Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 08
Bunga berdiri di tengah ruang tamu, memeluk boneka Momon dan ransel berisi cobek pusakanya. Ia menatap pintu kamarnya yang tertutup. Pintu kebebasannya. Jaraknya hanya tiga langkah dari kamar Arga.
"Selamat datang di apartemen, Bunga," kata Arga, suaranya formal. "Fase dua dari perjanjian kita... dimulai sekarang."
Bunga menelan ludah. "Fase dua," ulangnya seperti beo. Kata-kata itu terdengar seperti istilah militer.
Arga mengangguk, lalu berjalan ke arah pintu kamar Bunga dan membukanya. "Silakan. Ini wilayah kekuasaanmu."
Dengan langkah ragu, Bunga masuk ke dalam.
Dan ia tertegun.
Kamar itu tidak besar, tapi terasa lega. Dindingnya dicat putih bersih, sama seperti ruang tamu. Ada satu ranjang ukuran single yang sudah dilapisi sprei abu-abu muda baru yang masih kaku. Di sampingnya, sebuah nakas kecil. Di seberangnya, sebuah meja belajar panjang berwarna kayu terang dan sebuah kursi putar yang terlihat nyaman. Lemari pakaian tiga pintu berdiri kokoh di sudut. Jendela besar di sisi kanan menampilkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang sama seperti di ruang tamu.
Kamar itu... kosong. Sangat kosong. Tidak ada foto, tidak ada hiasan dinding, tidak ada tumpukan buku. Bersih, rapi, fungsional, dan sangat impersonal. Ini adalah kebalikan total dari kamarnya di rumah yang penuh warna, poster, dan tumpukan barang sentimental.
"Mas... Mas Arga yang siapkan ini semua?" tanya Bunga pelan.
"Mas cuma beli perabot dasarnya," jawab Arga dari ambang pintu. "Sprei, bantal, selimut, itu semua baru. Mas nggak tahu seleramu seperti apa, jadi Mas biarkan kosong. Anggap saja kanvas kosong. Kamu bebas mau menghiasnya seperti apa."
Bunga meletakkan ransel dan boneka Momon di atas kasur. Ia menyentuh permukaan meja belajar yang halus. "Makasih, Mas."
"Sama-sama," kata Arga. "Kamar mandimu ada di dalam."
Bunga membuka pintu kecil di sudut kamar dan menemukan kamar mandi pribadi yang mungil tapi bersih, lengkap dengan shower dan air panas. Ini... ini lebih mewah dari kost mana pun yang pernah ia lihat di internet.
"Sudah, kamu istirahat dulu, beres-beres sedikit," kata Arga. "Mas mau bongkar koper di kamar sebelah. Nanti kalau lapar, kita pesan makanan."
Arga menutup pintu kamar Bunga, meninggalkannya sendirian.
Suara klik pintu yang tertutup itu terasa berbeda dengan suara kunci semalam. Kali ini, suara itu terdengar seperti sebuah deklarasi kemerdekaan.
Bunga menjatuhkan dirinya ke atas kasur. Empuk. Ia menatap langit-langit putih yang tinggi. Ia sendirian. Di kamarnya sendiri. Di kota besar. Jauh dari Ayah dan Ibu. Dan di kamar sebelah, ada suaminya yang berjanji tidak akan menjadi suaminya.
Situasinya begitu absurd hingga Bunga ingin tertawa.
Ia bangkit dan mulai membuka kopernya. Ia harus membuat tempat ini terasa seperti rumah. Ia mengeluarkan beberapa novel favoritnya dan menatanya di meja. Ia menempelkan satu poster grup musik kesukaannya di dinding dengan selotip. Ia meletakkan boneka Momon di atas bantal.
Lalu, ia mengeluarkan benda paling penting. Cobek pusaka.
Ia memandangi benda itu. Mau ditaruh di mana? Di meja belajar? Aneh. Di lantai? Nanti tersandung.
Akhirnya, ia mendapatkan ide. Ia berjalan ke dapur. Dapurnya sangat modern, dengan kompor tanam dan cooker hood. Bunga membuka salah satu lemari kabinet atas. Kosong. Dengan sedikit berjinjit, ia meletakkan cobek dan ulekannya di sana.
"Nah, aman," gumamnya puas. Setidaknya, amanat Ibunya sudah ia simpan di tempat yang semestinya.
Saat ia kembali ke kamar, ia mendengar suara ketukan di pintu. Bukan ketukan keras, tapi ketukan sopan.
