NovelToon NovelToon
Fragmen Yang Tertinggal

Fragmen Yang Tertinggal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Romansa / Enemy to Lovers / Cintapertama / Cinta Murni / Berbaikan
Popularitas:27
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

​Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
​Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10: Warna Pengkhianatan

​Ruang rapat utama Adhitama Tower terasa seperti ruang sidang pengadilan pagi itu.

​Kaluna berdiri di depan layar proyektor raksasa, pointer laser di tangannya sedikit bergetar, bukan karena gugup, melainkan karena antusiasme. Ini adalah hari penentuan. Setelah berminggu-minggu lembur, riset sejarah, dan perdebatan teknis, ia akhirnya siap mempresentasikan Desain Final Interior Hotel Menteng.

​Di hadapannya, duduk para direksi, manajer proyek, dan tentu saja, Bara Adhitama di kursi ujung meja.

​"Seperti yang Bapak Ibu lihat," Kaluna menekan tombol, menampilkan rendering 3D yang memukau dari Grand Ballroom. "Konsep utama kita adalah 'Nostalgic Elegance'. Saya menggunakan palet warna sage green, krem, dan sentuhan kayu jati natural. Ini mengembalikan jiwa tahun 1950-an hotel ini, tapi dengan sentuhan modern yang bersih."

​Para direksi mengangguk-angguk kagum. Gumaman setuju terdengar.

​"Pencahayaannya menggunakan warm white 3000K untuk menciptakan suasana intim namun megah. Dan untuk tirai jendela tinggi, saya memilih beludru warna champagne yang..."

​"Cukup," suara Bara memotong presentasi.

​Ruangan seketika hening.

​Kaluna menurunkan tangannya. Ia menatap Bara. Pria itu tidak melihat ke layar. Ia menatap meja, tangannya memutar-mutar pulpen mahal dengan gerakan gelisah yang jarang ia tunjukkan.

​"Ada yang kurang jelas, Pak Bara?" tanya Kaluna sopan.

​Bara mengangkat wajahnya. Wajah itu kaku, matanya gelap dan tidak terbaca. Ada lingkaran hitam samar di bawah matanya, tanda ia kurang tidur.

​"Desain ini," Bara menunjuk layar dengan dagunya. "Ditolak."

​Keheningan berubah menjadi kebingungan massal. Manajer proyek saling pandang. Rian menganga.

​"Maaf?" Kaluna mengerjap, yakin telinganya salah dengar. "Ditolak? Bagian mananya, Pak? Kalau soal anggaran, ini sudah masuk di budget efisiensi yang Bapak minta kemarin. Kalau soal durabilitas material—"

​"Konsepnya," potong Bara dingin. "Terlalu pucat. Terlalu kuno. Tidak menjual."

​Darah Kaluna mendesir naik ke kepala. "Kuno? Pak, ini bangunan cagar budaya. Konsepnya memang heritage. Kita menjual sejarah, bukan kemewahan norak."

​Bara membuka sebuah map kulit berwarna merah yang ada di depannya—map yang Kaluna kenali sebagai map milik Siska Maheswari yang tertinggal kemarin.

​"Pasar berubah, Kaluna," ujar Bara, suaranya terdengar seperti sedang membaca skrip yang ia benci. "Saya mau konsepnya diubah. Ganti palet warnanya."

​"Jadi warna apa?" tanya Kaluna tajam, firasat buruk mulai merayap di tengkuknya.

​Bara menarik napas panjang, seolah membutuhkan oksigen ekstra untuk mengucapkan kalimat berikutnya.

​"Emas dan Merah Marun (Gold and Maroon)."

​Hening. Benar-benar hening.

​Salah satu direktur senior berdeham canggung. "Maaf, Pak Bara. Emas dan Marun? Untuk bangunan kolonial Belanda? Itu... agak bertabrakan gayanya, Pak. Kesannya nanti malah seperti lobi hotel bintang tiga di jalur pantura."

