Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misi dalam Diam
Di bawah tatapan tajam semua orang, tangannya yang tersembunyi di dalam lengan baju bergerak. Otot-ototnya menegang, siap untuk melakukan gerakan kilat yang akan menentukan segalanya. Cangkir kecil berisi cairan emas itu terasa seperti bom waktu yang siap meledak.
Saat bayangan penutup perak itu mulai turun, menyapu permukaan bubur seperti gerhana yang tak terelakkan, pergelangan tangan Han Qiu berputar dalam satu gerakan cair yang nyaris tak kasat mata.
Cangkir porselen itu miring.
Setetes, lalu seutas aliran emas cair yang senyap meluncur dari bibir cangkir, menembus permukaan bubur yang putih susu tanpa suara. Itu bukan tuangan; itu adalah sebuah infus, sebuah bisikan rasa yang disuntikkan ke dalam jantung kehampaan.
Aroma gurih yang terperangkap—harumnya tulang ayam, kehangatan jahe, dan sentuhan samar daun bawang—terlepas sesaat ke udara, begitu tipis hingga terasa seperti hantu kenangan, sebelum langsung ditelan oleh uap nasi yang netral.
KLANG.
Penutup perak itu mendarat di bibir mangkuk dengan bunyi denting yang final. Segel telah dipasang. Kejahatan kecil yang mulia itu kini terkurung di dalam porselen, menunggu untuk diungkap di hadapan sang naga.
Han Qiu menarik tangannya kembali ke dalam lengan baju, cangkir yang kini kosong terasa dingin di kulitnya yang panas. Jantungnya berdemahan begitu keras di rusuknya, ia yakin semua orang bisa mendengarnya seperti genderang perang. Ia mengangkat kepalanya, matanya bertemu dengan tatapan Kasim Li yang berdiri di dekat pintu, berpura-pura sibuk merapikan serbet.
Mata Li melebar sepersekian detik, sebuah pengakuan ngeri dan takjub atas apa yang baru saja ia saksikan.
"Bawa nampan ini," perintah Chef Gao, suaranya memecah keheningan yang tegang.
"Dan ingat, berjalanlah seolah kau membawa nyawa kaisar di tanganmu. Karena memang itu yang kau lakukan."
Han Qiu menunduk.
"Baik, Chef Gao."
Ia mengangkat nampan emas itu. Terasa lebih berat dari seharusnya, seolah bobot harapan dan pemberontakan ikut membebani lengannya. Kasim Kepala berdeham, melangkah maju untuk mengawalnya. Ini adalah bagian yang paling berbahaya.
Perjalanan dari dapur utama ke paviliun Kaisar adalah sebuah prosesi yang diawasi dengan ketat.
Saat ia melangkah melewati ambang pintu dapur, Kasim Li menyelinap di sampingnya, berbisik dengan suara gemetar yang nyaris tak terdengar,
"Kau benar-benar sudah gila. Baunya... aku bisa menciumnya sedikit. Bagaimana jika dia juga bisa?"
"Dia tidak akan bisa," balas Han Qiu, bibirnya nyaris tidak bergerak.
"Pikirannya terlalu steril untuk mengenali aroma kehidupan. Sekarang, ingat rencananya. Di tikungan koridor kedua."
"Aku takut, Xiao Lu," bisik Li, wajahnya pucat pasi di bawah cahaya lentera koridor yang remang.
"Jika kita gagal..."
"Kita tidak akan gagal," potong Han Qiu, nadanya setajam pisau.
"Karena kegagalan berarti membiarkan Yang Mulia mati kelaparan di atas takhtanya. Mana yang lebih kau takuti?"
Kasim Li menelan ludah, lalu mengangguk kecil sebelum mempercepat langkahnya, mendahului mereka dan menghilang di tikungan.
Han Qiu melanjutkan perjalanannya, dengan Kasim Kepala yang berjalan di sampingnya seperti bayangan besar yang mengancam. Setiap langkah berirama di atas lantai batu yang dingin. Koridor istana terasa sangat sunyi, dinding-dindingnya yang tinggi menelan semua suara kecuali derap langkah mereka dan detak jantung Han Qiu yang menggila.
