Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Ketiga
Hari ketiga masa percobaan datang seperti hantaman ombak besar yang tidak memberi ruang untuk bernapas. Anna bangun dengan tubuh yang seperti tidak lagi miliknya sendiri. Dua hari sebelumnya sudah lebih dari cukup untuk membuatnya merasa seperti diperas habis tanpa ampun. Kepalanya berat, punggungnya kaku, dan setiap ototnya berdesakan menuntut istirahat. Namun waktu tetap berjalan dan kantor tetap menunggu.
Dengan langkah goyah, Anna menyelesaikan rutinitas paginya. Wajahnya tampak pucat di cermin, dan sembab kantuknya tak bisa disembunyikan bahkan oleh bedak dan concealer. Tapi ia tetap menepuk pipinya pelan, mencoba memberi semangat pada diri sendiri meski setengah hatinya meragukan itu.
“Tiga hari… ini hari terakhir,” bisiknya pada diri sendiri. “Bertahan. Hanya itu.”
Ia tahu benar bahwa setelah ini pekerjaan bukan makin ringan. Tapi menyelesaikan tiga hari percobaan Liam saja sudah seperti menaklukkan setengah dunia.
⸻
Begitu tiba di kantor, suasana terasa berbeda. Orang-orang yang lewat memperhatikannya, beberapa dengan tatapan iba, beberapa dengan wajah penasaran. Kabar bahwa masa percobaannya begitu berat jelas sudah menyebar. Dan hari ketiga selalu jadi hari yang menentukan—apakah seseorang bertahan atau tumbang.
Ketika ia tiba di meja kerjanya, Anna terpaku.
Hari ini… lebih parah dari dua hari sebelumnya.
Mejanya dipenuhi puluhan dokumen baru. Tidak hanya bertumpuk, tapi sampai membentuk dua gunungan raksasa. Ada berkas laporan, permintaan tanda tangan, nota dinas, revisi kontrak, hingga jadwal meeting yang berserakan dan harus disusun ulang. Email kantor sudah tembus 150, semuanya menunggu jawaban.
Anna menelan ludah rapat-rapat. Pandangannya sempat berkunang.
Tepat saat itu, pintu ruangan Liam terbuka.
Liam keluar dengan ekspresi datar seperti biasany. Namun sorot matanya begitu tegas saat melihat meja Anna yang penuh. Atau mungkin ia sengaja memenuhinya seperti itu. Sulit ditebak.
“Selamat pagi,” sapa Anna sopan walau suaranya bergetar.
“Pagi,” jawab Liam pendek dan dingin.
Ia memandang tumpukan dokumen di meja Anna, lalu kembali menatap Anna tanpa perubahan ekspresi.
“Itu semua harus selesai hari ini.”
Anna hampir bertanya ulang, tapi ia menahannya. “Semuanya, Pak?”
“Ya.” Liam menanggapi seakan itu hal paling biasa di dunia. “Jika tidak selesai, kamu tidak lolos.”
Anna menarik napas dalam-dalam meski dadanya terasa berat. “Baik, Pak.”
Liam memperhatikan wajah letih Anna selama beberapa detik. Seolah ia ingin melihat tanda-tanda bahwa Anna akan menyerah. Namun perempuan itu tetap menatapnya dengan penuh keteguhan.
Liam tampak kurang puas.
Tanpa berkata lagi, ia kembali masuk ke ruangannya dan menutup pintu.
⸻
Setelah itu, hari berjalan seperti neraka berjalan kaki.
Anna bekerja tanpa henti sejak jam pertama. Ia mengetik cepat, mengecek email, memadukan jadwal meeting sambil menelpon vendor, lalu beralih ke dokumen lain, lalu kembali ke laptop, lalu menyiapkan laporan. Tidak ada jeda. Tidak ada waktu untuk sekadar menghela napas.
Ia lupa makan. Lupa minum. Lupa berdiri.
Semua demi menyelesaikan tugas yang bahkan sekretaris senior pun belum tentu bisa selesaikan dalam satu hari.
Anna beberapa kali masuk ke ruangan Liam untuk meminta tanda tangan. Liam tidak marah, tidak mengangkat suara, tapi komentar-komentarnya lebih menusuk daripada teriakan.
“Ini terlalu lambat.”
“Formatnya kurang rapi. Ulangi.”
“Fokus, Anna.”
“Kalau kamu memang tidak sanggup, katakan saja.”
Setiap kalimat itu seperti cambuk dingin yang sengaja diarahkan untuk membuatnya runtuh.
