NovelToon NovelToon
Miranda "Cinta Perempuan Gila"

Miranda "Cinta Perempuan Gila"

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Romansa / Mantan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nanie Famuzi

Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda


Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.

Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .

Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.

Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .

Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 9

Di perjalanan, Jodi memacu mobilnya nyaris tanpa jeda. Suara mesin bergema di antara jalanan pagi yang masih sepi, seirama dengan detak jantungnya yang tak menentu.

Ada rasa khawatir yang menekan dadanya, tentang Miranda, yang tiba-tiba mengamuk setelah sepuluh tahun diam. Tapi di balik semua itu, ada bayangan lain yang tak mau pergi dari pikirannya.

Bayangan semalam.

Alin.

Dan dirinya sendiri.

Ia tak bermaksud melakukannya. Awalnya, hanya ingin menenangkan, menebus jarak yang terlalu lama tercipta. Tapi sesuatu di dalam dirinya menyerah, seolah ada dorongan yang tak bisa ia lawan.

Kini setiap kali ia mengingat sentuhan itu, rasanya seperti ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan sendiri. Antara nafsu atau cinta.

“Kenapa aku…” gumamnya lirih, menatap sekilas ke arah cincin di jarinya.

Mobil terus melaju, tapi pikirannya justru tersesat di antara dua nama, Alin dan Miranda, dua dunia yang sama-sama tak bisa ia pahami sepenuhnya.

Begitu mobil berhenti di halaman rumah sakit jiwa Harapan Insani, Jodi segera turun tanpa sempat mematikan mesin. Langkahnya cepat, tergesa. Udara pagi terasa lembap, dan angin membawa aroma obat-obatan bercampur disinfektan yang tajam menusuk hidung.

Begitu memasuki bangsal utama, beberapa perawat tampak mondar-mandir.

“Dokter Jodi!” panggil salah satu perawat, suaranya terburu. “Pasien Miranda… masih terus berteriak. Kami sudah berikan obat penenang, tapi dia menolak minum.”

Jodi mengangguk cepat, wajahnya menegang.

“Sudah berapa lama?”

“Sejak jam tiga dini hari, Dok. Dia terus berteriak, dia juga terus memukul mukul kepalanya sendiri.”

Jodi memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang untuk menahan gejolak yang tiba-tiba naik ke dadanya. “Coba bawa aku ke ruangnya sekarang,” ucapnya tegas, suaranya terdengar dalam dan menahan cemas.

Perawat itu segera berjalan di depan, langkahnya cepat diiringi derap sepatu Jodi di lantai marmer rumah sakit yang dingin. Suara jeritan samar mulai terdengar semakin jelas seiring mereka mendekat ke lorong paling ujung, ruangan isolasi khusus.

Dari balik pintu baja berjeruji kecil, suara perempuan itu terdengar parau, nyaris histeris.

“Dia pembohong.. aaarrrrgh.. penipu!!!”

Jodi menatap kaca kecil di pintu itu. Dadanya terasa diremas. Rambut Miranda berantakan, wajahnya penuh goresan, dan tangannya diikat dengan sabuk kain agar tak melukai diri sendiri. Namun yang paling membuatnya kaku adalah tatapan mata Miranda yang seolah menembus kaca, menatap tepat ke arahnya.

“Dia lihat aku?” tanya Jodi lirih.

Perawat di sampingnya menggeleng gugup. “Tidak mungkin, Dok. Kacanya reflektif dari luar. Dia nggak bisa lihat apa pun kecuali bayangannya sendiri.”

Namun tepat setelah itu, Miranda berhenti menjerit. Kepalanya menoleh perlahan ke arah kaca. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil, miring, menyeramkan.

“Mas dokter… aku tahu kamu di sana.”

Jodi menegang.

“Buka pintunya,” katanya datar.

“Dok, dia lagi tidak stabil—”

“Buka,” ulang Jodi, kali ini lebih tajam.

Dengan ragu, perawat itu memutar kunci pintu besi. Bunyi klik terdengar berat, diikuti derit engsel yang melengking saat pintu terbuka perlahan.

