"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30: CHEMISTRY YANG TUMBUH
Dua bulan kemudian.
Chelsea duduk di sofa ruang tamu, laptop di pangkuannya—seharusnya mengecek laporan keuangan perusahaan.
Tapi matanya terus melirik ke arah Lucian yang berdiri di dekat jendela, mengecek keamanan seperti biasa.
Kapan aku mulai memperhatikannya seperti ini?
Chelsea mengamati—cara Lucian berdiri, tegak tapi ada beban di bahunya. Cara matanya mengamati halaman dengan waspada—mata yang selalu mengawasi, selalu melindungi.
Tapi kadang—kadang—mata itu terlihat... kosong.
Seperti sekarang.
Lucian menatap keluar jendela—tapi tatapannya kosong, seperti melihat sesuatu yang jauh. Sesuatu yang menyakitkan.
Apa yang kamu lihat, Lucian? Apa yang membuatmu terlihat sangat sedih?
Lalu Lucian tersenyum—senyum kecil yang entah kenapa terlihat... patah hati.
Kenapa senyummu selalu seperti itu? Seperti orang yang sedang mengingat sesuatu yang menyakitkan tapi juga indah?
Chelsea teringat—kemarin, saat mereka di panti asuhan, Lucian bermain dengan anak-anak. Ia tersenyum. Tapi di balik senyum itu—ada kesedihan.
Seperti orang yang mencoba bahagia tapi tidak bisa sepenuhnya melupakan masa lalunya.
Apa yang terjadi padamu, Lucian? Siapa yang menyakitimu?
"Chelsea?"
Ia tersentak—Lucian menatapnya, kepala sedikit miring.
"Kamu melamun? Aku panggil tiga kali."
"Oh—maaf. Aku hanya... memikirkan laporan."
Bohong.
Lucian tidak terlihat percaya—tapi tidak bertanya lebih jauh.
"Aku mau ke dapur. Kamu mau minum sesuatu?"
"Teh hangat. Terima kasih."
Lucian berjalan ke dapur.
Chelsea menatap punggungnya—cara ia berjalan, tegap tapi ada kewaspadaan di setiap langkahnya.
Seperti tentara. Atau... atau pembunuh.
Pikiran itu datang tiba-tiba—membuat Chelsea terkejut sendiri.
Kenapa aku berpikir begitu? Lucian bukan pembunuh. Dia... dia orang baik.
Tapi ada sesuatu di cara Lucian bergerak—terlalu efisien, terlalu presisi, seperti setiap gerakan sudah dihitung.
Seperti orang yang terlatih... membunuh.
Chelsea menggelengkan kepala.
Jangan berpikir aneh. Mungkin dia dulu tentara. Atau pelatih bela diri. Atau—
"Ini tehnya."
Lucian kembali, meletakkan cangkir di meja.
"Terima kasih."
Mereka duduk di sana—Chelsea di sofa, Lucian di kursi single seberang, jarak yang aman.
Tapi Chelsea memperhatikan—cara Lucian memegang cangkirnya, cara jari-jarinya yang panjang melingkari cangkir, cara ia meniup tehnya sebelum minum.
Kenapa aku memperhatikan hal sekecil itu?
Kenapa aku mulai menghitung berapa kali ia berkedip? Bagaimana sudut bibirnya sedikit naik saat ia minum sesuatu yang hangat?
Chelsea menyadari—ia mengingat semua hal kecil tentang Lucian.
Cara ia bangun pagi pukul lima, tanpa alarm.
Cara ia selalu mengecek pintu dan jendela sebelum tidur—dua kali, tidak pernah sekali.
Cara ia tersenyum ketika melihat anak-anak di panti asuhan—senyum yang tulus tapi juga sedih.
Cara ia menatap makanan sebelum makan—seperti bersyukur, seperti pernah kelaparan lama.
Cara ia tidak pernah meninggalkan makanan di piring—selalu habis, bahkan kalau sudah kenyang.
Dia pernah kelaparan. Aku yakin dia pernah hidup di jalanan. Dia pernah tidak punya apa-apa.
Chelsea merasakan dadanya sesak—ingin tahu lebih banyak, ingin memahami lebih dalam.
Siapa kamu sebenarnya, Lucian?
"Kamu menatapku lagi."
Chelsea tersentak—wajahnya memanas, tertangkap basah.
"Maaf, aku hanya... hanya memikirkan sesuatu."
"Tentang apa?"
Tentangmu. Tentang kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkanmu.
"Tentang... pekerjaan."
Bohong lagi.
Lucian menatapnya lama—seperti tahu Chelsea berbohong, tapi tidak bilang apa-apa.
Hanya tersenyum kecil—senyum sedih itu lagi.
Dan Chelsea menyadari—ia ingin menghapus kesedihan itu.
Ia ingin membuat Lucian tersenyum—tersenyum tulus, tanpa kesedihan, tanpa beban.
Aku jatuh cinta padanya.
Pikiran itu datang seperti petir—menghantam, membuat napasnya tercekat.
Tidak. Aku tidak bisa jatuh cinta. Aku tidak—
Tapi detak jantungnya tidak bisa dibohongi.
Cara dadanya menghangat setiap Lucian tersenyum.
Cara ia selalu menunggu Lucian bangun pagi supaya bisa sarapan bersama.
