⚠️ sebelum baca cerita ini wajib baca Pengantin Brutal ok⚠️
Setelah kematian Kayla dan Revan, Aluna tumbuh dalam kasih sayang Romi dan Anya - pasangan yang menjaga dirinya seperti anak sendiri.
Namun di balik kehidupan mewah dan kasih berlimpah, Aluna Kayara Pradana dikenal dingin, judes, dan nyaris tak punya empati.
Wajahnya selalu datar. Senyumnya langka. Tak ada yang tahu apa yang sesungguhnya disimpannya di hati.
Setiap tahun, di hari ulang tahunnya, Aluna selalu menerima tiga surat dari mendiang ibunya, Kayla.
Surat-surat itu berisi kenangan, pengakuan, dan cinta seorang ibu kepada anak yang tak sempat ia lihat tumbuh dewasa.
Aluna selalu tertawa setiap membacanya... sampai tiba di surat ke-100.
Senyum itu hilang.
Dan sejak hari itu - hidup Aluna tak lagi sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim elly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 32
Suasana kelas siang itu begitu tenang.
Beberapa murid tampak menguap bosan, sebagian lain menatap papan tulis tanpa fokus.
Aluna, yang duduk di dekat jendela, tiba-tiba berdiri.
“Mau ke toilet bentar,” katanya pelan.
“Mau dianter, Al?” tanya Risa khawatir.
“No, it’s okay,” jawab Aluna singkat, lalu berjalan keluar.
Lorong sekolah terasa sepi. Cahaya matahari sore menyusup lewat jendela tinggi, menimbulkan bayangan panjang di lantai.
Langkah Aluna bergema pelan menuju toilet perempuan.
Setelah selesai, ia berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Pandangannya sempat kosong sejenak, sebelum ia menarik napas dan membuka pintu toilet.
Namun tiba-tiba—BRAK!
Pintu didorong keras dari luar, membuat Aluna terjengkang sedikit ke belakang.
Di hadapannya berdiri seorang pria dengan senyum menyebalkan—Baskara.
“Apa?” tanya Aluna datar, tak menunjukkan sedikit pun ketakutan.
“Adik tiri gue ternyata cantik juga, ya,” ucap Baskara sambil tersenyum menggoda.
Tangannya menekan tembok, menghalangi Aluna keluar.
Tatapan Aluna dingin, menusuk.
“Emang gue cantik. Terus, mau apa lo?” balas Aluna sambil melipat tangan di dada.
Baskara terkekeh pelan. “Gue suka sama lo.”
“Nggak lucu,” ucap Aluna tanpa ekspresi.
“Serius. Gue suka sama lo,” ulang Baskara, menatapnya lekat.
“Gue nggak. Sorry,” jawab Aluna singkat.
Baskara masih tak menyerah. “Tapi gue bakal buat lo jatuh cinta sama gue.”
Aluna mendengus pelan, lalu tersenyum sinis.
“Oh ya? Pede banget. Lo pikir punya apa buat dapetin gue?”
“Gue cuma punya hati,” jawab Baskara sok romantis.
Aluna menatapnya lama, lalu tertawa kecil.
“Emang lo makan pakai hati? Minum pakai hati? Jalan-jalan juga pakai hati?” ucapnya sarkastik.
Baskara sempat terdiam, tapi masih berusaha santai.
“Ya, kalau untuk itu... ada lah. Tenang aja.”
“Sorry, gue nggak ada waktu ladenin lo,” ucap Aluna lalu melangkah pergi.
Namun tangan Baskara lebih cepat. Ia menarik bahu Aluna keras-keras, mendekatkan wajahnya, lalu mencium bibirnya tanpa izin,gerakannya kasar dan memaksa ia meraup bibir Aluna melumatnya hingga Aluna membeku sejenak—shock, marah, jijik.
Refleks, ia mendorong tubuh Baskara sekuat tenaga dan menampar pipinya keras hingga telapak tangannya terasa perih.
PLAAAAK
“KURANG AJAR LO!” bentaknya.
"Bukannya dulu lo ingin gue cium lo, Al." ucap Baskara sambil tersenyum penuh kemenangan, ia memegangi pipinya yang panas dan merah.
"Najis, BRENGSEK lo anjing," Aluna sangat marah ia pergi dengan mata berkaca-kaca.
“Akhirnya gue bisa cium lo, cewek sialan,” gumamnya pelan.
Beberapa menit kemudian di kelas.
Aluna masuk dengan wajah kesal, menahan sakit di tangannya, matanya masih berkaca-kaca.