​Kaluna ingin tertawa, tapi ia terlalu marah.

​"Bapak dengar sendiri," kata Kaluna, menatap Bara menantang. "Itu bukan keputusan desain, Pak. Itu vandalisme estetika. Warna emas dan marun akan membuat ruangan terlihat sempit, gelap, dan norak. Itu melawan semua prinsip restorasi yang kita sepakati di awal kontrak."

​Bara membanting map merah itu ke meja. BRAK!

​Semua orang tersentak.

​"Saya tidak membayar kalian untuk mendebat selera saya!" bentak Bara, suaranya menggelegar memenuhi ruangan. "Saya CEO di sini! Kalau saya bilang ganti emas dan marun, kalian ganti! Kalian pikir uang untuk membangun hotel ini jatuh dari langit? Investor mau kemewahan yang terlihat. Mereka mau warna yang melambangkan kekayaan dan hoki. Sage green dan kayu jati itu warna kemiskinan di mata mereka!"

​Napas Bara memburu. Matanya menyalang, menatap keliling ruangan, menantang siapa saja untuk membantah.

​Kaluna terpaku. Kata-kata itu... "Investor".

​Siska.

​Semuanya menjadi jelas sekarang. Siska menginginkan warna emas dan marun untuk pesta pertunangannya nanti. Dan Bara—pria yang dulu sangat idealis, pria yang dulu menghina desain ruko ayahnya karena tidak punya "jiwa"—sekarang melacurkan idealismenya demi uang Siska Maheswari.

​Rasa kecewa yang menghantam dada Kaluna jauh lebih sakit daripada saat ia diputuskan sepihak. Ini bukan soal cinta. Ini soal integritas. Bara yang ia kenal sudah benar-benar mati.

​"Rapat bubar," perintah Bara kasar. "Kecuali Kaluna. Sisanya keluar."

​Para direksi dan staf bergegas membereskan barang mereka, tidak ingin berada di jalur tembak sang CEO yang sedang mengamuk. Dalam hitungan menit, ruangan itu kosong.

​Hanya menyisakan Bara dan Kaluna yang berdiri berhadapan di ujung meja panjang.

​Bara merosot kembali ke kursinya, memijat pangkal hidungnya. Bahunya turun, posturnya yang tegap tiba-tiba terlihat rapuh.

​"Jangan membantah di depan staf, Kaluna," gumam Bara lelah.

​Kaluna berjalan mendekat, langkahnya pelan namun penuh kemarahan yang dingin.

​"Bapak menghina profesi saya," desis Kaluna. "Bapak tahu desain emas dan marun itu sampah. Bapak tahu itu akan merusak reputasi hotel ini. Kenapa, Bara? Kenapa kamu lakukan ini?"

​Bara diam. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya.

​Ia tidak bisa bilang bahwa tadi malam, Siska mengancam akan menarik dana investasi 500 Miliar Rupiah jika desain ballroom tidak sesuai keinginannya. Jika dana itu ditarik, proyek akan mangkrak. Adhitama Group akan bangkrut. Dan yang lebih parah, Kaluna akan kehilangan pekerjaannya dan reputasinya akan hancur karena memegang proyek gagal.

​Bara memilih menjadi penjahat di mata Kaluna daripada membiarkan Kaluna tahu bahwa proyek ini sedang di ujung tanduk.

​"Karena saya butuh uangnya," jawab Bara datar, memilih kebohongan yang paling menyakitkan. "Siska dan keluarganya menyuntikkan dana besar. Menuruti selera norak mereka adalah harga kecil yang harus dibayar."

​"Jadi kamu menjual jiwamu?" tanya Kaluna lirih, matanya berkaca-kaca. "Kamu menjual idealisme yang dulu selalu kamu banggakan? Dulu kamu bilang ke aku, 'Jadilah arsitek yang punya prinsip, Lun. Jangan mau didikte uang'. Kamu ingat itu?"

