Istriku menganut childfree sehingga dia tidak mau jika kami punya anak. Namun tubuhnya tidak cocok dengan kb jenis apapun sehingga akulah yang harus berkorban.
Tidak apa, karena begitu mencintainya aku rela menjalani vasektomi. Tapi setelah pengorbananku yang begitu besar, ternyata dia selingkuh sampai hamil. Lalu dia meninggalkanku dalam keterpurukan. Lantas, wanita mana lagi yang harus aku percaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan Yang Aneh
🌸
🌸
“Sudah jam segini kenapa dia belum datang?” Alendra menatap jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Ini bahkan sudah terlalu siang baginya untuk menunggu sarapan, padahal Asyla biasa menyiapkannya sejak jam 6.
Sudah dua kali pula dirinya keluar dari pekarangan sekedar untuk memeriksa, apakah wanita itu sudah tiba atau belum.
Tidak ada kabar, tidak ada pemberitahuan. Bahkan tidak ada percakapan kemarin sebelum asisten rumah tangganya itu pulang soal tidaknya dia masuk bekerja hari ini.
“Hallo, Mas?” Suara pak Pardi menjawab panggilan.
“Hari ini Asyla tidak datang untuk bekerja. Apa dia mengundurkan diri?” Segera saja dia bertanya.
“Mengundurkan diri?”
“Ya.”
“Apa dia memberi kabar?”
“Sama saya nggak, mungkin sama pak Pardi?”
“Nggak ada juga, Mas. Memangnya kemarin nggak bilang kalau dia nggak akan masuk hari ini?”
“Tidak ada. Setelah ngobrol sebentar dia langsung pulang.”
“Sebentar saya hubungi kakak iparnya dulu.”
“Baik.” Lalu Alendra kembali ke dalam rumah.
Rasanya aneh. Keheningan melanda ruangan itu dalam sekejap mata. Biasanya ada bau masakan menguar di udara, dan rasanya menyenangkan ada orang lain di rumah itu meski Asyla seringnya bekerja dalam diam. Wanita itu tidak akan bicara jika pekerjaannya belum selesai.
Alendra kemudian menduduki kursi makan. Biasanya sang asisten rumah tangga segera meletakkan kopi sus* kesukaannya tanpa diminta. Dan sebulan belakangan dia terbiasa dengan itu.
Sementara menunggu kabar dari pak Pardi, Alendra sengaja membuat kopi untuk dirinya sendiri. Sebuah cangkir keramik dia ambil dari rak penyimpanan, lalu mengisinya dengan dua sendok teh kopi hitam dari dalam toples. Ditambahkannya kental manis seperti biasa, kemudian terakhir dituangkannya air yang sudah lebih dulu dia didihkan.
Wangi khas yang menyenangkan segera memenuhi indra penciuman, dan Alendra kembali ke tempat duduknya. Bermaksud untuk menikmati minuman itu selagi masih panas. Namun dia segera berhenti di sesapan pertama saat pengecapnya merasakan hal yang berbeda.
Kopi ini … tidak seperti yang Asyla buatkan. Tidak enak dan terasa hambar. Apa dirinya kurang menambahkan sesuatu? Dia menatap minuman yang masih mengepulkan uap tersebut.
Tapi tidak. Ini seperti yang selalu dia buat bahkan semasa lajang. Orang-orang di rumahnya pun membuatnya seperti ini, lalu apanya yang salah?
Beberapa detik Alendra tertegun sebelum akhirnya ponselnya berbunyi, dan pak Pardi lah yang menghubungi.
“Bagaimana, Pak?” Dia langsung bertanya.
“Nomor kakak iparnya nggak bisa saya hubungi, Mas. Nggak aktif.”
“Apa tidak ada nomor lain? Tetangga, misalnya? Atau istri pak Pardi?”
“Istri saya nggak pegang hape, sedangkan anak saya sudah pergi sekolah pagi-pagi. Tetangga yang lain pasti sudah ke kebun kalau jam segini.”
