Namanya Kevin. Di usianya yang baru menginjak angka 20 tahun, dia harus mendapati kenyataan buruk dari keluarganya sendiri. Kevin dibuang, hanya karena kesalahan yang sebenarnya tidak dia lakukan.
Di tengah kepergiannya, melepas rasa sakit hati dan kecewa, takdir mempertemukan Kevin dengan seorang pria yang merubahnya menjadi lelaki hebat dan berkuasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kevin Bercerita
Sepanjang perjalanan, Kevin lebih banyak terdiam. Anak muda itu masih penasaran, kenapa dia diajak ke perusahaan milik keluarga barunya. Kevin bertanya pada pria yang mengajaknya pun percuma, Harvez hanya memberi jawaban yang membuat Kevin semakin penasaran.
"Kamu sudah bertemu dengan Nyonya besar?" Untuk kesekian kalinya, pria yang sedang memegang kendali mobil, melempar pertanyaan pada anak muda yang duduk di sebelahnya.
"Sudah, Om," jawab Kevin. Tadinya Kevin tetap memanggil Harvez dengan sebutan Tuan, tapi Harvez melarangnya. "Tadi saat hendak sarapan, aku menemui Nyonya di kama?"
Harves mengangguk beberapa kali dengan mata tetap fokus ke arah depan. "Bagaimana sambutannya? Dia baik bukan?"
Kevin tersenyum sembari menatap Harvez sejenak, lalu kembali melempar tatapan ke arah jalan raya. "Dia baik dan penuh kehangatan. Sebuah sikap yang tidak pernah aku rasakan dari seorang ibu, sejak aku terlahir di dunia."
Harvez tertegun mendengar kalimat yang keluar dari mulut Kevin. Pria itu bahkan sampai menoleh dan memperhatikan Kevin sejenak.
Kali ini Harvez memilih diam meski dalam hatinya banyak yang ingin dia ketahui tentang Kevin.
Sebelum sampai ke kantor Black diamond, terlebih dulu, Harvez mengajak Kevin membeli beberapa baju kerja. Sesampainya di tempat yang dituju, mereka langsung disambut dan dilayani dengan baik.
"Oh iya, dari kemarin aku perhatikan, kamu tidak main ponsel, Vin? Kamu nggak punya ponsel apa bagaimana?" tanya Harvez, setelah urusan membeli baju selesai dan mereka melanjutkan perjalanan.
"Ponselku sengaja aku tinggal di rumah Dirgantara," jawab Kevin. "Itu ponsel yang dibelikan mereka, jadi aku tidak mau membawanya."
"Astaga... terus, selama tinggal di sana, kamu tidak pernah malawan apa bagaimana?" Rasa penasaran Harvez tentang Kevin kembali muncul.
"Percuma melawan," jawab Kevin tanpa memandang lawan bicaranya. "Sekalipun aku berada dalam posisi yang benar aku akan tetap disalahkan oleh mereka."
"Ya ampun... parah amat Dirgantara," Harvez jadi kesal sendiri. "Aku pikir sikap keras Dirgantara, hanya ditunjukan pada musuhnya saja. Ternyata sama anaknya juga."
"Tapi itu hanya berlaku bagi aku, Om," balas Kevin. "Selama aku tinggal di sana, aku hampir tidak melihat dia memarahi anak yang lain, dengan emosi berlebih."
"Hah! Benar-benar keterlaluan! Kok bisa ada orang tua sejahat itu," geram Harvez nampak begitu jelas.
Kevin malah tersenyum tipis. "Om sendiri bagaimana? Om sudah menikah?"
"Om udah punya anak dua," jawab Harvez. "Om, yang udah berusaha berlaku adil saja, kadang merasa bersalah jika salah satu anak Om, mengeluh kalau Om, tidak adil di mata anak-anak. Tapi Dirgantara, bisa-bisanya dia seperti itu. Padahal muka umum, dia selalu bersikap baik. Bahkan sampai sering melakukan acara amal dengan anak anak kurang mampu."
Kevin kembali tersenyum. Miris memang, tapi itulah yang orang lain lihat. Salah satu penyebab Dirgantara terkenal, adalah kebaikannya di depan media. Bahkan Dirgantara tidak segan-segan menunjukan kasih sayangnya kepada keluarganya di depan para wartawan dan rekan bisnis, kecuali kepad Kevin.
"Terus, kenapa kamu tidak pergi dari dulu saja? Kata Nadira, kamu lebih nyaman tinggal di kampung?"