​"Itu kata-kata mahasiswa miskin yang naif, Kaluna!" Bara berdiri, menatap Kaluna tajam. "Di dunia nyata, idealisme tidak bisa bayar gaji karyawan! Idealisme tidak bisa menyelamatkan perusahaan warisan Kakek!"

​"Tapi idealisme itu yang membuat aku mencintaimu dulu!" teriak Kaluna, air matanya tumpah.

​Bara terhenyak. Kalimat itu menggantung di udara.

​Dulu.

​"Tapi sekarang sudah tidak, kan?" tanya Bara pelan, suaranya getir. "Sekarang kamu cuma melihat CEO serakah yang tidak punya selera."

​Kaluna menghapus air matanya kasar. Ia merasa bodoh. Ia merasa dikhianati. Selama beberapa hari terakhir, ia sempat berpikir Bara masih peduli. Ia sempat berpikir mereka bisa memperbaiki hubungan ini. Tapi ternyata, di mata Bara, uang dan kekuasaan Siska jauh lebih penting daripada pendapat profesional Kaluna.

​"Baik, Pak Bara," ucap Kaluna, kembali ke mode formal dengan suara gemetar. "Bapak kliennya. Bapak rajanya. Saya akan ubah desainnya jadi Emas dan Marun. Saya akan tempelkan semua ornamen norak yang calon istri Bapak inginkan."

​Kaluna mengambil flashdisk dari laptop presentasi dengan gerakan kasar.

​"Tapi jangan harap saya akan mencantumkan nama saya di portofolio desain sampah itu," lanjut Kaluna dingin. "Mulai hari ini, saya bekerja cuma untuk menyelesaikan kontrak. Rasa hormat saya ke Bapak sudah habis."

​Kaluna berbalik dan berjalan cepat menuju pintu.

​"Kaluna!" panggil Bara. Ada nada putus asa dalam suaranya.

​Kaluna berhenti di ambang pintu, tapi tidak menoleh.

​"Apa lagi, Pak? Mau minta saya pasang patung emas wajah Bapak di lobi juga?" sindir Kaluna tajam.

​Bara mengepalkan tangannya di atas meja. Ingin sekali ia berlari, memeluk wanita itu, dan menjelaskan semuanya. Menjelaskan bahwa dia melakukan ini untuk melindungi gaji Kaluna, melindungi kelangsungan proyek tempat Kaluna berkarya.

​Tapi itu hanya akan membuat Kaluna merasa berhutang budi. Atau lebih parah, membuat Kaluna nekat melawan Siska yang berbahaya.

​"Revisi harus selesai besok pagi," ucap Bara akhirnya, kembali dingin.

​"Siap, Pak," jawab Kaluna penuh kebencian.

​Pintu tertutup.

​Begitu Kaluna hilang dari pandangan, Bara mengambil gelas kristal berisi air di mejanya dan melemparnya sekuat tenaga ke dinding.

​PRANG!

​Pecahan kaca berhamburan.

​Bara menjatuhkan dirinya ke kursi, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Dadanya sesak. Ia baru saja menghancurkan satu-satunya jembatan yang menghubungkannya kembali dengan Kaluna.

​"Maafkan aku, Lun..." bisiknya pada ruangan kosong yang dingin. "Maafkan aku."

​Ponsel Bara bergetar di atas meja. Pesan dari Siska.

​Siska:

Gimana, Sayang? Arsitek kesayanganmu sudah setuju ganti desain? Good boy. Jangan lupa nanti malam fitting baju tunangan.

​Bara menatap layar ponsel itu dengan tatapan jijik. Ia merasa seperti boneka tali. Tapi demi Tuhan, ia akan memotong tali itu suatu hari nanti. Dan saat hari itu tiba, ia akan memastikan tidak ada lagi yang bisa menyakiti Kaluna.

​Termasuk dirinya sendiri.

BERSAMBUNG...

Terima kasih telah membaca💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!