Hidup Jema berubah sejak ayahnya menikah lagi saat ia kelas 6 SD. Sejak itu, ia tinggal bersama ibu tiri yang semena-mena dan semuanya makin memburuk ketika ayahnya meninggal.
Saat SMA, ibu tirinya menikah dengan seorang duda kaya raya yang punya tiga putra tampan. Jema berharap hidupnya membaik… sampai ia melihat salah satu dari mereka: Nathan.
Musuh bebuyutannya di sekolah.
Cowok arogan yang selalu membuat hidupnya kacau.
Dan sekarang, jadi saudara tirinya.
Tinggal serumah membuat semuanya jadi lebih rumit. Pertengkaran mereka semakin intens, tetapi begitu pula perhatian-perhatian kecil yang muncul tanpa sengaja.
Di antara benci, cemburu, dan konflik keluarga perasaan lain tumbuh.
Perasaan yang tidak seharusnya ada.
Perasaan yang justru membuat Jema sulit bernapas setiap kali Nathan menatapnya lebih lama daripada seharusnya.
Jema tahu ini salah.
Nathan tahu ini berbahaya.
Tapi hati tetap memilh bahkan ketika logika menolak.
Karena siapa sangka, musuh bisa menjadi cinta pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecupan Singkat
Hukuman Nathan masih berjalan. Namun hari ini terasa lebih lengang dari biasanya. Tempat penampungan sampah sekolah tidak seramai hari-hari sebelumnya, membuat Nathan akhirnya bisa bersantai sejenak.
Ia duduk sendirian di kursi taman, tepat di bawah pohon besar yang rimbun. Meski dedaunannya lebat, sinar matahari tetap menyelinap turun, membentuk bercak-bercak cahaya hangat di atas tanah dan tubuhnya. Nathan memejamkan mata, membiarkan angin mengusap wajahnya, seolah ingin menenangkan pikirannya yang sejak pagi kacau.
Dari kejauhan, Jema melihat sosok itu.
Nathan.
Ia menggenggam sebuah paper bag di tangannya. Langkahnya sempat ragu, tapi akhirnya ia tetap berjalan mendekat. Tanpa berkata apa-apa, Jema meletakkan paper bag itu di samping Nathan.
Nathan tersentak, membuka matanya setengah.
“Ngapain lo?”
“Itu dari pacar lo,” jawab Jema datar.
“Dia nyamperin gue, nyuruh kasih itu ke lo.”
“Buat lo aja…”
“Hah?” Jema menatapnya tidak percaya.
“Lo gila? Yang ada gue diteror habis-habisan sama dia.”
“Yaudah kalau gitu buang.”
“Wah, lo parah banget sih…”
Nathan menarik napas panjang, jelas menahan emosi.
“Jema, gue lagi nggak pengen ribut hari ini. Lo letak sini aja. Mau gue buang atau apa pun itu terserah gue.”
Jema terdiam.
Aneh.
Biasanya cowok ini sudah balik nyolot atau cari gara-gara. Tapi sekarang Nathan justru kembali merebahkan tubuhnya di kursi, satu tangan menutup matanya, seolah dunia di sekitarnya tidak penting.
Jema menatapnya beberapa detik, lalu duduk di sampingnya.
“Mau ngapain lagi?” tanya Nathan, masih dengan mata terpejam.
“Bangun.”
Nathan mendecak kesal.
Namun sebelum ia sempat bergerak, Jema sudah mendekat. Tangannya menyentuh pipi Nathan dengan hati-hati, lalu menempelkan plester luka tepat di memar itu.
Sekejap, Nathan membeku.
Aroma itu lagi.
Wangi manis yang lembut, ramah, dan entah kenapa terasa sangat familiar—persis seperti aroma yang semalam menyelimuti kamarnya. Wangi yang tidak menyengat, tidak berlebihan, justru menenangkan. Seperti permen kapas bercampur sabun bayi, bersih dan hangat, membuat siapa pun yang menciumnya merasa nyaman tanpa sadar.
“Aww—”
Nathan refleks membuka mata. Ia terkejut saat mendapati wajah Jema begitu dekat, hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahnya.