Ray langsung menatapnya khawatir.
“Kenapa?” bisiknya pelan.
“Nanti aja,” jawab Aluna datar, duduk tegak sambil menatap papan tulis kosong.
Pelajaran terakhir pun usai. Guru keluar, meninggalkan suasana kelas yang mulai riuh.
“Lo kenapa, Al?” tanya Risa cemas, melihat tangan Aluna yang tampak merah.
“Tangan gue sakit,” ucap Aluna pelan.
“Kenapa sayang?” Ray menatapnya semakin khawatir.
“Aku... nampar Baskara. Dia cium aku dengan paksa jijik ikh,” jawab Aluna manja tapi jelas.
Sekejap suasana hening.
Ray terpaku, matanya membulat penuh amarah.
“APA?! DIA NGELAKUIN APA?!”
Ray langsung bangkit, melangkah cepat ke arah bangku belakang, menarik kerah baju Baskara, dan tanpa basa-basi menghantamkan tinjunya ke wajah Baskara.
BUKKK
Satu pukulan. Dua. Tiga.
Di wajah dan perut Baskara.
“Lo berani sentuh pacar gue, ANJING!” teriak Ray, amarahnya meluap.
Aluna hanya duduk diam, menatap lurus tanpa ekspresi.
Risa mengusap tangan Aluna pelan. “Sakit banget, ya?”
“Brengsek dia,” gumam Tari dari sebelah.
Setelah beberapa pukulan keras, wajah Baskara berlumur darah.
Aluna akhirnya berdiri, menghampiri Ray.
“Udah, Ray... kasian, anak orang,” ucapnya dengan senyum dingin.
Ray mendengus kasar, lalu meludah ke arah Baskara.
“Sekali lagi lo sentuh Aluna... mati lo.”
Baskara terkulai di lantai, wajahnya bengkak. Ia berusaha bangkit, menahan perutnya yang sakit.
“Sialan,” gumamnya pelan."
Di parkiran sekolah.
Robi sedang duduk di motor, menunggu Baskara.
Aluna lewat, lalu berhenti sebentar.
“Temen lo butuh bantuan,” ucap Aluna datar sambil tersenyum tipis.
Robi menatap heran. “Kenapa dia?”
“Dia cari masalah sama gue. Makanya hampir mati. Bawa dia berobat, dan bilang... jangan macam-macam kalau masih sayang nyawa,” ucap Aluna dingin.
Ia pun melangkah pergi, masuk ke mobil Ray yang sudah menunggunya.
“Ah, buat ulah apalagi sih si Baskara,” gerutu Robi kesal, lalu berjalan ke kelas.
Di sana, Baskara masih duduk lemas, wajahnya lebam.
“Lo nyari masalah apalagi sih, Bas?” tanya Robi, membantu temannya berdiri.
Baskara tersenyum pahit. “Gue cuma penasaran sama si Aluna. Tadi gue cium dia, pacarnya ngamuk.”
“Gila lo! Parah, nekat banget,” sahut Robi kesal.
Mereka berjalan perlahan keluar dari sekolah yang sudah sepi.
Dalam mobil, Ray melirik tangan Aluna.
“Tangan kamu udah nggak sakit?”
“Nggak. Tangan kamu yang sakit, Ray,” jawab Aluna pelan.
“Dikit,” ucap Ray dengan senyum kecil.
“Aku obatin, ya?”
“Boleh,” jawab Ray lembut.
"Kenapa, dia bisa cium kamu?" Tanya Ray sambil menatap Aluna.
"Aku nggak tau Ray, dia datang buka pintu toilet dengan kasar trus dorong aku ke tembok,"
"Apa, si brengsek itu," Ray menghela nafasnya ia terpancing emosi.
"Jangan terpancing Ray, kayaknya dia punya rencana dech," ucap Aluna sambil menatap Ray senyum tipisnya terbentuk.
Ray yang masih emosi menatap Aluna ia mencoba tenang, "aku nggak suka kalo cara dia main fisik ke kamu,"
"Kita buat rencana lain, ok. Dia nggak tau sedang berhadapan dengan siapa," Aluna tersenyum misterius.
Ray tersenyum ia menggenggam tangan Aluna ia merasa khawatir dengan perseteruan antara Aluna dan Baskara.
Mobil pun melaju cepat meninggalkan sekolah, sore itu tenggelam bersama amarah yang belum sepenuhnya reda.
Bersambung...
tapi aku suka ama anaknya🤣