Sebuah bakti kepada orang tua, mengharuskan perempuan berumur 27 tahun menikah dengan laki-laki pilihan kedua orang tuanya yang selama ini ia anggap sebagai adik. Qila yanh terbiasa hidup mandiri, harus menjalani pernikahan dengan Zayyan yang masih duduk di bangku SMA. “Aku akan membuktikan, kalau aku mampu menjadi imam!” Zayyan Arshad Qila meragukannya karena merasa ia lebih dewasa dibandingkan dengan Zayyan yang masih kekanakan. Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja? Bagaimana keduanya menghadapi perbedaan satu sama lain? Haloo semuanya.. jumpa lagi dengan author. Semoga kalian suka dengan karya baru ini.. Selamat membaca..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ada Yang Kurang
Zayyan kembali ke Daerah Timur hari ini. Setelah mengantarkan Qila ke Perusahaan, Zayyan bersiap dan berangkat dengan travel.
selama di perjalanan, ia berbalas pesan dengan Qila dan saat sampai di kontrakan ia menghubungi sang istri.
“Sudah minum susu?” tanya Zayyan.
“Sudah. Abang sudah makan belum?”
“Sudah tadi di perbatasan.”
“Tidak makan lagi?”
“Tidak, Deng! Masih kenyang. Lagi pula sudah malam, malas keluar rumah.”
“Kenapa tidak tinggal di rumah Ayah dan Ibu saja?”
“Tunggu sampai aku lulus, baru aku akan tinggal di sana.”
“Kenapa menunggu lulus?”
“Kalau sekarang kamu masih bisa menjengukku disini.”
“Mungkin cuti depan aku tidak bisa kesana, Bang.”
“Kenapa?”
“Hamil seperti ini, bagaimana caraku bepergian jarak jauh?” Zayyan terdiam.
Benar yang dikatakan istrinya. Qila yang hamil masih tidak stabil dan masih sering mual muntah. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana istrinya saat bepergian jauh sendirian nanti.
“Ya sudah. Tidak perlu kemari. Tunggu sampai aku lulus, aku akan ke sana!”
“Iya, Bang.”
Saat panggilan berakhir, Zayyan mulai membersihkan rumah yang sudah lama ia tinggalkan. Rumah tanpa penghuni tentu debu menumpuk dimana-mana. Selesai membersihkan, Zayyan mengerjakan proyek designnya dan berakhir tertidur di meja belajarnya.
Keesokan paginya, kedua orang tuanya berkunjung ke kontrakan. Mereka mengirimkan sarapan untuk Zayyan sekalian membahas bagaimana langkah selanjutnya.
“Kamu sudah memutuskan mau kuliah dimana?” tanya Bagus.
“Kuliah di Daerah Selatan saja, Yah. Aku akan mendaftar nanti.”
“Lalu, kapan kamu mau keluar dari kontrakan ini?”
“Secepatnya, Yah. Apa Ayah dan Ibu bisa bantu?”
“Tentu saja! Bukankah sebelumnya juga kami yang menyiapkan semuanya?” Zayyan mengangguk sambil tersenyum.
Ia masih anak-anak di mata kedua orang tuanya, makanya semua kebutuhannya selalu dipenuhi tanpa kurang suatu apapun meskipun ia sudah menikah.
Hari berikutnya, Zayyan sudah mulai kembali sekolah. Ia mulai disibukkan dengan persiapan ujian masuk perguruan tinggi dan ujian sekolah.
Sementara itu, Qila yang beberapa tidak didampingi Zayyan merasa ada yang kurang. Meskipun aroma suaminya membuatnya mual, Qila merindukan suaminya saat akan tidur dan saat bangun tidur.
Biasanya Zayyan akan merelakan lengannya menjadi bantalnya dan akan menyambutnya di pagi hari. Kini ranjang di sampingnya selalu terasa dingin tanpa kehadiran Zayyan.
“Rindu Ayah, Nak.” Gumam Qila sembari mengusap perutnya.
“Sudah siap, belum?” tanya Ana.
“Sudah, Bu.”
“Ayo! Ayah sudah menunggu di depan.” Qila mengangguk.
Hari ini adalah pemeriksaannya yang kedua dimana usia kandungannya sudah memasuki bulan kedua.
Dokter mengatakan kalau kehamilannya berjalan normal dan perkembangan janinnya sesuai dengan usia hamil. Dokter juga menjelaskan jika usia 2 bulan ini, janin sudah mulai membentuk tangan dan kaki juga wajah, seperti mata, hidung, dan mulut.
