Naya yakin, dunia tidak akan sekejam ini padanya. Satu malam yang buram, satu kesalahan yang tak seharusnya terjadi, kini mengubah hidupnya selamanya. Ia mengira anak dalam kandungannya adalah milik Zayan—lelaki yang selama ini ia cintai. Namun, Zayan menghilang, meninggalkannya tanpa jejak.
Demi menjaga nama baik keluarga, seseorang yang tak pernah ia duga justru muncul—Arsen Alastair. Paman dari lelaki yang ia cintai. Dingin, tak tersentuh, dan nyaris tak berperasaan.
"Paman tidak perlu merasa bertanggung jawab. Aku bisa membesarkan anak ini sendiri!"
Namun, jawaban Arsen menohok.
"Kamu pikir aku mau? Tidak, Naya. Aku terpaksa!"
Bersama seorang pria yang tak pernah ia cintai, Naya terjebak dalam ikatan tanpa rasa. Apakah Arsen hanya sekadar ayah pengganti bagi anaknya? Bagaimana jika keduanya menyadari bahwa anak ini adalah hasil dari kesalahan satu malam mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 DBAP
Arsen akhirnya mengerti, mengapa ada ikatan yang aneh tapi nyata antara dirinya, Naya, dan janin kecil yang masih berupa segumpal darah itu. Karena ternyata… dialah lelaki bajingan itu. Lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas benih yang ia tanam sembarangan, tapi memilih menutup mata, percaya penuh pada satu vonis bahwa dirinya mandul.
Mandul? Benarkah hasil pemeriksaan itu selama ini?
Pertanyaan itu menghantam kepalanya berkali-kali. Membakar logika, menumbangkan segala keyakinan yang ia genggam selama ini, dan meninggalkan sesal yang dalam. Perlahan, Arsen mengulurkan tangan ke arah Naya, ingin menghapus air mata yang membasahi pipi gadis itu. Tapi belum sempat menyentuhnya, justru air matanya sendiri jatuh lebih dulu. Deras, diam-diam.
Naya terperanjat. Ia tak menyangka. Yang ia harapkan hanya sedikit simpati dan rasa bersalah, bukan air mata dari lelaki yang selama ini bahkan tak pernah benar-benar menoleh padanya.
Dengan ragu, ia meraih pergelangan tangan Arsen.
“Paman… kenapa? Kenapa Paman menangis? A… aku…”
Arsen tersadar. Ia buru-buru menyeka wajahnya, seolah tak ingin terlihat lemah di hadapan gadis itu.
“Paman… aku tidak bermaksud meminta belas kasih,” ucap Naya pelan. “Paman nggak perlu sedih seperti ini. Apalagi… pada perempuan sepertiku.”
Kalimat itu menghantam. Perempuan sepertiku.
Hati Arsen mencelos. Kenapa Naya merendahkan dirinya begitu rupa? Padahal, dialah yang seharusnya merasa hina. Selama ini, dia hanya menyudutkan, mencurigai, bahkan merendahkan perempuan yang sekarang menangis di hadapannya, padahal ia sendiri penyebab dari semua luka itu.
Dan sekarang, ketika kebenaran mulai terang, Arsen tahu, ia tidak bisa hanya berdiri diam. Ia harus bertanggung jawab.
Arsen merogoh kantongnya, berniat memberikan saputangan yang bisa menjadi bukti jika lelaki malam itu adalah dirinya. Niat awalnya untuk mengaku, perlahan berubah, dan mengajak Naya memulai dari awal demi anak mereka.
“Paman tenang saja, aku akan mencari lelaki bajingan itu,” ucap Naya dengan nada tegas.
Arsen tersenyum tipis. Ada kekuatan dalam ucapan Naya yang membuat ia merasa lega karena Naya memiliki niat yang sama.
Namun belum sempat ia membuka mulut, Naya kembali bersuara, “Aku tidak ingin dia bertanggung jawab, tapi aku hanya ingin membuat lelaki itu tahu kalau dia sama sekali tidak pantas menjadi ayah untuk anakku.”
Naya mengelus perutnya perlahan. “Karena di kehidupan ini hanya akan ada aku dan bayi ini. Paman tidak perlu khawatir, setelah semua selesai, aku akan pergi dan tidak akan pernah mengganggu Paman lagi.”
Deg.
Jantung Arsen serasa diremas. Seketika niatnya untuk bicara pupus. Ia ingin mengaku jika dialah ayah dari anak itu, tapi melihat kebencian Naya padanya hanya akan membuat gadis itu semakin menjauh. Ia tahu betul luka gadis itu sudah terlalu dalam. Kebenaran bisa menambah beban, bukan meringankan.
Ia memilih diam. Tapi bukan diam yang lepas tangan. Kini, hanya satu tekad yang tertinggal—menjaga Naya, meski tanpa pengakuan.
“Paman…”
Arsen menatapnya, lalu tersenyum singkat, berusaha terlihat tenang. “Kamu terlalu banyak bicara. Yang terpenting sekarang kamu dan bayi ini sehat dulu.”
