. Air mata tumpah lagi, tetapi kali ini karena bahagia. Mereka memeluk Mahira bergantian, bangga karena memiliki guru yang tidak pernah menyerah memperjuangkan mereka.

Mahira kemudian menuju kelas untuk mengajar. Namun langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu yang membuat dadanya kembali sesak.

Doni sedang membetulkan rambut Saras yang terurai. Saras tertawa cekikikan.

Mahira mengepalkan tangan, menahan amarah. “Dasar playboy. Buset, mempertahankan pernikahan saja tidak becus, masih tebar pesona ke sana kemari,” gumamnya kesal.

Hari itu seharusnya menjadi hari paling lega bagi Mahira. Ia berhasil menghadapi guru-guru yang meremehkannya dan memenangkan hak beasiswa untuk anak-anaknya.

Hanya satu hal yang merusak ketenangannya.

Sikap Doni yang membuat dadanya kembali terbakar

Tepat pukul satu siang, empat mobil mewah memasuki halaman sekolah. Beberapa orang berjas rapi keluar dari mobil-mobil itu. Guru-guru sudah menunggu kedatangan rombongan yayasan.

Seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun turun dari mobil utama. Ia memakai jas elegan, rambutnya tersisir rapi, sepatunya mengilap. Mahira memperhatikannya dengan saksama.

“Kenapa wajahnya mirip Doni,” ucap Mahira dalam hati.

Pemuda itu melangkah diikuti beberapa orang di belakangnya.

“Selamat datang, Pak Reza,” ujar Bu Nurhasnah sambil membungkuk hormat.

“Waktu saya tidak banyak, mari kita mulai,” jawab Reza dengan nada datar.

“Baik, Pak,” sahut Bu Nurhasnah.

Mereka memasuki aula tempat pertemuan. Di dalamnya sudah menunggu beberapa siswa penerima beasiswa. Para siswa duduk dengan tenang. Reza duduk di barisan depan bersama orang-orang yang ia bawa. Wibawa mereka terasa kuat dan dingin.

Setelah prosesi penandatanganan berkas dan penyerahan beasiswa secara simbolis untuk dokumentasi, Reza menuju ruang kepala sekolah diikuti para staf yayasan.

“Pak, kami sudah siapkan makan siang. Mungkin Bapak bisa makan di sini,” ujar Bu Nurhasnah hati-hati.

“Tidak usah. Saya masih banyak urusan,” jawab Reza tanpa ekspresi.

“Baik, Pak.”

“Lain kali, kalau ada masalah seperti ini, jangan sampai saya ditegur. Saya sudah dimarahi bos besar. Seharusnya pihak sekolah sigap mengurus data para siswa,” ucap Reza dengan nada kesal.

“Maaf, Pak, ada kesalahan teknis,” jawab Bu Nurhasnah perlahan.

“Bos saya bahkan sudah memegang datanya lebih dulu daripada saya. Saya kira sekretaris saya yang lalai, ternyata pihak sekolah yang terlambat menyetor,” ujar Reza lagi.

“Sekali lagi mohon maaf, Pak. Saya berjanji tidak akan mengulanginya.”

Reza mengangguk tipis. “Satu hal lagi. Dari pihak yayasan, kasus bunuh diri siswa akan dibuka kembali.”

Seketika wajah Bu Nurhasnah pucat. Tangannya tampak gemetar.

“Tapi bukankah kita sudah sepakat menganggap itu kecelakaan, Pak?” bisiknya.

“Itu keputusan yayasan. Beberapa hari lagi akan ada tim yang datang untuk investigasi.”

“Baik, Pak,” jawab Bu Nurhasnah lirih sambil berusaha menyembunyikan kegelisahannya.

Reza keluar dari ruang kepala sekolah. Rombongan yayasan mengikuti di belakangnya, menyusuri koridor.

Pada saat yang sama, Mahira merasa kesal melihat Doni dikerumuni beberapa siswi. Dadanya terasa panas. Ia berjalan tergesa menuju ruang guru.

“Bruk.” Mahira menabrak Reza tanpa sengaja.

Bu Nurhasnah langsung melotot.

“Maaf, Pak,” ucap Mahira tergagap.

“Ada-ada saja Mahira. Setelah ini harus kutegur dia,” pikir Bu Nurhasnah kesal.

“Non, Ibu tidak apa-apa?” tanya Reza dengan sopan, membuat Bu Nurhasnah terkejut karena sebelumnya Reza bersikap sangat dingin.

Tatapan Reza lalu bertemu dengan Doni.yang melihat dari jauh  Seketika raut wajahnya kembali dingin.

“Ayo kita pergi sebelum terjadi kebakaran,” ucap Reza kepada rombongannya

1
puspa endah
ceritanya bagus thor susah di tebak
puspa endah
teka teki banget ceritanya👍👍👍👍 lanjut thor😍😍😍
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
partini
oh seperti itu
puspa endah
lanjut thor👍👍👍
puspa endah
banyak teka tekinya thor😄😄😄. siapa lagi ya itu....
anak buah doni kah?
puspa endah
woow siapakah Leo?
NP
ga jadi mandi di doni
puspa endah
🤣🤣🤣 lucu banget mahira n doni
partini
Leo saking cintanya sama tuh Kunti Ampe segitunya nurut aja ,,dia dalangnya Leo yg eksekusi hemmmm ledhoooooooooo
partini
sehhh sadis nya, guru ga ada harganya di mata mereka wow super wow
partini
hemmm modus ini mah
partini
apa Doni bukan anak SMA,, wah banyak misteri
puspa endah
wah kereen bu kepsek👍👍👍 hempaskan bu susi, bu anggi dan pak marno😄😄😄😄
partini
Reza takut ma bosnya 😂😂
sama" cembukur teryata
puspa endah
bagus mahira👍👍👍 jangan takut klo ga salah
puspa endah
doni kayaknya lagi menyamar
partini
daster panjang di bawah lutut ga Sampai mata kaki ya Thor
tapi pakai hijab apa ga aneh
NP: q kalo dirumah jg sering kayak itu ..to pake legging lengan pendek
total 3 replies
partini
hemmmm Doni ,, kenapa aku berfikir ke sana yah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!