Mira tiba-tiba terjebak di dalam kamar hotel bersama dengan Angga—bosnya yang dingin, arogan, dan cuek. Tak disangka, setelah kejadian malam itu, hidup Mira benar-benar terbawa oleh arus drama rumah tangga yang berkepanjangan dan melelahkan.
Mira bahkan mengandung benih dari bosnya itu. Tapi, cinta tak pernah hadir di antara mereka. Namun, Mira tetap berusaha menjadi istri yang baik meskipun cintanya bertepuk sebelah tangan. Hingga suatu waktu, Mira memilih untuk mundur dan menyudahi perjuangannya untuk mendapatkan hati Angga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SAYA BUKAN PELACUR!
"SHARELOC!" Angga mengetik pesan kepada Deva dengan font besar-besar, seakan cukup menggambarakan rasa marah di dadanya.
Deva pun tersenyum puas. Sekali lagi, dia membaca pesan dari Angga tapi tidak membalasnya.
"Dev! Shareloc sekarang! Gua serius!" Angga kembali mengirim pesan.
"Mau ngapain? Gua lagi sibuk!" balas Deva.
"Kamu dimana?!" Angga kian menggebu.
"Kamu dimana? Dengan siapa? Sekarang berbuat apa?" Deva mengetik lirik lagu, lalu tertawa kuda.
"Fuck!" Angga pun kian kesal dibuat.
"Loe jangan cari mati sama gua!" ujarnya.
"Ngga ... Ngga ... hidup loe berat amat ya? Sampai susah banget diajak bercanda? Suram banget yeee hisup loe? Kaku amat jadi orang, heheheh." Deva pun terkekeh.
"Awas kalau loe berani macam-macam sama Mira!" Angga kembali mengetik pesan dengan kesal.
"Sorry, gua kagak ada waktu buat ngeladenin orang aneh macam loe!" Deva pun tersenyum menang.
"Dasar bedebah!" Angga mendengkus.
*****
Angga merasa sangat gusar karena seharian Mira tak ada kabar. Bahkan gawainya pun tidak aktif. Pria itu terpaksa harus mengurungkan niatnya keluar dengan Carla karena pikirannya kacau.
"Halo, Sayang ... nanti jadi nganter aku ke klinik kecantikan, kan?" tanya Carla di telepon.
"Duh, maaf ya, aku gak bisa nganter kamu ke klinik, aku ada meeting dadakan dengan partner baru. Aku lagi sibuk baget buat nyiapin meetingnya," kata Angga, dia berbohong.
"Yaahh ... padahal kamu udah janji, lhoo," Wanita itu terdengar kecewa.
"Maaf, Sayang. Kamu ke klinik dengan Ruby saja, yah. Nanti aku transfer deh, buat bayar bill di klinik," jawab pria itu.
"Okay, Sayang, ma'acciihh." Carla pun terdengar girang.
"Tapi janji lho yaaa ... besok-besok gak boleh ingkar," tandasnya.
"Iya, Sayang," kata Angga, lalu panggilan pun ia matikan.
Angga memang sengaja berbohong kepada Carla karena dia sedang tidak mood untuk kemana-mana. Dia hanya duduk di depan meja kerjanya dan membiarkan semua pekerjaan terbengkalai. Dia juga kesal karena Rika juga mendadak libur dengan alasan sakit.
"Sebenarnya apa peduliku dengan Mira? Kenapa aku harus repot-repot mengurusi wanita itu? Toh dia sudah dewasa, dia bukan anak kecil atau balita yang harus selalu dipikirkan atau dikhawatirkan." Pria itu terlihat memijit pangkal hidungnya untuk mengusir rasa jengkel di dalam kepalanya.
Angga terus uring-uringan dan semua pekerjaannya tak tersentuh sama sekali. Hingga tepat pukul 2 siang, dia memilih pulang dengan alasan kurang enak badan.
****
"Mira gak pulang, Bik?" tanya Angga saat sampai di rumah.
"Belum, Mas," kata Bik Wati.
"Heeemmmbb, kalau dia datang, bangunin saya, ya. Saya mau istirahat sebentar, kepala saya pusing," sahut pria dingin itu.
