Eri Aditya Pratama menata kembali hidup nya dengan papanya meskipun ia sangat membencinya tetapi takdir mengharuskan dengan papanya kembali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kegelisahan di Ruang Keluarga
Di ruang keluarga yang nyaman, Bu Henny duduk di sofa. Cahaya lampu temaram memberikan kesan hangat, menciptakan suasana yang tenang namun menyimpan kegelisahan yang mendalam. Di atas meja, secangkir teh hangat mengepulkan uap tipis, namun tak disentuh sama sekali. Pikirannya melayang, memikirkan Eri dan hubungannya dengan Eliana yang tampak merenggang.
Tak lama kemudian, Eri masuk ke dalam ruangan dengan langkah gontai. Ia berdiri di hadapan Bu Henny, tampak gelisah. Tangannya saling meremas, tanda kegelisahan yang mendalam, seolah ada badai yang bergejolak di dalam dirinya, siap meledak kapan saja. Wajahnya pucat dan matanya merah, seperti habis menangis.
"Eri, bagaimana pertemuanmu dengan Eliana kemarin?" tanya Bu Henny lembut, suaranya membelai pendengaran, mencoba meredakan ketegangan yang terpancar dari wajah Eri. "Mama perhatikan dia agak berbeda akhir-akhir ini. Sikapnya tidak sehangat biasanya pada Mama, bahkan terkesan menghindar. Apa kalian membicarakan sesuatu yang serius?"
Eri menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi, meski pahit untuk diucapkan. "Sebenarnya, Ma, ada sesuatu yang ingin Eri ceritakan. Pertemuan kemarin... tidak berjalan baik. Bahkan bisa dibilang, sangat buruk."
Bu Henny mengerutkan kening, tanda khawatir mulai menghiasi wajahnya, semakin kentara. Ia merasakan firasat buruk, sesuatu yang lebih dari sekadar pertengkaran biasa. "Apa yang terjadi? Eliana mengatakan sesuatu yang membuatmu tidak nyaman? Atau... melakukan sesuatu?"
Dengan suara pelan, hampir berbisik, Eri menjawab, "Eliana... dia merasa jijik pada Eri, Ma." Kata-kata itu terlontar seperti pecahan kaca, memecah keheningan dan menghancurkan harapan yang tersisa.
Bu Henny terkejut. Matanya membulat, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Jijik? Apa maksudmu, Er? Kenapa dia bisa berpikir seperti itu? Apa yang membuat Eliana sampai merasa jijik padamu?"
Eri menunduk, tak sanggup menatap mata Bu Henny. Perasaan malu, bersalah, dan putus asa bercampur aduk dalam hatinya, membuatnya semakin terpuruk. "Ini tentang masa lalu Eri dengan Dea, Ma. Eliana tahu tentang itu. Seseorang sudah memberitahunya."
Bu Henny bingung. "Tapi, bagaimana bisa? Siapa yang memberitahunya? Siapa yang tega membuka luka lama itu?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja, mencerminkan kebingungan yang berkecamuk dalam benaknya. Ia tahu masa lalu Eri memang kelam, penuh penyesalan dan kesalahan, tapi ia berharap Eliana bisa melihat Eri yang sekarang, Eri yang sudah berubah dan berusaha menjadi lebih baik, bukan masa lalunya yang kelam.
Eri menggeleng lemah, bahunya merosot. "Itu yang Eri tidak tahu, Ma. Eliana tidak mau mengatakan dari mana dia tahu. Dia hanya bilang... dia tidak bisa menerima masa lalu Eri. Dia bilang, itu terlalu kotor untuknya."
Bu Henny berpikir sejenak, mencoba memahami situasi yang rumit ini dari sudut pandang Eliana. "Mama tidak mengerti. Eliana selalu terlihat dewasa dan pengertian, jauh lebih dewasa dari usianya. Kenapa dia jadi seperti ini? Kenapa dia tidak memberimu kesempatan untuk menjelaskan?"
Dengan nada sedih, Eri berkata, "Eri juga tidak tahu, Ma. Eri sudah mencoba menjelaskan, sudah mencoba meyakinkannya bahwa Eri sudah berubah, tapi dia tidak mau mendengarkan. Dia terus mengatakan bahwa Eri tidak pantas untuknya. Dia bilang, Eri sudah mengotori diri Eri sendiri, dan dia tidak bisa menerima orang yang 'kotor' dalam hidupnya."