Cara ia selalu mencari-cari alasan untuk mengajak Lucian bicara.
Aku jatuh cinta pada bodyguard-ku.
Aku jatuh cinta pada pria yang bahkan tidak aku tahu masa lalunya.
Aku jatuh cinta pada pria yang selalu tersenyum sedih.
Chelsea menutup laptopnya—tiba-tiba, tanpa alasan jelas.
"Aku... aku mau istirahat. Kepalaku sedikit pusing."
"Kamu sakit lagi?" Lucian langsung berdiri—khawatir. "Aku ambilkan obat—"
"Tidak, tidak. Aku baik-baik saja. Hanya... butuh tidur."
Chelsea berdiri cepat—terlalu cepat, kakinya tersandung karpet—
Lucian menangkapnya—tangan melingkari pinggangnya, menahan tubuhnya.
Mereka terdiam.
Terlalu dekat.
Wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.
Chelsea merasakan napas Lucian di wajahnya—hangat, sedikit cepat.
Mata mereka bertemu—cokelat bertemu hitam.
Dan di mata Lucian—Chelsea melihat sesuatu.
Sesuatu yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Dia... dia juga merasakannya?
Tapi Lucian melepaskan pelukannya—cepat, seperti terbakar.
"Maaf. Aku... aku tidak bermaksud—"
"Tidak apa-apa." Suara Chelsea bergetar. "Terima kasih sudah menangkapku."
Mereka saling menatap—canggung, tidak tahu harus bilang apa.
Lalu Chelsea berlari ke kamarnya—jantung berdetak kencang, wajah panas.
Apa yang baru terjadi?
Kenapa jantungku berdetak sekencang ini?
Kenapa aku ingin dia tidak melepaskan pelukannya?
Chelsea menutup pintu kamar, bersandar di sana—napas tersenggal.
Aku benar-benar jatuh cinta padanya.
Dan aku rasa... dia juga merasakan sesuatu.
Di ruang tamu.
Lucian berdiri membeku—masih merasakan kehangatan tubuh Chelsea di tangannya.
Sial. Sial. Sial.
Kenapa aku memeluknya? Kenapa aku tidak langsung lepas?
Kenapa aku menatap matanya terlalu lama?
Ia menyentuh dadanya—jantungnya masih berdetak kencang.
Aku tidak bisa terus begini. Aku harus menahan perasaan ini. Aku harus—
Tapi ia masih merasakan tubuh Chelsea di tangannya.
Hangat. Lembut. Sempurna.
Aku dalam masalah besar.
Lucian duduk—kepala di tangannya, mencoba menenangkan diri.
Tapi yang ia lihat di balik kelopak matanya adalah wajah Chelsea.
Mata Chelsea yang menatapnya tadi—ada sesuatu di sana.
Sesuatu yang membuat harapannya bangkit.
Tidak. Jangan berharap. Dia tidak mungkin—
Tapi bagaimana ia tidak berharap ketika matanya menatapnya seperti itu?
Ketika tubuhnya tidak menjauh saat ia memeluknya?
Ketika wajahnya merona—bukan karena marah, tapi karena... apa?
Apa dia juga...?
Tidak. Mustahil. Aku hanya bodyguard-nya. Aku—
Tapi hatinya berbisik hal lain.
Dan malam itu—baik Chelsea maupun Lucian—tidak bisa tidur.
Keduanya menatang langit-langit kamar masing-masing.
Memikirkan satu sama lain.
Memikirkan apa yang baru terjadi.
Memikirkan apa artinya.
Dan keduanya takut—takut dengan apa yang mereka rasakan.
Tapi juga... tidak bisa menghentikannya.
Tiga bulan kemudian.
Enam bulan sejak Lucian mulai bekerja untuk Chelsea.
Hubungan mereka semakin dekat—terlalu dekat untuk sekadar teman.
Mereka sarapan bersama setiap pagi.
Makan malam bersama setiap malam.
Menonton film bersama di ruang TV.
Pergi ke panti asuhan bersama setiap Jumat.
Tertawa bersama. Diam bersama. Ada bersama.
Seperti pasangan—tapi bukan.
Chelsea mulai memperhatikan lebih banyak hal:
Cara Lucian selalu membiarkan Chelsea jalan duluan—melindunginya dari belakang.
Cara Lucian selalu mengingat makanan favorit Chelsea—tanpa ditanya, tanpa dicatat.
Cara Lucian selalu tahu ketika Chelsea sedih—bahkan ketika Chelsea berpura-pura baik-baik saja.
Cara Lucian menatapnya ketika ia tidak sadar—tatapan lembut, tatapan penuh... cinta?
Dan Lucian—Lucian juga memperhatikan:
Cara Chelsea selalu menunggu sampai Lucian selesai makan baru ia makan—tidak mau makan sendirian.
Cara Chelsea selalu menyiapkan kopi Lucian pagi-pagi—tanpa diminta, tanpa disuruh.
Cara Chelsea selalu tersenyum setiap pagi melihat Lucian—senyum yang membuat harinya lebih baik.
Cara Chelsea menatapnya belakangan ini—tatapan yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Keduanya tahu.
Ada sesuatu di antara mereka.
Sesuatu yang tidak bisa diabaikan lagi.
Sesuatu yang harus dibicarakan.
Cepat atau lambat.