"Baik, Mas." Bik Wati pun mengangguk paham.
Angga langsung naik ke lantai 2 dan segera naik ke ranjang tidurnya. Dia sangat lelah memikirkan Mira yang biasanya tidak ia pikirkan.
"Entah kenapa, semakin kesini, aku semakin memikirkan Mira," bisiknya sambil memaksa matanya terpejam.
"Apakah ini hanya rasa bersalah karena aku telah menikmati tubuhnya? Bahkan aku telah menyesap madu keperawanannya." Hati Angga kian bergejolak.
"Apakah ini hanya rasa kasihan karena dia bersedia kunikahi dengan kehidupan pernikahan yang penuh drama ini? Ah, bukankah dia juga dibayar mahal oleh Papa?" gerutunya berulang kali.
Anggapun akhirnya tertidur dengan sendirinya setelah banyak bermonolog dengan hati kecil dan logika yang ia miliki.
****
"Mira sudah pulang, Bik?" ucapnya saat ia bangun tidur dan segera turun ke lantai bawah.
"Belum, Mas Angga," sahut Bik Wati.
"Jam berapa ini?" Pria itu mendengkus.
Diliriknya jam di layar gawai yang ia pegang.
"Sudah jam 7 malam," dengusnya, lalu duduk di ruang tengah.
Rasanya bokong Angga baru menempel di sofa, saat tiba-tiba bel berbunyi.
TING TONG
Angga pun segera beranjak dan membuka pintu.
"Dari mana saja?" sentaknya saat melihat Mira berdiri di depan pintu rumah besar itu.
"Kerja," sahut Mira sekadarnya.
"Kerja apaan yang berangkat petang pulang petang begini?" Pria itu menarik tangan Mira dan menutup pintu dengan keras.
BRUAK.
Mira mendengkus, lalu berjalan gontai melewati ruang tamu.
"Kenapa handphone mu gak aktif?" Angga mengekor di belakang istrinya dengan perasaan gusar.
"Lowbat," jawab Mira sekenanya, sedikit ngasal dan juga bohong.
"Lowbat? Apakah kamu tidak punya teman yang sudi meminjamimu charger di kantor? Atau ... kantormu berpindah ke gurun pasir atau ke pantai, dan sejenisnya, sehingga tak memungkinkan ada listrik untuk mengecas handphonemu?" Angga menyeringai, dia seakan menyindir jika Mira hari ini tidak benar-benar bekerja.
"Bukan urusanmu." Mira mengabaikan suaminya dan berlalu ke kamar tamu yang menjadi tempatnya beristirahat.
"Kenapa kamu jadi sinis begitu? Kamu sensi amat sih?" Angga mencebik, lalu mengekor masuk ke kamar istrinya.
"Biasakan ijin dulu sebelum masuk ke kamar orang lain!" Wanita itu berucap tanpa melihat Angga sama sekali.
"Wow ...! Jadi sekarang begitu?" Angga tergelak, dia segera duduk di ranjang tidur istrinya dengan senyum misterius.
Mira pun segera mengambil handuk dan baju ganti, lalu keluar dari kamarnya itu.
"Kamu mau kemana?" Angga kembali menarik bahu istrinya.
"Mandi di kamar mandi Bik Wati! Kalau kamu tidak mau keluar dari kamar ini, aku yang akan keluar!" Mira pun langsung ke kamar pembantu dan mandi di kamar mandi Bik Wati.
Angga menarik nafas pendek, lalu tersenyum sinis sambil menatap punggung Mira yang berjalan menjauh darinya.
"Kenapa dia jadi dingin dan judes begitu?" sungutnya.
Angga pun masih berada di kamar istrinya sampai wanita itu selesai mandi di kamar mandi pembantu. Dia merasa belum puas dan harus mendapatkan jawaban atas kepergian Mira hari ini.
Tak berselang lama, Mira pun kembali ke kamarnya. Dia mendengkus saat melihat Angga masih ada di sana.
"Anggap saja tidak ada orang." Hati Mira berbisik.
Dia langsung duduk di depan meja rias dan memakai skin care.
"Mir ... please katakan dengan jujur, kamu seharian ini kemana?" Angga mendekat, dan tangannya mulai menyentuh pundak wanita itu.