“Lo itu senang banget ya babak belur kayak gini,” ucap Jema santai, lalu memukul pelan pipi Nathan yang sudah diplester.
“Awww, sakit, Jema,” keluh Nathan spontan.
Jema terkekeh pelan. Ada nada puas dalam tawanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu berdiri dan pergi meninggalkannya begitu saja.
Nathan tetap duduk di sana, menatap punggung Jema yang menjauh, tangannya refleks menyentuh plester di pipinya.
Dan untuk pertama kalinya hari itu, ia lupa—
bahwa ia sedang menjalani hukuman.
Melihat paper bag masih berada di sampingnya, Nathan menghela napas kasar. Tangannya mengusap rambutnya dengan gerakan frustasi, lalu tanpa ragu ia bangkit dan melemparkan paper bag itu ke dalam tong sampah. Masuk. Sempurna.
Seolah beban kecil yang mengganggu pikirannya ikut lenyap bersama benda itu.
Nathan sama sekali tidak ingin berurusan dengan Pamela.
Bukan karena gadis itu kurang cantik—Pamela justru tipe yang selalu jadi pusat perhatian. Tapi sejak awal, Nathan memang tidak pernah menyukainya. Sayangnya, Pamela justru sangat tergila-gila padanya.
Semua bermula dari hubungan ayah mereka.
Chandra dan ayah Pamela adalah sahabat lama dalam dunia bisnis. Beberapa kali Nathan terpaksa ikut makan malam bersama mereka, duduk rapi di meja panjang penuh basa-basi orang dewasa. Di setiap kesempatan itu, Pamela selalu ada. Duduk manis di samping ibunya, tersenyum padanya seolah mereka sudah memiliki masa depan bersama.
Suatu malam, ibunya Pamela bahkan terang-terangan berkata bahwa putrinya menyukai Nathan. Ia berharap—lebih tepatnya meyakini—bahwa Nathan dan Pamela kelak akan berjodoh dan menikah di masa depan.
Sejak saat itu, hidup Nathan berubah jadi mimpi buruk.
Pamela mulai selalu mengikutinya.
Ke mana pun Nathan sekolah, Pamela selalu ada di tempat yang sama. SD, SMP—bahkan sampai SMA—mereka selalu satu sekolah. Lebih parahnya lagi, Pamela selalu berakhir satu kelas dengannya.
Bukan kebetulan.
Bukan takdir.
Melainkan obsesi.
Dan satu-satunya alasan kenapa sekarang, di SMA, Pamela akhirnya berada di kelas yang berbeda dengan Nathan—
Adalah karena Nathan menipunya.
Ia dengan sengaja memberi informasi jurusan dan kelas yang salah, membiarkan Pamela memilih jalur yang tidak sama dengannya. Untuk pertama kalinya, Nathan merasa menang.
Sayangnya, kemenangan itu tidak bertahan lama.
Karena ternyata, Pamela tetap saja menemukan caranya sendiri untuk terus muncul dalam hidup Nathan—
tanpa pernah peduli apakah keberadaannya diinginkan atau tidak.
Saat jam istirahat tiba, Pamela sudah berdiri manis di depan kelas IPS—bersama geng kecilnya yang setia mengangguk dan terkikik. Sedang apa dia?
Jawabannya sederhana: menunggu pangerannya.
Begitu Nathan keluar kelas bersama Tian dan Raka, Pamela langsung bergerak cepat. Tanpa ragu ia mendorong bahu Tian ke samping, lalu menggandeng lengan Nathan dengan manja.
“Athan… jam istirahatnya sama aku ya,” ujarnya lembut dibuat-buat. “Kan kita udah lama nggak makan bareng.”
Nathan menahan napas. Muak.
Dengan satu gerakan tegas, ia menarik lengannya dari genggaman Pamela.
“Eitt… nggak bisa,” sela Tian santai. “Kita ada janji sama Nathan.”
“Ih, lo apa-apaan sih, Tian,” Pamela mendengus. “Gue pacarnya Nathan.”
“Haaa… pacar?” Raka menaikkan alis, pura-pura berpikir. “Kapan jadiannya yaaa?”