"Bunga?" Suara Arga terdengar dari luar.
"Iya, Mas. Masuk aja."
Pintu terbuka. Arga berdiri di sana. "Lain kali, Mas nggak akan masuk walau kamu bilang 'masuk aja'," katanya. "Mas akan tunggu sampai kamu yang buka pintu. Aturan pertama: privasi. Kita saling ketuk dan tunggu izin."
Bunga mengerjap. "Oh. Oke, Mas."
"Kedua," Arga melirik ke dalam kamar Bunga yang sudah mulai terlihat berwarna. "Soal aturan main di apartemen ini. Biar jelas dari awal."
Bunga duduk di kursi belajarnya, merasa seperti sedang di-briefing oleh atasan. "Aturan apa aja?"
"Satu, soal makanan. Kulkas kita pakai bersama. Mas akan belanja bahan makanan dasar seperti telur, roti, susu. Kalau kamu mau masak yang aneh-aneh, kamu beli sendiri. Kita bisa masak sendiri-sendiri, atau kalau mau, kita bisa patungan belanja mingguan. Tapi intinya: tidak ada kewajiban kamu harus masak buat Mas, atau sebaliknya. Mengerti?"
"Mengerti," jawab Bunga. Adil.
"Dua, kebersihan. Kamar masing-masing tanggung jawab sendiri. Ruang tamu, dapur, dan balkon, kita bersihkan bergantian. Jadwalnya hari Sabtu. Minggu ini Mas, minggu depan kamu. Setuju?"
"Setuju." Sangat logis.
"Tiga, soal tamu. Kamu bebas bawa teman perempuan ke sini, asal kasih tahu Mas dulu. Tapi," Arga menatapnya lekat, nada bicaranya menjadi lebih serius, "Mas harap kamu mengerti. Dengan status kita yang 'tidak jelas' ini... tolong, jangan bawa teman laki-laki ke apartemen. Apalagi sampai masuk kamar."
Bunga sedikit terkejut. "Kenapa?"
"Bukan Mas nggak percaya sama kamu," jelas Arga. "Ini demi kamu sendiri. Kamu masih mahasiswi baru. Orang lain nggak tahu kita 'menikah'. Kalau ada yang lihat kamu tinggal berdua sama laki-laki, apalagi sampai bawa teman cowok lain, reputasimu yang akan hancur. Mas cuma mau melindungimu dari gosip yang nggak perlu. Paham?"
Kali ini, yang bicara bukan Arga sang 'teman kost', tapi Arga sang 'kakak pelindung'. Bunga merasa sedikit kesal karena dikekang, tapi ia tahu Arga ada benarnya.
"Iya, Mas. Paham."
"Bagus," Arga mengangguk, nadanya kembali santai. "Itu saja aturannya. Sisanya, kamu bebas. Ini bukan rumah tangga, Bunga. Anggap saja ini... co-living dengan aturan yang sangat ketat."
"Oke, co-living," ulang Bunga.
"Nah, sekarang soal yang penting," kata Arga sambil tersenyum tipis. "Makan malam. Mau pesan apa? Pizza? Nasi goreng gila? Atau mau coba sate di depan kompleks?"
Pilihan itu membuat Bunga sadar. Ia benar-benar di kota besar. "Nasi goreng gila kedengarannya... seru," katanya.
"Oke. Mas pesan lewat aplikasi. Mau yang pedas?"
"Sedang aja," jawab Bunga. Ia baru ingat ia belum terbiasa dengan level pedas anak Jakarta.
Setengah jam kemudian, dua porsi nasi goreng gila terbungkus kertas cokelat sudah terhidang di meja makan kecil di dekat dapur. Mereka makan dalam diam pada awalnya. Hanya suara sendok beradu dengan piring.
Bunga melirik ke arah Arga. Laki-laki itu makan dengan tenang, matanya sesekali melirik ke ponselnya, mengecek email pekerjaan. Bunga tiba-tiba merasa... canggung. Di rumah, meja makan selalu ramai dengan celotehan Ibu dan Ayah. Di sini, hanya ada suara AC dan denting sendok.
"Mas..." panggil Bunga untuk memecah keheningan.
"Hmm?" Arga mendongak dari ponselnya.
"Besok... orientasi kampus Bunga mulainya jam tujuh. Dari sini ke sana jauh, ya?"