"Entahlah, Om, aku juga tidak tahu, kenapa aku bisa sebodoh itu," ucap Kevin. "Mungkin saat itu aku masih terlalu naif, berharap Dirgantara bisa berubah. Tapi nyatanya..." Kevin tidak melanjutkan ucapannya, tapi sukses membuat dia dan lawan bicaranya, sama-sama tersenyum miris.
"Ya udah, lupakan masa lalu kamu. Mulai sekarang, kamu harus bangkit. Apa lagi sekarang kamu menyandang gelar keluarga Hernandez. Tunjukan pada keluargamu, kalau kamu bisa hidup dan sukses tanpa mereka."
Kevin kembali tersenyum dan hatinya terasa menghangat. Kevin senang mendapat dukungan seperti itu.
Sebagai laki-laki yang menginjak dewasa, tentu saja Kevin juga sudah memikirkan, tentang apa yang ingin dia lakukan guna menghadapi masa depannya.
Karena terlalu asyik berbincang, tanpa terasa, kini mobil yang dikendarai Harvez, telah sampai di area parkir khusus gedung Black diamond.
Kevin nampak canggung dan gugup, karena baru kali ini Kevin menginjakkan kakinya di gedung pencakar langit yang isinya orang-orang hebat.
Kedatangan Kevin sontak menjadi perhatian semua orang yang ada di dalam gedung. Bisik bisik pun mulai terdengar dan mereka saling menerka dan bertanya tanya, siapa anak muda yang datang bersama salah satu orang paling berpengaruh di gedung tersebut.
"Selamat datang, anak muda," ucap Hernandez begitu Kevin masuk ke ruang kerjanya. "Sini, Nak," pria itu memberi kode agar Kevin duduk di sebelahnya.
Selain Hernandez, di sana juga dua pria lain yang menatap kedatangan Kevi. Tatapan mereka, seakan menyelidik kala Kevin melangkah dan mendekat hingga bersiap untuk duduk di sebelah Hernandez.
"Tunggu sebentar, Tuan," ucap Kevin tiba-tiba. Sikap anak muda itu tentu saja menjadi perhatian semua mata yang ada di sana. Kevin bahkan mengurungkan niatnya untuk duduk dan dia bergerak maju perlahan dengan kening berkerut dan tatapan yang sangat fokus.
"Ada ap..." suara Harvez langsung terhenti kala Kevin memberi kode untuk diam.
Semua mata terus memandangi gerak gerik Kevin hingga saat tangan Kevin meraih sesuatu dan menunjukannya kepada semua orang, Hernandez dan yang lainnya seketika terkejut bersamaan.
####
Di tempat lain, tepatnya di dalam gedung pencakar langit lainnya, nampak seorang pria sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Tumpukan dokumen di atas meja membuat mata pria itu sangat fokus sampai dia tidak menyadari orang yang bekerja sebagai sekretarisnya, mendekat ke arahnya.
"Permisi, Tuan Dirgantara," sapa sang sekretraris. "Ada orang yang ingin bertemu dengan anda."
Dirgantara sontak mendongak. Ada orang ingin bertemu dengan saya?" Sang sekretaris mengiyakan. "Bukankah hari ini tidak ada rapat dan tidak ada acara meeting dengan siapapun?"
"Saya mengerti, Tuan, tapi orang itu memaksa untuk bertemu dengan anda."
"Tidak!" Balas Dirgantara tegas. "Bilang sama dia, kalau mau bertamu dan membicarakan bisnis, buat janji dulu. Dan kamu juga harus pastikan, perusahaan yang dia ajukan untuk kerjasama, termasuk perusahaan kecil atau besar."
"Kalau ini kerja sama untuk menghancurkan Black Diamond, apa anda tidak berminat?" Tiba-tiba suara lain menggema dan mengusik telinga Dirgantara dan sekretarisnya.
Dirgantara seketika melempar tatapan ke arah sumber suara. "Menghancurkan Black Diamond? Apa maksud anda?"
Sosok pemilik suara itu tersenyum sinis sembari melangkah mendekat. "Bukankah anda, sangat menginginkan berada di atas Black Diamond, dan menjadi perusahaan nomer satu? Jika anda ingin semua itu terwujud saya bisa membantu anda dan kita bisa bekerja sama untuk menghancurkan Hernandez, bagaimana? Tawaran yang bagus bukan?"
Dirgantara tidak langsung menanggapi. Pria itu terdiam dan matanya menatap sosok tamunya yang masih cecengesan.
"Katakan dulu, apa rencanamu?" ucap Dirgantara sinis. "Rencana yang kamu tunjukan harus benar-benar brilian dan memiliki peluang keberhasilan yang sangat besar, baru, aku bisa mempertimbangkannya."
"Tenang saja," pria itu menyeringai. "Setelah anda mendengarnya anda pasti akan sangat tertarik."