"Kerja," kata Mira spontan.
"Kerja di kantor Deva?" Angga kembali bertanya.
"Heeemmmnmbb." Wanita itu mengangguk.
"Kamu sudah makan?" Angga mulai melunak.
"Heemmbb," sahut Mira.
Angga melihat Mira tak menoleh ke arahnya sama sekali. Tatapan wanita itu begitu dingin dan wajahnya datar. Wanita itu terus fokus dengan serangkaian skincare yang ia poleskan ke wajah cantiknya. Setelah semuanya usai, Mira menoleh kepada Angga dengan tatapan dingin, masih dingin dan tanpa ekspresi.
"Bisa keluar dari kamar ini? Aku mau tidur," ucapnya lalu naik ke atas ranjang.
"Mir ... kenapa kamu jadi berubah begini? Kenapa kamu jadi dingin kepadaku?" Angga mendekati istrinya, dia juga naik ke atas ranjang.
Mira hanya diam. Dia benar-benar lelah dengan sikap Angga yang plin plan dan tidak punya pendirian. Bagaikan air di atas daun talas.
"Mir ... apakah kamu bad mood karena aku meledekmu tentang kata-kata I love you itu? Apakah kamu marah karena aku menertawakanmu? Itu kan hanya gurauan." Angga kian mendekatkan tubuhnya, dia kembali bergairah ingin menyentuh tubuh Mira yang sudah seperti candu bagi pria itu.
"Mir ... aku tahu kita tidak saling mencintai, tapi paling tidak ... kita jangan saling membenci," sambungnya, lalu memegang tangan Mira dengan lembut.
"STOP, PAK ...! Jangan sentuh saya!" Mira langsung menarik tangannya, lalu menjauh dari tubuh suaminya itu. Nafasnya memburu dan kilatan kebencian itu tersirat di dalam manik legamnya.
"Saya bukan pelacur yang bisa kamu pakai sesuka hatimu!"
"Saya bukan lonte yang hanya kamu dekati saat kamu butuh partner untuk ngeuwe!"
"Saya bukan wanita malam yang malam hari kamu kecup dengan lembut dan siang hari kamu sepelekan!"
"Saya bukan wanita penghibur yang hanya kamu datangi saat kamu butuh teman bergumul di atas ranjang, lalu kamu tinggal setelah kamu puas mengeluarkan sp*rmamu!"
"Saya bukan wanita murahan yang hanya kamu gunakan, kamu kawini, lalu kamu jadikan tempat menampung benihmu lalu kamu bilang semuanya hanya gurauan!"
"Kamu itu bullshit ...!" Mira mencecar suaminya dengan mata melotot dan suaranya yang berat.
Angga pun terdiam. Dia tak mengira jika Mira akan semarah itu.
"Pergilah dari kamar ini sekarang, atau aku yang akan keluar dari rumah ini!" pekiknya dengan tatapan tajam.
"Mir ... aku ini salah apa?" Pria itu menatap Mira dengan wajah bingung.
"Salahmu? Kamu bahkan tidak paham letak kesalahanmu dimana?" Mira tergelak.
"Pergilah dari kamarku, mulai sekarang, jangan berbicara denganku lagi sampai proses perceraian kita usai," tegasnya.
"Cerai? Kamu ingin kita bercerai? Hahaha, tidak semudah itu, Mir." Pria itu tertawa kuda.
"Dan akupun tidak mau bercerai sekarang. Bukankah waktunya belum tiga bulan?" sambungnya dengan wajah yang mulai kesal juga.
"Tidak perlu menunggu tiga bulan. Aku tidak mau menjalani pernikahan dengan pria tidak peka sepertimu!" Mira menatap Angga dengan tajam, sorotnya penuh dengan kemarahan.
"Apa kamu bilang? Tidak peka?" Angga mencebik.
"Pergilah dari ruangan ini sebelum aku memesan ojol untuk pergi dari rumahmu saat ini juga!" kata Mira dengan penuh penekanan.
Pria itu pun mengangguk-angguk, lalu menyeringai.
BRUAK
Dia pun pergi dari hadapan Mira dan membanting pintu kamar istrinya dengan sekuat tenaga.