Ia bisa merasakan tatapan Kasim Kepala menusuk sisi wajahnya, menganalisis setiap gerakannya, mencari tanda-tanda kegugupan, mencari kesalahan.
Ia memfokuskan pandangannya pada naga biru yang dilukis di mangkuk, yang kini tersembunyi di balik penutup perak. Naga itu, pikirnya, sedang menunggu untuk diberi makan. Bukan dengan makanan, tetapi dengan keberanian.
Mereka mendekati tikungan kedua. Jantung Han Qiu menegang. Sekarang.
Tiba-tiba, terdengar suara pekikan panik dan bunyi benda pecah dari depan. Kasim Li muncul dari balik tikungan, wajahnya penuh kengerian. Di tangannya ada sisa-sisa guci porselen, dan di lantai, genangan air teh yang gelap menyebar dengan cepat, mengotori jubah sutra Kasim Kepala yang mahal.
"A-ampun, Kasim Kepala! Ampun!" Li menjatuhkan diri berlutut, tubuhnya gemetar hebat. "Hamba... hamba terpeleset! Hamba tidak sengaja! Mohon ampuni nyawa hamba!"
Mata Kasim Kepala membelalak, pertama pada guci yang pecah, lalu pada noda teh yang meresap ke jubahnya. Wajahnya memerah karena amarah.
"Dasar ceroboh! Tidak berguna! Kau tahu berapa harga jubah ini?! Kau tahu berapa harga guci itu?!"
"Hamba pantas mati! Hamba pantas mati!" ratap Li, membenturkan kepalanya pelan ke lantai.
"Memang!" bentak Kasim Kepala, benar-benar lupa pada tugasnya mengawal Han Qiu.
Ia sibuk menepuk-nepuk jubahnya yang basah dengan jijik.
"Kau akan membersihkan seluruh koridor ini dengan lidahmu jika perlu! Berdiri! Cepat berdiri dan bersihkan kekacauan ini!"
Selama beberapa detik yang berharga itu, semua perhatian terpusat pada drama kecil Kasim Li. Tidak ada yang melihat Han Qiu. Ini adalah kesempatannya. Dengan langkah yang dipercepat namun tetap anggun, ia melewati mereka, berbelok di tikungan, dan menjauh dari sumber keributan.
Ia tidak berani menoleh ke belakang. Ia hanya terus berjalan, setiap langkah membawanya lebih dekat ke tujuan dan lebih jauh dari hukuman.
Koridor di depannya kini sepi. Ia sendirian. Kebebasan yang menakutkan. Ia bisa mendengar suara bentakan Kasim Kepala yang semakin sayup di belakangnya. Rencana itu berhasil. Li telah mengorbankan dirinya untuk memberinya sebuah jendela waktu.
Paviliun Kaisar sudah di depan mata. Dua penjaga berdiri kaku di kedua sisi pintu berukir megah. Mereka menatap lurus ke depan, tidak meliriknya saat ia mendekat. Tugas mereka adalah menjaga dari ancaman fisik, bukan dari aroma pemberontakan yang tersembunyi di dalam semangkuk bubur.
Han Qiu berhenti di depan pintu, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan tangannya yang gemetar. Ia berhasil. Ia telah melewati Chef Gao. Ia telah melewati Kasim Kepala. Hanya ada satu pintu lagi yang memisahkannya dari sang Kaisar.
Di balik pintu ini, takdirnya akan ditentukan. Kemenangan atau kematian.
Ia mengangkat tangannya yang bebas, hendak mengetuk panel kayu itu. Ini dia. Momen kebenaran. Cairan emas di dalam mangkuk itu bukan lagi sekadar kaldu. Itu adalah harapan, pemberontakan, dan sebuah pertanyaan yang diajukan langsung kepada sang penguasa: apakah Anda masih ingin merasakan hidup?
Namun, sebelum buku-buku jarinya sempat menyentuh permukaan pintu, sebuah suara yang dingin dan setajam es membelah keheningan dari belakangnya, membuatnya membeku di tempat.
"Berhenti di situ, Xiao Lu."
Suara itu bukan milik Kasim Kepala yang marah. Itu adalah suara yang ia kenal betul, suara yang menghantui mimpi buruknya. Suara yang seharusnya berada jauh di dapur utama, mengawasi pembersihan.
Suara Chef Gao.