“Aduh.”
“Mungkin dia sakit, Mas?”
“Masa? Kemarin nggak apa-apa, Pak.”
“Mungkin dari tadi subuh.”
“Hmm ….”
“Biarkan saja dulu satu atau dua hari. Siapa tau Asyla sakit dan butuh istirahat. Atau mungkin nanti ada yang datang memberi tau.”
“Begitu?”
“Ya, Mas.”
“Baiklah.” Entah kecewa atau apa, yang pasti perasaannya saat ini tidak baik-baik saja.
“Ah, nggak ada kopi hari ini,” gumamnya yang segera pergi setelah memastikan villa terkunci dengan benar.
***
“Bagaimana? Sudah membuat keputusan?” Maysaroh masuk ke dalam kamar Asyla yang memang tidak terkunci. Sudah beberapa jam setelah perdebatan mereka yang akhirnya membuat sang menantu mengalah. Tentu saja karena alasannya anak. Tidak ada yang bisa membuatnya tunduk selain keberadaan Tirta, dan ancamannya soal tidak boleh membawa anak itu memang berhasil membuatnya tetap tinggal.
Asyla hanya menoleh sekilas, lalu dia kembali menatap jendela. Kedua tangannya tak lepas dari sang putra yang sejak tadi juga tak mau beranjak.
“Ini mudah sekali, Syla. Sekali saja kamu bilang iya, maka semuanya akan segera diatur.” Maysaroh mendekat.
“Tanah itu kembali pada Ambu, hutang mu lunas dan kalian bisa hidup berkecukupan. Tirta bahkan bisa punya bapak.”
“Tapi kenapa harus begitu, Ambu? Saya yakin saya mampu membayar hutang itu dengan cara menyicil. Nggak apa-apa walau harus sampai bertahun-tahun.”
“Bodoh!” Maysaroh mendorong kepala menantunya. Meski pelan tetapi hal itu meninggalkan perasaan terhina di hati Asyla.
“Kamu perempuan bodoh! Mana ada yang mau hidupnya menderita seperti kamu? Hidup menjanda dengan satu anak yang masih kecil. Kamu pikir mudah apalagi dengan hutang yang begitu besar?”
“Saya janji, Ambu ….”
“Tidak ada janji-janji. Kalau kamu menikah dengan juragan Somad, hidupmu akan enak. Minta apa saja pasti dikasih. Jangankan uang, rumah dan tanah pun bisa kamu miliki.”
“Kalau begitu, kenapa bukan Ambu saja yang menikah dengan juragan Somad? Bukankah lebih pantas dengan Ambu? Kalau saya, seperti menikahi ayah mertua.”
PLAAKK!!
Lagi, sebuah tamparan mendarat di pipi Asyla. “Lancang kamu!” Kedua bola matanya menatap nyalang. “Laki-laki seperti juragan Somad seleranya berbeda. Dia menginginkan wanita yang lebih muda. Tidak lihat istri-istrinya seperti apa? Yang terakhir bahkan baru saja lulus SMA.”
Asyla terdiam sambil memegangi pipinya yang terasa sakit sekaligus panas. Ini adalah hari terburuk baginya selama hampir lima tahun tinggal di rumah itu. Dia merasa tidak berdaya sama sekali dan entah harus bagaimana keluar dari situasi seperti ini.
“Pikirkan lagi. Ambu membuatkan dua pilihan. Pergi kalau kamu menolak lamaran juragan Somad, tapi jangan bawa Tirta. Atau, menikahlah dengannya dan segala hal akan jadi milik kamu termasuk Tirta “ Maysaroh tidak akan membiarkan rencananya gagal lagi kali ini. Dirinya harus berhasil membuat Asyla menerima lamaran tuan tanah, atau kebun dan uang yang pria itu janjikan tidak akan jadi miliknya.
“Bagaimana? Ingat, jangan macam-macam apalagi berpikir untuk kabur. Kamu tau, Ahmad dan anak buahnya juragan Somad berjaga di depan.” Dia mendekati jendela dan menatap setidaknya dua orang yang sedang berjaga.