Miranda mendongak, senyum itu tak pudar sedikit pun. “Mas dokter akhirnya datang juga,” katanya lembut, nyaris seperti menyapa kekasih lama.

“Sudah lama ya, Mas, kita nggak saling tatap seperti ini.”

Langit-langit terasa semakin rendah, udara dingin menusuk kulit.

Jodi berdiri di ambang pintu, tak tahu apakah yang ia rasakan saat itu adalah rasa bersalah, takut, atau sesuatu yang jauh dari keduanya.

Begitu Jodi melangkah satu langkah masuk, suasana ruangan itu langsung berubah. Udara terasa berat. Miranda yang semula hanya menatapnya, tiba-tiba menggigil hebat.

Matanya membulat, bibirnya bergetar.

“Jangan… jangan dekati aku!” jeritnya mendadak, suaranya melengking memecah ruangan. Ia berusaha menarik tangannya yang terikat, tubuhnya menggeliat seperti orang kesakitan. “Aku gak mau lihat! Pergi.. kamu jahat!!”

“Miranda, tenang dulu…” Jodi mencoba mendekat perlahan, nada suaranya rendah, menenangkan. “Kamu aman di sini. Aku Jodi. Aku cuma mau bantu kamu, dengar?”

Namun seolah tak mendengar, Miranda menjerit lebih keras. Air mata bercucuran di wajahnya, suaranya parau.

“Pergi dari sini!” teriaknya sambil menunjuk ke arah dinding kosong di belakang Jodi. “Tolong pergi!”

Jodi menoleh cepat ke arah yang ditunjuk Miranda, kosong. Hanya bayangan mereka sendiri yang memantul samar di tembok putih pucat itu.

“Tidak ada siapa-siapa, Miranda. Tenangkan diri kamu ya.”

Tapi tangis Miranda semakin menjadi. Ia memukul-mukul kepalanya sendiri, tubuhnya bergetar hebat.

“Keluar! Keluar!!”

“Panggil tim medis sekarang!” seru Jodi pada perawat di luar ruangan. Dua orang perawat segera berlari masuk, membawa suntikan penenang.

Namun saat mereka mencoba mendekat, Miranda menjerit histeris, menendang kasur dan hampir melepaskan ikatan di pergelangannya. “Jangan sentuh aku! Kalian semua sama!”

“Pegang dia baik-baik!” Jodi berusaha menahan lengan Miranda agar tidak melukai diri sendiri.

Namun kekuatan perempuan itu luar biasa, liarnya seperti orang yang dikuasai sesuatu.

“Miranda! Dengar aku!” suara Jodi meninggi, kini tak lagi tenang. “Kamu harus tenang dulu, kamu aman, dengar aku—”

Tapi jeritan Miranda menenggelamkan semua kata-katanya.

Suara tangis, teriakan, dan bunyi logam ranjang beradu memenuhi ruang isolasi.

Akhirnya, dengan bantuan dua perawat, mereka berhasil menyuntikkan obat penenang ke lengan Miranda.

Tubuhnya perlahan melemah, tapi matanya masih terbuka, menatap ke arah Jodi… penuh ketakutan.

Sebelum kesadarannya hilang, ia berbisik pelan, suaranya nyaris tak terdengar.

“Mas… aku mau pulang.”

Jodi tertegun.”pulang.”

Tapi Miranda sudah terkulai.

Ruangan itu kembali hening, hanya tersisa suara napas berat Jodi dan perawat-perawat yang masih terengah.

Jodi berdiri diam di tempat, menatap getir tubuh Miranda yang kini terbaring lemah di ranjang isolasi. Nafasnya cepat, dadanya naik turun, sementara bekas goresan kukunya sendiri tampak di lengan dan pipinya.

Pelan, Jodi mengusap keringat di kening pasien itu dengan tisu steril.

“Tenang, Mir… sudah cukup,” ucapnya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan.

Dari luar kaca pengawas, perawat mencatat hasil pantauan alat portable.

“Dok, tekanan darahnya sempat naik drastis, 170/100. Tapi sekarang perlahan turun. Saturasi 97 persen,” lapornya lewat interkom.

Jodi mengangguk tanpa menoleh.