Meskipun hasil USG 3D tidak begitu terlihat jelas, Qila dan kedua orang tuanya merasa sangat Bahagia kala dokter memperdengarkan suara detak jantung janin.
Qila yang meminta sang Ayah mengabadikan moment USG, mengirimkan video kepada suaminya. Zayyan yang saat itu masih di dalam kelas, izin ke toilet untuk melihat video yang dikirimkan sang istri.
Suami: Alhamdulillah… Muachhh…
Istri Imutku: Alhamdulillah… Sampai jumpa satu bulan lagi Ayah.
Suami: Iya anak Ayah! Ayah mau lanjut belajar biar segera bisa menyusul kamu.
Istri Imutku: Semangat Ayah!
Zayyan kembali ke kelas dengan senyuman yang selalu menghiasi bibirnya. Teman-temannya sampai merasa aneh dibuatnya.
“Apa kamu ketempelan?” bisik Sehan.
“Tidak.”
“Yakin? Jangan-jangan penunggu toilet menempel ditubuhmu?”
“Jangan bercanda!”
“Aku tidak bercanda! Buktinya kamu selalu tebar senyum sampai membuat anak perempuan gagal fokus!”
“Apa iya?” Zayyan tidak sadar dengan sikapnya.
“Atau kamu habis dapat jackpot?”
“Tidak juga.”
“Lalu kenapa kamu senyum-senyum terus seperti itu?”
“Rahasia!”
“Dasar!”
Klotak! Suara penghapus mendarat di meja Zayyan dan Sehan.
“Kalau kalian masih mengobrol, silahkan keluar dari kelas saya!” tegur Bu Sulis, guru mata Pelajaran PKn.
“Tidak, Bu.” Jawab Zayyan dan Sehan serempak.
Bu Sulis kembali menjelaskan materi di depan kelas. Setelah selesai beliau memberikan tugas yang harus dikumpulkan di pertemuan selanjutnya. Anak-anaknya menjawab “iya” dengan serempak dan Bu Sulis mengakhiri sesi belajarnya.
Di sisi lain.
“Kenapa, Nak?” tanya Ana yang melihat Qila hanya diam sejak mereka kembali dari rumah sakit.
“Tidak apa, Bu.”
“Rindu Zayyan?” Qila tidak menjawab.
“Kalau rindu, telepon saja.”
“Abang masih di sekolah, Bu.”
“Kirim pesan.”
“Sudah.”
“Lalu kenapa masih rindu?”
“Ad yang kurang, Bu.” Jujur Qila.
“Yang Namanya menjalani hubungan jarak jauh seperti itu, Nak. Apa kamu masih ingat saat kamu menangis tantrum ingin ketemu Ayah yang sedang ditugaskan di Daerah Utara?” Qila mengangguk.
Tentu saja ia masih ingat karena hari itu bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Mukhsin yang ditugaskan di Daerah Utara tidak bisa mengambil cuti saat ulang tahunnya karena sudah ada yang mengambil tanggal tersebut lebih dulu.
Alhasil Qila yang merajuk menangis sampai gulung-gulung di lantai karena sang ayah ingkar janji. Saat itu Qila baru bisa berhenti menangis saat Mukhsin membujuknya dengan mengatakan akan mengajaknya menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan saat dirinya kembali.
“Apa nanti anak Qila juga akan seperti itu, Bu?”
“Tentu saja, tidak. Bukankah Zayyan akan melanjutkan kuliah di sini?”
“Iya.”
“Bersabarlah! Hanya sampai Zayyan menyelesaikan sekolahnya. Setelah itu kalian bisa berkumpul lagi.”
“Iya, Bu.” Qila menganggukkan kepalanya.
Meskipun Qila masih merasa ada yang kurang tanpa kehadiran suaminya, ia tidak lantas merasa lesu. Ia justru menjalani harinya seperti biasa dengan harapan waktu cepat berlalu dan mereka bisa lekas bertemu.
Sama dengan yang Qila rasakan, Zayyan yang sudah kembali tinggal dengan kedua orang tuanya merasa ada yang kurang. Biasanya ada Qila yang menemaninya tidur, tapi kini ia hanya bisa menghubungi istrinya sampai salah satu dari mereka terlelap.
Hubungan jarak jauh itu sungguh menyiksa. Semoga saja setelah ia lulus, mereka tidak akan berjauhan lagi.
Meski back to realita nya kondisi suami, ortu, dan mertua yang kaya gini sepertinya jarang ada ya? apalagi suaminya termasuk masih usia remaja. Kalo d dunia nyata ada sosok Zayyan, hebat banget ya ortunya bisa didik anak seperti ini