Sesak sekali rasanya. Zaman apa ini? Mengapa perempuan seperti dirinya tak punya pilihan? Apalagi setelah suaminya tak ada. Segalanya berubah begitu drastis seolah dirinya tak punya hak.
Dia tak mungkin bisa lari, apalagi bersembunyi. Memangnya siapa yang mau menampungnya? Bahkan sanak dan saudara tidak bisa dijadikan tempat berlindung di saat seperti ini.
Apa dirinya harus menyerah dan menerima lamaran juragan Somad? Rasanya tidak sudi. Selain usianya yang terlalu tua, juga tidak pernah ada dalam bayangannya untuk menjalani rumah tangga setelah kepergian Jaka. Setidaknya tidak saat ini.
***
Mobil yang dikendarai Alendra berjalan cukup pelan saat melewati perkampungan tempat tinggal keluarga pak Pardi. Dia
tau di tempat itu pula Asyla tinggal karena merupakan tetangga sopir keluarganya tersebut.
Jalan aspal yang menuju ke villa nya memang melewati sebuah kampung di bukit itu. Masuk ke sebuah jalan desa, sudah bisa dipastikan dirinya akan menemukan pemukiman warga.
Pohon dan tumbuhan pertanian mendominasi kebun-kebun di pinggir jalan, yang menunjukkan sebagian besar profesi orang di sana adalah petani sayuran. Dan itu membuat suasana nya terasa menyejukkan mata.
Sebuah gapura sebagai pintu masuk ke pemukiman lokal yang diingatnya adalah tempat tinggal keluarga pak Pardi. Alendra menghentikan mobilnya. Menimbang, apakah Asyla ada di sana dan dia harus melihatnya? Atau abaikan saja, mungkin wanita itu butuh waktu.
Hah?
Waktu untuk apa? Batinnya.
Bukan Asyla yang butuh waktu, tapi dirinya yang membutuhkan dia. Butuh masakannya untuk dimakan, butuh kopi untuk diminum, dan butuh teman berbicara walau seringnya tidak ada interaksi juga.
Tapi, gara-gara hari ini asisten rumah tangga nya itu tidak datang, dirinya terpaksa memesan makanan di kantin. Tapi semuanya diluar ekspektasi. Rasanya tidak sesuai dengan seleranya, dan menunya tak seperti yang biasa dia makan. Sepertinya, apa yang Asyla buat memang sudah menjadi standar tersendiri baginya.
“Apa dilihat saja ke sana, ya?” gumamnya dalam hati sambil menatap gapura tersebut.
“Masa tiba-tiba datang? Rasanya akan sangat aneh karena mengunjungi asisten rumah tanggamu sendiri.” Dia membatin.
“Tapi kalau tidak, bagaimana aku bisa tau keadaannya? Apa dia baik-baik saja? Atau anaknya yang tidak baik-baik saja?”
Alendra terdiam.
“Ya, mungkin anaknya demam. Di usia segitu kan katanya suka sering sakit?” Dia mengangguk-anggukkan kepala.
“Ya, pasti karena anaknya sakit makanya Asyla tidak masuk kerja. Baiklah.” Lalu dia kembali menghidupkan mesin mobilnya dan segera meninggalkan tempat tersebut.
🌸
🌸
Apa itu?🤭🤭
Ayo like, komen, gift sama vote nya dulu ya. Baru nanti kita up lagi.
Ini perempuan main nyelonong masuk tempat tinggal orang aja, bok permisi kek🤦♀️
Listy ini mangkin lama mangkin ngelunjak kayaknya
Ale bukan hanya ga rela kalo Syla disuruh-suruh tapi yang pasti dia ga rela Syla dilirik laki² lain.
Kekecewaan Ale akibat pengkhianatan sedikit demi sedikit mulai terkikis dengan kehadiran, Syla dan Tirta.