Bu Henny menghampiri Eri dan memegang tangannya. Sentuhan itu hangat dan menenangkan, seolah menyalurkan kekuatan dan harapan, mengatakan bahwa Eri tidak sendirian dalam menghadapi masalah ini. "Eri, Mama tahu kamu orang baik. Mama tahu kamu sudah menyesali semua kesalahanmu di masa lalu. Masa lalu itu sudah berlalu. Kamu tidak bisa menghukum dirimu sendiri selamanya."
Eri menatap Bu Henny dengan mata berkaca-kaca. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, siap tumpah kapan saja, membasahi pipinya yang pucat. "Tapi, Ma, bagaimana kalau Eliana tidak bisa memaafkan Eri? Bagaimana kalau dia terus melihat Eri sebagai orang yang menjijikkan, orang yang tidak pantas dicintai?Bagaimana pendapat Om Rico dan Tante Lina , Ma. Eri tidak bisa membayangkan bagaimana tanggapan Om Rico dan Tante Lina
Bu Henny memeluk Eri dengan sayang. Pelukan itu erat dan penuh kasih, seolah ingin melindungi Eri dari segala rasa sakit dan kekecewaan, menyerap semua kesedihan dan ketakutan yang dirasakan putranya. "Mama yakin, Er. Eliana hanya butuh waktu untuk mencerna semuanya, untuk memahami bahwa setiap orang punya masa lalu, dan yang terpenting adalah bagaimana kita belajar dari kesalahan dan menjadi lebih baik. Dia pasti akan mengerti pada akhirnya. Yang penting, kamu harus tetap menjadi dirimu sendiri. Jangan biarkan masa lalu menghancurkan masa depanmu. Kamu berhak bahagia, Er. Kamu pantas dicintai."
Eri membalas pelukan Bu Henny, merasa sedikit lebih tenang, meski hanya sesaat. Meskipun hatinya masih sakit dan penuh keraguan, dia tahu bahwa dia tidak sendirian. Bu Henny akan selalu ada untuknya, memberikan dukungan dan cinta tanpa syarat, menjadi tempatnya bersandar dan mencari kekuatan. Di tengah kegelapan, pelukan itu adalah secercah cahaya yang memberikan harapan, meskipun kecil, bahwa semua akan baik-baik saja pada akhirnya.
"Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang, Er?" tanya Bu Henny, melepas pelukannya dan menatap Eri dengan tatapan penuh harap.
Eri menghela napas panjang. "Eri belum tahu, Ma. Eri masih bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Tapi Eri tidak akan menyerah begitu saja. Eri akan berusaha untuk meyakinkan Eliana bahwa Eri sudah berubah dan bahwa Eri pantas mendapatkan kesempatan kedua. Eri akan melakukan apapun agar Om Rico bisa mengerti
Bu Henny tersenyum lembut dan mengusap pipi Eri dengan sayang. "Itu baru anak Mama. Mama akan selalu mendukungmu, apa pun yang terjadi," kata Bu Henny, memberikan semangat pada putranya.
Eri memeluk Bu Henny sekali lagi, merasa bersyukur memiliki ibu yang begitu penyayang dan pengertian. Ia tahu bahwa perjalanan yang ada di hadapannya tidak akan mudah, tetapi ia tidak akan menyerah. Ia akan berjuang untuk cintanya, untuk kebahagiaannya, dan untuk masa depannya.
Di luar, malam semakin larut. Kegelapan mulai menyelimuti kota, bintang-bintang bertebaran di langit, namun seolah tak mampu menembus awan kelabu yang menggelayuti hati Eri. Di dalam ruang keluarga itu, kehangatan cinta seorang ibu tetap menyala, namun tak mampu menghapus sepenuhnya kegelisahan dan ketakutan yang menghantui Eri. Ia bertanya-tanya, apakah cintanya pada Eliana cukup kuat untuk mengatasi bayangan masa lalu yang kelam? Apakah Eliana akan memberinya kesempatan kedua, ataukah ia akan terus dihantui oleh rasa jijik dan penolakan, selamanya terperangkap dalam masa lalunya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, menambah beban di hatinya yang terluka, membuatnya semakin sulit untuk bernapas. Ia hanya bisa berharap, keajaiban akan datang dan mengubah segalanya.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*