Tian langsung tertawa lepas, disusul Raka.
“Lihat tuh, Nathan. Mereka ngeledekin aku,” rengek Pamela, wajahnya dibuat memelas.
“Udah, nggak usah kekanakan bisa nggak?” Nathan menghela napas panjang. “Gue capek, Mel.”
“Nathan kok gitu sih… aku kan kangen,” suara Pamela melembut lagi, nyaris memaksa.
“Main bareng temen lo sana,” jawab Nathan datar. “Gue juga mau main bareng temen gue.”
“Nathan…”
“Please, Pamela.”
Nada itu bukan lembut, tapi tegas. Final.
Tanpa menunggu balasan, Nathan langsung melangkah pergi bersama Tian dan Raka, meninggalkan Pamela yang berdiri kaku di depan kelas—dengan gengnya yang tiba-tiba saja memilih diam.
***
Saat jam olahraga tiba, para siswa laki-laki sudah memenuhi kelas untuk berganti pakaian. Suasana ribut khas anak cowok memenuhi ruangan. Nathan berdiri di dekat pintu, mengunci pintu kelas agar tidak ada yang sembarangan masuk dan yang lain bisa berganti baju dengan lebih leluasa.
Di sisi lain, di dekat toilet perempuan, Jema baru saja menyadari sesuatu yang membuat jantungnya nyaris copot.
“Astaga… gue lupa kalau habis istirahat ada pelajaran olahraga.”
Jesika menoleh sambil menghela napas. “Yaelah, tadi udah gue ingetin. Lu lupa terus sih, Jem.”
“Yaudah, gue ke kelas dulu. Tunggu ya,” ujar Jema panik.
“Mau gue temenin nggak?”
“Nggak usah. Bentar doang.”
Jesika mengangguk dan menunggu di dekat toilet.
Sementara itu, Jema berlari kecil menuju kelasnya. Begitu sampai, ia langsung menarik gagang pintu—namun pintu terkunci.
Tok! Tok! Tok!
Ia menggedor pintu dengan cepat.
“Siapa itu, Than?” tanya Raka dari dalam.
“Nggak tau. Bentar gue cek,” jawab Nathan.
Nathan membuka kunci pintu. Namun karena dorongan Jema yang terlalu kuat, gadis itu langsung masuk tanpa kendali dan—bruk!—menabrak tubuh Nathan.
Bibir Jema tanpa sengaja menempel di dada bidang Nathan.
“Ngapain sih kalian—ASTAGA!”
Refleks Jema menutup matanya rapat-rapat begitu menyadari Nathan tidak mengenakan baju. Ia hampir berteriak, namun Nathan dengan sigap menutup mulutnya.
“Jangan teriak,” bisik Nathan tegas.
Wajah mereka sangat dekat. Terlalu dekat.
“Bilang, lo mau ngapain?”
“Awu… au… ambil baju…” suara Jema teredam di balik tangan Nathan.
“Hah? Lo ngomong apa sih?”
Jema menepuk-nepuk punggung tangan Nathan memberi isyarat.
“Oh—sorry,” gumam Nathan lalu melepaskannya.
“Gue mau ambil baju. Ketinggalan di laci,” ucap Jema buru-buru, masih menunduk.
“Bentar, gue ambilin.”
Nathan menutup pintu kembali.
“Siapa, Than?” tanya Tian curiga.
“Cewek,” jawab Nathan singkat.
Ia berjalan menuju meja Jema, membuka lacinya, dan benar saja—baju olahraga itu ada di sana. Nathan kembali ke pintu dan menyerahkan baju itu pada Jema.
“Nih.”
“Thanks—”
Namun baru saja Jema hendak pergi, Nathan menarik lengannya.
“Lo mau ngapain?” suara Jema mengecil, enggan menoleh.
Nathan mendekat dari belakang, lalu berbisik pelan tepat di telinga Jema.
“Awas aja kalau lo ngadu ke guru.”
“Iya… nggak akan,” jawab Jema cepat.
Nathan melepas lengannya. Tanpa menunggu satu detik pun, Jema langsung berlari menjauh, jantungnya berdegup tak karuan.