Dahi Naya mengernyit. Nada bicara Arsen aneh. Ada sesuatu yang berbeda.
“Kamu ada yang ingin dimakan? Aku dengar ibu hamil suka ngidam, apalagi di trimester pertama. Karena hormon berubah,” ucap Arsen tenang.
Naya menelan ludah. Ia merasa tidak salah dengar barusan.
“Paman, aku tidak bermaksud mencari simpati dengan ceritaku tadi, dan aku juga tidak bermaksud—”
“Aku tahu.” Suara Arsen lembut. Kali ini, ia benar-benar mengulurkan tangannya, menyeka sisa air mata di pipi Naya.
“Maaf… selama ini aku sudah terlalu dingin. Membuatmu tertekan. Aku yang salah.”
“Pa… Paman, a….”
“Jangan terlalu banyak berpikir,” potong Arsen. Tatapannya dalam, suaranya rendah tapi tegas. “Kamu jadi seperti ini juga karena ponakan aku. Jadi aku yang akan bertanggung jawab. Sampai akhir.”
Naya diam. Menatap wajah Arsen yang kini terasa asing, sekaligus… hangat. Terlalu hangat untuk seorang Arsen yang selama ini hanya dikenal dingin dan tajam.
Naya menunduk, mencoba menyembunyikan ekspresi bingungnya. Tapi justru semakin ia menunduk, semakin kuat ia merasakan perhatian dari lelaki itu. Bahkan saat ia tidak bicara, Arsen tetap duduk di samping ranjang, tanpa tergesa, tanpa gerak yang membuatnya canggung.
Naya mengedipkan mata beberapa kali. “Paman… kenapa Paman berubah?” tanyanya hati-hati, nyaris seperti bisikan.
Arsen mengangkat alis. “Berubah?”
“Iya…” Naya memberanikan diri menatapnya. “Paman… biasanya dingin, marah-marah, sinis. Sekarang malah…”
Naya menggigit bibir bawahnya seolah ragu-ragu akan kalimat selanjutnya namun ia tetap mengatakannya, “Sekarang malah perhatian kayak gini.”
Arsen tersenyum kecil, lalu berdiri dan berjalan pelan ke arah nakas menuangkan air pada gelas yang kosong guna mengusir rasa canggungnya agar tidak terlalu kelihatan. Setelah beberapa detik hening, ia berkata pelan, “Orang bisa berubah, Naya. Kadang karena waktu… kadang karena kesalahan.”
Naya mengerutkan kening. “Kesalahan?”
“Ya,” jawab Arsen, masih tak berbalik. “Kadang… saat kita sadar sudah menyakiti orang yang nggak seharusnya disakiti, rasanya seperti ditampar realita.”
Ia akhirnya berbalik, menatap Naya dalam-dalam. “Aku sadar, selama ini aku terlalu keras. Mungkin kamu anggap perubahan ini aneh. Tapi aku nggak peduli. Aku cuma mau kamu tahu, kamu nggak sendirian sekarang.”
Hening. Udara di antara mereka mendadak berat, namun tak menyesakkan.
Naya membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Jantungnya berdetak terlalu cepat untuk dimengerti. Ada kehangatan yang perlahan merambat, tapi juga keraguan yang belum siap dipadamkan.
“Kalau ini semua cuma karena rasa bersalah…” gumamnya pelan, "aku nggak butuh dikasihani, Paman.”
“Ini bukan kasihan,” potong Arsen cepat. “Ini… bentuk tanggung jawab.”
“Tanggung jawab?” ulang Naya, nyaris sarkastik. “Tanggung jawab atas apa?”
Arsen terdiam. Matanya menatap Naya dengan sorot yang sulit dijelaskan. Ingin berkata jujur, tapi tahu bahwa waktunya belum tepat. Ia hanya bisa mengangguk pelan dan menjawab dengan suara nyaris berbisik, “Atas semuanya.”
Naya menarik napas dalam-dalam, menahan gejolak perasaannya. “Paman, aku… sekarang nggak butuh ini semua. Aku juga nggak ingin jadi beban keluarga Alastair. Meskipun awalnya ini salah Zayan, tapi aku yang bodoh.”
Ia menunduk. Suaranya lirih tapi tegas.
“Jadi, Paman jangan terlalu baik dengan ingin bertanggung jawab sampai akhir. Aku bisa urus diriku sendiri. Dan anakku juga.”
Arsen menatap Naya lekat-lekat, rahangnya mengeras. Ia tidak bisa menerima ucapan itu. Perlahan, ia melangkah mendekat hingga jarak di antara mereka nyaris tak bersisa. Tubuhnya condong ke depan, mendekati wajah Naya. Dan dengan suara rendah di telinganya, ia berbisik,
“Kamu memprovokasiku. Jangan salahkan aku kalau nanti setelah sadar… kamu menyesal.”
Naya terkejut. Mata membelalak. Suara itu, kalimat itu—terasa sangat familiar. Terdengar seperti…
Jangan-jangan…?
jangan jangan,jangan deh
double update dong,,, kurang nih