Abraham Barraq Alkahfi, pria berusia 28 tahun yang bekerja sebagai seorang montir dipaksa menikah dengan seorang Aura Falisha dari keluarga terpandang.
Demi identitas tetap tersembunyi dan keberadaannya tidak diketahui oleh banyak orang. Akhirnya Abraham yang tidak sengaja merusak mobil milik Aufa Falisha menerima pernikahan paksa tersebut.
Selama menjadi suami Aufa. Abraham mendapatkan hinaan, cacian dan direndahkan oleh keluarga Aufa. Bahkan Aufa sendiri benci padanya dan menolak kehadirannya. Sampai akhirnya semua mulai berubah saat identitas Abraham terbongkar.
Bagaimana reaksi semua orang saat mengetahui siapa sebenarnya Abraham Barraq Alkahfi lalu bagaimana perasaan Aufa, apakah dia mulai luluh atau dia memilih berpisah?
Update rutin : 09.00 & 14.00
Follow instagram author : myname_jblack
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon JBlack, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa Abraham Sebenarnya?
...Apapun kehidupan anaknya tapi seorang ibu tetaplah menjadi sosok utama dan sandaran untuk anak-anaknya. Bagaimana bahagianya hidup anak tapi mendengar kabar buruk orang tuanya pasti akan merasa dunianya runtuh dalam sekejap....
...~Abraham Barraq Alkahfi...
...****************...
Pria dengan celana panjang dan kaos serta jaket hitam terlihat berlari dari dalam mobil yang membawanya dari bandara ke rumah sakit. Perjalanan panjang dan melelahkan tak membuat tekadnya berhenti disana.
Dia meminta supir yang menjemputnya langsung membawa dirinya ke rumah sakit untuk menemui ibunya. Dia tak memperdulikan apapun. Tak peduli dirinya yang lelah, tak peduli matanya yang mengantuk tapi yang pasti. Dia hanya ingin melihat keadaan ibunya sekarang.
Kepergiannya dari rumah, menghilangnya dirinya membuat Abraham menyesal. Menyesal karena membuktikan dirinya harus pergi dari jangkauan orang tuanya. Namun, Abraham hanya ingin membuktikan bahwa dia bisa.
"Ibu!" Pekik Abraham saat dia membuka pintu kamar dan membuat semua yang ada di dalam menoleh.
Seorang perempuan cantik dengan usia sudah tak lagi muda terlihat duduk dengan menyandarkan tubuhnya. Wajahnya masih tetap manis dengan aura wibawa yang sejak dulu sudah ada dalam dirinya.
Mata tua itu menatap begitu rindu pada Abraham yang mulai berjalan mendekatinya.
"Ibu," Kata Abraham langsung mencium kedua kaki ibunya dan memeluk wanita dengan tangan yang diinfus oleh jarum.
"Putraku."
"Jangan menangis, Sayang. Putra kita sudah kembali," Kata seorang pria yang juga tak kalah tampan meski usianya tak lagi muda.
Pria dengan wajah masih tetap segar dan tampan itu terlihat menatap putra pertamanya dengan perasaan senang.
"Ayah," Panggil Abraham saat pelukan dengan ibunya terlepas dan berganti dengan memeluk papanya yang sangat dia sayangi itu.
Bagaimanapun masa lalu papanya. Bagaimanapun masalah di antara ibu dan ayahnya. Abraham masih bersyukur. Abraham masih bangga pada sosok pria yang ada dalam pelukannya ini.
Ayahnya masih sadar. Ayahnya masih tau mana keluarganya yang sesungguhnya. Mana keluarga yang ada untuknya dikala susah maupun senang.
"Bagaimana keadaanmu, Nak? Kemana saja kamu selama ini?" Tanya Bara, pria dengan ketampanan yang rupawan pada masanya melepas pelukan putranya itu.
Dia menatap tubuh anaknya dari atas sampai bawah. Seakan ingin melihat kondisi putranya dengan seksama.
"Abraham baik-baik aja. Ayah tak perlu khawatir," Ujar Abraham dengan pelan.
"Bagaimana kami tak khawatir. Kamu tak menghubungi Ibu dan Ayah sama sekali," Sela Almeera dengan suaranya yang lemah.
Abraham mendudukkan dirinya di pinggir jalan. Bia yang tadi duduk di kursi itu memilih pindah untuk memberikan waktu pada kakaknya dan orang tuanya.
"Maafin Abra, Bu. Abraham janji gak bakal menghilang lagi," Ujar Abra dengan bersungguh-sungguh.
"Apa kamu betah tinggal disana? Apa kamu nyaman tinggal seorang diri tanpa kami?" Tanya Almeera yang membuat perasaan Abraham semakin melemah.
"Jangan menangis, Bu," Kata Abraham sambil menghapus air mata ibunya. "Abraham sudah disini. Abra gak bakal ninggalin Ibu lagi."
Almeera mengangguk. Dia merasa bersyukur masih bisa melihat dan menatap putranya. Bisa bertemu lagi dengan sosok anak yang kuat yang dulu menjadi penguatnya ketika ada masalah.