Namun Anna tidak ingin memberi Liam alasan untuk berkata ‘aku sudah tahu kau tidak mampu’.
Jadi ia bertahan.
⸻
Menjelang sore, penglihatan Anna mulai kabur. Huruf pada layar komputer terlihat seperti menari. Bahkan memegang pena pun membuat tangannya seperti kehilangan tenaga. Tapi ia tetap bekerja, memaksa tubuhnya melampaui batas.
Setiap kali napasnya mulai berat, ia berhenti dua detik, lalu melanjutkan. Setiap kali pusing menyerang, ia menunduk sebentar, lalu menatap layar lagi.
Hanya hari ini. Ia terus mengulang kalimat itu dalam benaknya.
⸻
Saat jam sudah melewati pukul delapan malam, kantor benar-benar sepi. Lampu-lampu sebagian dimatikan. Hanya deru AC yang menemani sisa kerja Anna. Matanya perih, telapak tangannya mati rasa, tapi ia berhasil merapikan semua dokumen yang harus diserahkan hari itu.
Dengan sisa tenaga, ia menggenggam tumpukan berkas itu dan melangkah menuju ruangan Liam. Namun kakinya begitu berat, seperti setiap langkah menambah beban seribu kilo.
Ia mengetuk pintu.
“Masuk,” jawab Liam dari dalam.
Anna membuka pintu pelan. Liam berdiri membelakangi meja, menghadap jendela besar yang menampilkan pemandangan kota malam. Siluetnya memantul pada kaca — tinggi, tegas, dingin.
“Ini berkasnya, Pak…” suara Anna bergetar, tak mampu disembunyikan.
Liam berbalik perlahan. Pandangannya turun pada tangan Anna yang gemetar kuat sambil memegang dokumen. Sorot matanya berubah sedikit, tapi tidak cukup untuk disebut peduli.
Anna menaruh berkas itu di atas meja. “Semuanya sudah selesai.”
Liam membuka lembar pertama, membaca sekilas, menutupnya lagi. “Tidak buruk.”
Anna mengangguk walau tubuhnya seperti mau roboh. “Terima kasih, Pak.”
“Saya tidak menyangka kamu bisa sampai sini,” katanya sambil menyilangkan tangan.
Anna mencoba tersenyum meski wajahnya tampak sangat pucat. “Saya hanya melakukan yang terbaik.”
“Kamu memaksakan diri,” ujar Liam tanpa basa-basi. “Dan itu tidak selalu berarti hal baik.”
Anna menunduk. Tubuhnya bergetar semakin keras. Telinganya berdenging. Dunia mulai berputar.
Liam memperhatikan perubahan itu. “Anna, kamu—”
“Saya… tidak apa-apa, Pak…” jawab Anna lirih. “Hanya… sedikit pusing.”
“Kamu duduk dulu.”
“T-tidak apa—”
Tidak ada kata yang selesai.
Dalam sekejap, seluruh pandangan Anna gelap. Kakinya hilang kekuatan. Tangannya terkulai. Ia jatuh lurus ke depan, tubuhnya ambruk tanpa sempat menahan diri.
Liam tersentak.
“Anna!”
Ia bergerak cepat, menangkap tubuh Anna sebelum menyentuh lantai. Kepala Anna hampir terbentur, namun Liam menahan dengan tangan. Wajahnya berubah, panik — sesuatu yang tidak pernah muncul dalam dirinya di kantor.
“Anna? Dengarkan saya. Anna!”
Tidak ada respons.
Dada Anna naik turun cepat, lalu melemah. Kulitnya dingin. Nafasnya dangkal. Liam menepuk pipinya pelan, suaranya turun hampir seperti bisikan.
“Anna, buka mata kamu.”
Tetap tidak ada reaksi.
Untuk pertama kalinya sejak insiden teh panas itu, Liam terlihat kehilangan kendali. Ia memanggil nama Anna sedikit lebih keras, nada suaranya tegang, hampir cemas.
“Anna!”
Namun perempuan itu tetap tak bergerak, tak membuka mata, tak memberi tanda sedikit pun.
Dan saat itu, untuk pertama kalinya, Liam menyadari sesuatu yang menghantamnya lebih keras dari apa pun:
Ia sudah melampaui batas.
Ia tidak sekadar menguji.
Ia telah menyiksa seseorang sampai tumbang di depannya.
—Dan itu membuatnya diam, untuk waktu yang cukup lama, sambil memeluk tubuh Anna agar tidak jatuh lagi.