Arga meletakkan ponselnya. "Nggak terlalu. Naik KRL cuma tiga stasiun. Dari stasiun ke kampus jalan kaki lima menit. Besok hari pertama, Mas antar. Biar kamu tahu jalannya."
Mata Bunga berbinar. "Beneran, Mas?"
"Iya. Tapi cuma besok. Hari kedua dan seterusnya, kamu berangkat sendiri. Kamu harus belajar mandiri."
"Siap!" kata Bunga antusias. Rasa aman kembali menyelimutinya.
Setelah makan, Bunga langsung menawarkan diri. "Biar Bunga yang cuci piring, Mas."
"Nggak usah," tolak Arga. "Ini bungkus kertas, tinggal buang. Aturan tidak tertulis nomor lima: kalau bisa jangan bikin kotor, biar nggak usah bersih-bersih."
Bunga tertawa. "Dasar pemalas."
"Bukan pemalas. Efisien," koreksi Arga.
Selesai makan, Bunga tidak langsung masuk ke kamarnya. Ia malah berjalan ke arah jendela kaca besar di ruang tamu. Pemandangan kota di malam hari begitu memukau. Lautan cahaya kelap-kelip terhampar di bawahnya.
"Bagus, ya," gumam Bunga.
Arga berjalan dan berdiri di sampingnya, menjaga jarak beberapa langkah. "Itu baru sebagian kecil."
Ia menunjuk ke satu arah. "Lihat gugusan lampu yang paling terang di sebelah sana? Itu pusat bisnis. Kantor Mas di salah satu gedung tinggi di situ."
Lalu ia menunjuk ke arah lain, sedikit lebih gelap. "Dan di arah sana," katanya, "di balik gedung-gedung itu, itu kampusmu."
Jantung Bunga berdebar. Kampusnya. Impiannya. Ada di sana. Begitu dekat.
"Dari sini nggak kelihatan, sih," lanjut Arga. "Tapi setiap pagi, kalau udaranya cerah, kamu bisa lihat atap auditoriumnya yang bentuknya seperti cangkang kura-kura."
Bunga menatap ke arah yang ditunjuk Arga dengan saksama, seakan ia bisa melihat impiannya dengan mata telanjang. Semua pengorbanannya—pernikahan ini, kebohongan ini—semuanya terasa terbayar saat ia berdiri di sini, menatap ke arah masa depannya.
"Makasih ya, Mas," kata Bunga tulus, tanpa menoleh pada Arga. "Kalau bukan karena Mas Arga... Bunga nggak akan bisa lihat ini semua."
Arga terdiam. Ia menatap Bunga dari samping. Gadis itu terlihat begitu kecil di depan jendela raksasa itu, tapi matanya memancarkan cahaya yang lebih terang dari lampu kota di bawah sana.
"Tugasmu sekarang cuma satu," kata Arga pelan. "Buktikan ke Ayah dan Ibumu, dan ke dirimu sendiri, bahwa semua ini... sepadan."
Bunga mengangguk mantap. "Pasti, Mas."
Mereka berdiri di sana selama beberapa menit lagi dalam keheningan yang nyaman, sama-sama menatap pemandangan kota. Sandiwara, perjanjian, aturan main... semua itu seakan menguap sejenak. Yang tersisa hanyalah dua orang di ketinggian lantai 21, satu orang yang telah memberikan jalan, dan satu orang lagi yang siap menapaki jalan itu.
"Masuk kamar gih," kata Arga akhirnya, memecah lamunan. "Siapkan baju buat besok. Jangan sampai telat di hari pertama."
"Iya, iya, Mas Arga bawel," ledek Bunga, kini sudah berani bercanda.
Ia berjalan menuju kamarnya. "Selamat malam, Mas."
"Malam," balas Arga.
Bunga masuk ke kamarnya, lalu berhenti sejenak sebelum menutup pintu. Ia melirik ke seberang. Arga juga sedang masuk ke kamarnya. Pintu mereka saling berhadapan.
Bunga menutup pintunya. Cklek.
Beberapa detik kemudian, ia mendengar suara pintu kamar Arga juga ditutup. Cklek.
Ia sendirian di dalam kamarnya. Tapi ia tahu, di seberang sana, hanya berjarak beberapa langkah, ada 'kakak pelindung'-nya. Wali resminya. Suami pura-puranya.
Bunga tersenyum. Ia tidak lagi merasa takut. Ia merasa... siap.
Fase dua telah resmi dimulai.