Sosok anak pertama yang dulu selalu melindunginya. Sosok anak pertama yang tahu bagaimana sedihnya di masa lalu dan membuat hubungan Abra dan Almeera lebih lekat dan dekat.
"Ibu harus sembuh. Ibu harus makan yang banyak. Jangan sakit lagi biar Abang gak kepikiran," Kata Abraham dengan panggilan kesayangan Almerra untuknya.
"Iya. Ibu bakalan sembuh. Abang sudah disini dan pikiran Ibu bakalan tenang. Ibu hanya khawatir, Nak. Ibu khawatir sama keadaan kamu."
...****************...
Pertemuan setelah sekian lama antara anak dan orang tua itu. Membuat Almeera dan Bara menghabiskan waktunya dengan keempat anaknya. Abraham merasa keluarganya tak ada yang berubah.
Bahkan pria itu masih sama seperti anak kecil yang selalu disayang dan dibanggakan oleh kedua orang tuanya. Sampai rindu merindu itu mulai bubar karena suster datang dan mengatakan bahwa Almeera harus banyak istirahat.
Suster juga memberikan suntikan pada Almeera dan membuat wanita itu mengantuk dan beristirahat. Perlahan Abraham mulai keluar. Dia menatap sekeliling dan melihat Bia yang duduk di kursi tunggu tepat di depan ruangan ibunya.
"Memikirkan apa hm?" Tanya Abraham dengan pelan.
Bia menoleh. Dia memeluk kakaknya dengan sayang dan erat.
"Bia hampir keceplosan, Kak. Bia hampir cerita soal pernikahan pada Ibu," Ujar Bia dengan jujur.
"Terus?' tanya Abraham dengan tenang.
"Ya Bia langsung sadar pas Ibu tanya, pernikahan siapa. Bia langsung jawab pernikahan teman Bia," Kata Bia dengan pelan.
Abraham tersenyum. "Jangan takut. Kalau sudah waktunya. Kakak akan jujur pada Ayah dan Ibu. Kakak akan mengatakan semuanya."
"Mengatakan apa?" Kata suara pria yang masih tetap tegas dan sangat familiar.
Tubuh kakak beradik itu menegang. Bahkan keduanya menelan ludahnya secara paksa saat suara yang sangat mereka kenal itu terdengar. Kepala keduanya menoleh dan benar saja sosok yang sangat mereka sayangi berdiri di dekatnya.
"Ayah," Panggil Abra dan Bia bersamaan.
"Apa yang kalian sembunyikan?" Tanya Bara dengan pelan dan mencoba duduk di antara putra dan putrinya.
Pria yang sudah paruh baya itu memegang tangan Abra dan Bia dengan pelan.
"Apa kalian sedang bermain rahasia dengan Ayah?"
"Nggak kok!" Kata Bia dengan manja.
Gadis kecil yang dulu sangat lengket dengan Bara. Gadis kecil yang sangat sayang pada Bara itu masih tetap sama. Gadis kecil yang selalu lengket dan selalu menanyakan kabar tentang Bara itu masih tetap sama saja.
Bia yang meski usianya sudah tak lagi muda. Memeluk papanya dengan sayang. Wajah kecil imut itu kini sudah besar dan dewasa.
"Bia sama Kak Abra cuma mau ngasih kejutan kecil," Kata Bia dengan akal yang cepat. "Tapi ternyata Ayah sudah tahu duluan. Ayah udah dengar. Jadi bukan kejutan lagi."
Bia terlihat cemberut. Gadis berusia delapan belas tahun itu terlihat seperti kecewa.
"Ya.. Maafin Ayah dong. Ayah kan gak tahu kalau kalian mau kasih kejutan," Kata Bara dengan wakha menyesal.
Bia melirik kakaknya. Dia mentoel tubuh Abra dari belakang agar mengikuti aksinya.
"Karena Ayah udah dengar. Bagaimana kalau kita bekerja sama?" Kata Abraham yang membuat Bara menoleh.
"Memangnya boleh?"
"Tentu, Ayah?" Kata Abraham memeluk ayahnya dari samping. "Abraham mau kasih kejutan sama Ibu. Biar Ibu sehat terus dan senang kita udah kumpul lagi."
Bara mengangguk. "Ide bagus."
"Abra mau makan malam keluarga. Kita rayain sama-sama ya, Ayah. Kita ajak Kakek sama Nenek juga," Kata Abraham dengan antusias.
"Iya bener. Kakek sama Nenek harus ikut," Ujar Bia dengan tak kalah semangat.
Bara mengangguk. "Nanti Ayah akan hubungi Kakek sama Nenek, oke?"
"Oke," Sahut Abra dan Bia secara bersamaan.
Namun, bersamaan dengan itu suara panggilan ponselnya membuat Abraham menunduk. Di meraih benda pipih itu dan langsung terlihat jelas nama sosok wanita yang saat ini sudah menjadi istri sahnya.
"Aufa?" Gumam Abra dengan tegang.
"Siapa, Nak?" Tanya Bara pada putranya.
Abra lekas mematikan panggilan itu dan menggeleng.
"Hanya teman."
~Bersambung