Bukan menantu pilihan, bukan pula istri kesayangan. Tapi apa adil untuk ku yang dinikahi bukan untuk di cintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mahlina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
"Aku tidak tau, anak buah bos besar belum mengembalikan Wati pada ku.”
Ciiiiiit.
Ida menginjak pedal rem, menimbulkan decitan pada ban yang menyentuh aspal.
“Astaga sayang! Kamu mau membuat ku mati?” Hasan meninggikan suaranya.
Bukannya menjawab, Ida malah mengajukan pertanyaan, memastikan jika indra pendengarannya salah.
Ida menoleh ke arah Hasan penuh harap, “Tadi kamu bilang apa? Bos besar belum juga memulangkan Wati pada mu, sayang?”
“Iya sayang, malah tadi anak buah bos besar ke rumah. Memberikan aku berkas perjanjian.” seru Hasan terus terang dengan wajah tidak bersemangat.
“Perjanjian apa maksud kamu, sayang? Apa isinya menguntungkan mu? Atau malah isinya berisi ancaman?” cecar Ida dengan tatapan penuh selidik.
Hasan menggeleng, “Aku belum tahu pasti apa isi dari perjanjian itu. Saat aku hendak membacanya, kau sudah lebih dulu membuat polusi suara di rumah ku!”
Ida membola gak percaya, “Apa kau bilang, sayang? A- aku kau bilang membuat polusi suara? Yang benar aja.”
Hasan mengerdikkan bahunya, “Itu kenyataannya, kau jauh berbeda jika di bandingkan dengan Wati yang lebih suka ketenangan dari pada membuat kebisingan.”
Tanpa sadar Hasan mulai membandingkan Ida dengan Wati.
“Hasan!” Ida meninggikan suaranya dengan tatapan marah.
“Kau mau lanjut pada tujuan mu, atau mau cari ribut dengan ku, Ida?” Hasan melirik pada setir kemudi, karena Ida belum juga melajukan kembali kendaraannya.
Ida mulai melajukan kembali mobilnya dengan ugal ugalan.
Sesekali Ida melirik ke arah Hasan dengan tatapan jengkel, “Masalah kita belum selesai ya sayang! Aku gak terima jika kau bandingkan aku dengan Wati, jelas aku jauh lebih baik darinya. Terbukti dengan mu yang tergoda dengan ku dan berpaling darinya.”
“Dari beberapa hal, kamu memang unggul jika dibandingkan dengan Wati yang katro bin deso, pemain yang buruk saat di atas ranjang. Tapi kamu hebat saat di atas ranjang, aku puas dengan mu.” Hasan menyunggingkan senyum, mencairkan amarah Ida dengan memujinya.
Jalan yang dilalui Ida kini mulai ekstrim, di sisi kanan ada tebing tinggi, di sisi kiri ada sawah, sesekali melewati jurang yang curam.
Dring dring dring.
Dering telpon berbunyi dari ponsel Hasan.
“Siapa sayang?” tanya Ida, melihat Hasan hanya menatap layar pipihnya, tanpa berniat menjawab panggilannya.
“I- ini no- nomor salah sambung, i- iya benar salah sambung!” dusta Hasan, dengan senyum yang dipaksakan.
Ida menatap Hasan tajam, “Ko bisa tau itu salah sambung? Kamu kan belum menjawab telponnya?”
“Filling aja sayang, akhir akhir ini banyak sekali nomor nyasar, kadang juga ada aja yang menawarkan asuransi, menawarkan perabotan juga ada.” kilah Hasan, dengan nada meyakin kan.
‘Ko aku gak yakin ya sama jawaban mas Hasan, apa jangan jangan lagi ada yang dia sembunyikan dari ku? Atau bisa jadi mas Hasan lagi dekat sama cewe lain.’ pikir Ida, penuh prasangka buruk pada pria yang menjadi kekasihnya itu. Gak peduli kekasihnya itu sudah beristri.
Hasan menghembuskan nafasnya kasar, menyadari Ida yang tengah mencurigai nya.
“Kamu kenapa? Jangan bilang kamu curiga pada ku, Ida! Aku sudah melakukan banyak hal untuk mu, mulai dari korupsi di tempat kerja, menggelapkan dana perusahaan, 90% uangnya pun aku serahkan pada mu, hingga kau bisa sukses dengan usaha mu saat ini. Jangan lupakan itu, ada peran besar ku di dalamnya.”
“Enak aja, aku beli mobil pakai uang hasil kerja keras ku, di tambah modal dari kedua orang tua ku. Kau hanya menanam sedikit modal di perusahaan ku, ingat itu.” kilah Ida.
Pada kenyataannya peran Hasan sangat penting dalam segi penyalur dana untuk Ida.
Hasan yang semula duduk santai dengan punggung menyandar pada sandaran kursi mobil, kini menegakkan punggung nya, menatap nyalang Ida, emosinya semakin bertambah kali kali lipat, mendengar ocehan Ida..