“Stabilkan oksigennya di tiga liter per menit, pastikan infus tetap mengalir. Setelah ini ambil sampel darah dan periksa kadar kortisolnya.”

“Baik, Dok.”

Ia menatap Miranda lebih lama.

Perempuan itu telah menjadi pasiennya selama hampir sepuluh tahun, kasus skizofrenia dengan trauma masa lalu yang kompleks. Tapi ini pertama kalinya Jodi melihatnya bereaksi sedrastis itu.

“Apakah tadi ada pemicu?” tanyanya kemudian.

Salah satu perawat yang berada di pintu menjawab hati-hati, “Tidak ada, Dok. Dia sempat tidur seperti biasa, tapi sekitar jam tiga dini hari, tiba-tiba terbangun dan mulai menangis histeris. Katanya… semuanya pembohong. Penipu”

Jodi mencatat cepat di clipboard-nya.

“Catat kejadian ini sebagai episode psikotik akut. Lakukan evaluasi ulang dosis obat, terutama risperidone dan clonazepam. Pantau dua hari ke depan.”

“Siap, Dok.”

Setelah memastikan semua instruksi dijalankan, Jodi berdiri diam di depan kaca pengawas. Ia menatap wajah Miranda yang kini tenang, terlelap karena lelah.

Entah kenapa, ada rasa sesak yang menempel di dadanya, sepuluh tahun terapi, sepuluh tahun diam, dan sekarang semuanya seperti kembali dari awal.

Ia melepaskan sarung tangannya, membuangnya ke tempat limbah medis, lalu menatap lagi ke arah dalam ruang isolasi.

“Miranda…” gumamnya lirih, “kita mulai lagi dari awal, ya.”

Jodi berjalan menuju ruang dokternya dengan langkah berat. Aroma disinfektan khas rumah sakit jiwa masih menempel di hidungnya. Begitu pintu tertutup, ia menarik napas panjang, lalu langsung duduk di meja kerjanya. Tangannya gemetar halus ketika menuliskan laporan kejadian di lembar medis.

 “Pasien menunjukkan episode psikotik akut disertai perilaku autoagresif. Respon terhadap obat penenang lambat, namun akhirnya stabil setelah dosis tambahan diberikan.”

Ia menatap kalimat itu cukup lama sebelum melanjutkan menulis catatan tindak lanjut. Satu helai rambutnya jatuh ke dahi, menandakan betapa lelahnya ia pagi itu.

Pintu ruangannya diketuk pelan. Kepala perawat, Bu Ratna, masuk sambil membawa map berisi laporan tambahan.

“Dok, ini data tekanan darah dan hasil observasi pasca-insiden. Tim jaga semalam juga sudah diminta menulis kronologinya.”

Jodi mengangguk tanpa menoleh. “Terima kasih, Bu. Tolong pastikan Miranda tetap diawasi minimal setiap lima belas menit sekali. Jangan biarkan dia sendirian terlalu lama.”

“Iya, Dok. Tapi…” Bu Ratna ragu sejenak. “Tadi sebelum Anda datang, Miranda sempat menyebut nama seseorang. Berkali-kali.”

Jodi akhirnya menatapnya. “Nama siapa?”

“Gala, Dok.”

Ruangan itu mendadak hening. Hanya suara jarum jam di dinding yang terdengar berjalan pelan.

Wajah Jodi menegang. Ia meletakkan pulpen perlahan, menatap kosong pada map di depannya seolah tengah memproses sesuatu yang tak seharusnya terdengar.

“Gala?” ulangnya pelan, seolah memastikan pendengarannya tidak salah.

“Iya, Dok,” jawab Bu Ratna. “Dia terus mengucapkannya. Kadang seperti berbicara, kadang seperti memohon. Kami sempat pikir itu nama keluarganya, tapi di data pasien tidak ada siapa pun bernama Gala.”

Jodi bersandar di kursi, mengusap wajahnya pelan. Gala. Nama itu entah kenapa membuat dadanya terasa sesak. Ia menatap laporan pasien Miranda di mejanya, lembar demi lembar penuh catatan klinis, tapi tak satu pun yang menyinggung nama itu.

“Baik,” ucapnya akhirnya, suaranya rendah tapi tegas. “Untuk sementara jangan catat nama itu di laporan resmi. Saya akan coba tanyakan langsung pada pasien nanti, setelah efek obat penenang benar-benar hilang.”

Bu Ratna mengangguk, lalu meninggalkan ruangan.

Begitu pintu tertutup, Jodi terdiam lama. Pandangannya jatuh pada cangkir kopi yang sejak pagi belum tersentuh. Uapnya sudah hilang, menyisakan permukaan hitam pekat. Ia menatapnya tanpa benar-benar melihat.

 Gala… siapa kamu sebenarnya?

Perlahan, Jodi membuka berkas lama Miranda , lembaran yang sudah menguning di tepi dan berbau kertas tua. Di halaman pertama, tertera catatan dokter terdahulu:

“Pasien mengalami gangguan stres pascatrauma akibat kegagalan pernikahan. Pernikahan dengan pria bernama Gala hanya bertahan satu hari setelah akad. Perceraian terjadi karena dugaan perselingkuhan yang dilakukan oleh suami.”

Jodi menatap tulisan itu lama. Ia menghela napas pelan, mencoba memahami.

Satu hari.

Satu hari pernikahan, lalu hancur.

Ia membalik ke halaman berikutnya. Ada keterangan tambahan, lebih rinci:

“Sejak kejadian itu, pasien menunjukkan gejala delusi emosional. Pasien meyakini bahwa setiap pria yang mendekatinya adalah ‘Gala’ dalam bentuk lain. Setiap kali mendengar nama itu, pasien menunjukkan reaksi agresif dan panik berat.”

Jodi menyandarkan tubuhnya di kursi.

“Jadi itu sebabnya…” gumamnya pelan.

Ia teringat adegan yang dikatakan oleh perawat yang menjaga Miranda tadi malam, bagaimana Miranda berteriak-teriak histeris, menyebut nama Gala sambil memukul kepalanya sendiri. Kini semuanya mulai masuk akal secara klinis, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang tetap mengganggu pikirannya.

Jodi menutup map itu, lalu memijat pelipisnya sebentar. “Trauma yang begitu dalam,” ucapnya lirih, lebih seperti bicara pada diri sendiri. “Butuh waktu lama untuk pulih.”

Jodi bersandar di kursinya, memejamkan mata sejenak. Ingatan itu muncul begitu jelas, saat Miranda melukis, dan suara parau yang berulang-ulang melafalkan kata yang sama seperti mantra murka.

"Mati... mati... mati..."

Sambil mencoret-coret wajah yang dilukisnya, di tengah coretan itu, samar-samar tampak wajah seorang pria, rahang tegas, mata dalam, senyum yang di satu sisi terlihat lembut, di sisi lain… menakutkan.

Jodi membuka mata, menatap kosong ke arah map di mejanya.

"Kalau benar itu wajah Gala," gumamnya pelan, “maka kebencian Miranda pada pria itu tidak sekadar sakit hati biasa. Ini... sesuatu yang lebih dalam.”

Ia berdiri, melangkah ke lemari arsip di sudut ruangan, mencari berkas tambahan. Di sana, terselip beberapa foto hasil terapi seni yang dilakukan Miranda bertahun-tahun lalu. Ia mengeluarkannya satu per satu, sebagian besar abstrak, penuh goresan hitam dan merah. Tapi di antara semuanya, ada satu yang membuatnya berhenti.

Lukisan wajah itu lagi.

Lebih jelas, lebih utuh. Dan kali ini, di bagian bawah kanvas, Tertulis sebuah tulisan tangan.

“Aku mencintaimu Akhsa Gala Baldwin.”

Entah kenapa, dadanya terasa sesak..

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

“Ada cinta yang menenangkan, ada pula yang perlahan menggerogoti kewarasan.”

1
partini
kalau berjodoh ma dokternya kasihan jg Miranda lah dokter suka lobang doang nafsu doang
Nunna Nannie: 🙏🙏
Terimakasih sudah mampir,
total 1 replies
Aal
bagus... saya suka ceritanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!