“Enak sekali kamu kalau bicara Ida, aku punya catatannya. Setiap uang yang aku berikan pada mu, aku membuatkan pembukuannya. Ternyata ada gunanya juga untuk saat ini, nanti akan aku perlihatkan pada mu!” seru Hasan dengan nada gak santai
Ida terkekeh, dengan nada meledek, “Pembukuan kamu bilang? Aku mana bisa percaya begitu aja, bisa aja itu hanya akal akalan mu aja untuk mengambil uang ku.”
Dreet dreet dreet.
Benda pipih Hasan kembali berdering, kali ini durasinya lebih panjang. Hasan hanya melirik sekilas, nama kontak yang tengah menelponnya.
‘Dasar bodoh, kenapa harus menelpon ku sih! Kan bisa hanya mengirim pesan. Alasan apa lagi ini yang bisa aku berikan pada Ida?’ pikir Hasan.
Ida mengerdikkan dagunya pada Hasan, “Siapa lagi yang menelpon mu?”
Sreeek.
Dengan tangan kirinya Ida menyambar benda pipih Hasan, dan menatap kontak yang tengah menelponnya. Sementara tangan kanan Ida masih setia pada setir kemudi. Tapi kedua mata Ida sudah terpecah fokusnya.
Ida mengerutkan keningnya, “Siapa Sintia, Hasan?!” tanya Ida dengan nada membentak.
“Jangan membentak ku, Ida!” seru Hasan gak kalah tinggi.
“Kembalikan ponsel ku!” Hasan mencoba merebut kembali benda pipih miliknya dari tangan kiri Ida.
Tapi sayangnya Ida lebih dulu menjawab panggilan tersebut, dan langsung merocos meluapkan kekesalannya pada wanita yang menelpon Hasan.
[ “Halo, siapa kau… berani mengganggu kekasih ku! Sudah bosan hidup kamu hah!” ] omel Ida pada si penelpon.
“Idaa, apa apaan sih kamu! Kembalikan ponsel ku! Fokus lah pada kemudi.” Hasan masih berusaha merebut benda pipihnya, tangannya bahkan menarik bahu Ida.
“Yang benar bawa mobilnya Ida! Jika kau ingin mati, mati lah sendiri… jangan bawa aku serta.” teriak Hasan, sambungan telepon terputus.
Dugh.
Bugh.
Bugh.
Gak ada lagi suara perdebatan, yang ada hanya suara teriakan dari Hasan dan Ida disaat yang bersamaan.
“Aaakkkhhh!”
Mobil yang dikemudikan Ida hilang kendali, hingga menghantam pembatas jalan, lalu terperosok ke dalam lahan warga, hingga mobil akhirnya berhenti saat menubruk pohon besar.
.
Sementara di tempat lain.
Alex memeluk erat tubuh Wati dari belakang di bawah selimut yang membalut tubuh keduanya.
“Apa kamu sudah puas mendengar perdebatan dua sejoli itu, sayang?” tanya Alex yang berbicara tepat di ceruk leher Wati.
“Bisa kau menyingkir dari tubuh ku, pak? Aku pengap terus kau peluk.” beo Wati.
“Tidak bisa, aku ingin tetap seperti ini.”
“Kalo seperti ini terus, kapan aku bisa membalas perbuatan mas Hasan pada ku? Singkirkan tangan mu!” Wati mencoba menyingkirkan tangan besar Alex yang melingkar di perutnya yang rata.
“Aku pikir kau sudah puas setelah mendengar perdebatan Hasan dan Ida. Tapi masih ada lagi kejutan dari ku untuk mereka berdua.”
Alex menarik bahu Wati, dari yang semula memunggungi nya kini keduanya saling berhadapan, tapi Wati langsung menundukkan kepalanya dalam.
Wati menggigit bibir bawahnya, “Apa ini nyata untuk ku?”
Alex mencubit dagu Wati pelan, lalu membawanya hingga mendongak, hingga tatapan keduanya kembali bertemu.
“Nyata apanya hem?” tanya Alex lembut.
“Nyata jika aku semalam menghabiskan malam ku dengan mu, pak! Dulu aku berjanji hanya akan menyerahkan dan mau di sentuh oleh suami ku seorang. Tapi kini aku berubah pikiran. Bantu aku lepas dari ikatan palsu antara aku dan suami, ku!” pinta Wati dengan tatapan penuh harap.
“Aku tidak akan menolak permintaan mu. Tapi kau harus ingat, jangan biarkan Hasan menyentuh mu.” Alex menangkup pipi Wati, mendekatkan wajahnya lalu menghapus jarak di antara keduanya.
Bibir ke duanya berlabuh menjadi satu, saat akan menjadi sebuah luma tan, pintu kamar diketuk dari luar.
Tok tok tok.
Bersambung...