Naila hanya ingin kuliah dan menggapai cita-cita sebagai jaksa.
Namun hidup menuntunnya ke rumah seorang duda beranak dua, Dokter Martin, yang dingin dan penuh luka. Di balik tembok rumah mewah itu, Naila bukan hanya harus merawat dua anak kecil yang kehilangan ibu, tapi juga melindungi dirinya dari pandangan sinis keluarga Martin, fitnah, dan masa lalu yang belum selesai.
Ketika cinta hadir diam-diam dan seorang anak memanggilnya “Mama,” Naila harus memilih: menyelamatkan beasiswanya, atau menyelamatkan keluarga kecil yang diam-diam sudah ia cintai.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Pengasuh Apa Pembantu?
Naila baru saja menaruh piring kembali di meja setelah ditegur Bu Juwita. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi sebelum sempat duduk, Bu Juwita sudah berdiri di depan Naila dengan wajah serius.
“Naila, jangan kamu pikir ini cuma urusan suapin anak doang ya? Banyak yang harus kamu urus di rumah ini!” kata Bu Juwita sambil menepuk-nepuk tangan, lalu tangannya pindah ke pinggang.
Naila tersenyum kikuk. “Baik, Bu. Saya akan berusaha," ucapnya menundukan kepala.
Bu Juwita mengangkat alis, lalu menarik Naila ke dapur. “Ayo, kamu bantu mencuci piring ini. Jangan sampai ada yang kotor, apalagi ada bekas makanan lengket. Anak-anak ini bisa alergi, tau!”
Naila menganggukan kepala. Dengan sigap, mengambil sponge dan mulai mencuci. Tapi Bu Juwita tak berhenti di situ.
“Nah, setelah itu kamu cek makanan yang ada di kulkas. Jangan sampai ada yang basi. Saya nggak mau kedua cucu saya sakit hanya gara-gara makanan basi!” perintah Bu Juwita, matanya tajam mengawasi gerakan Naila.
Naila bergegas membuka pintu kulkas, tetapi tanpa sengaja ia menumpahkan sedikit susu ke lantai. Dengan buru-buru ia membersihkan dengan kain lap. Melihat demikian, Bu Juwita sudah menggeleng pelan.
“Hati-hati! Lantai licin bisa bikin mereka jatuh.”
Naila mengangguk cepat, rasa gugup, tak bisa disembunyikan dari rautnya.
“Dan jangan lupa buat nanti malam kamu harus siapin susu hangat buat Rindu dan Reivan. Mereka nggak bisa tidur kalau nggak minum susu hangat dulu,” tambah Bu Juwita sambil mengeluarkan dua botol susu dari rak.
'Wah, bukan cuma anak-anak aja yang harus aku urus, tapi Bu Juwita juga bikin aku tambah pusing,' ucap Naila menghela napas, dalam hati.
Waktu pun terus bergulir menuju malam dengan pekerjaan yang tiada henti diberikan sang majikan galak.
Usai menyuapin Rindu dan Reivan makan malam, Naila baru mengangkat piring ke dapur, tetapi Bu Juwita kembali memanggil dengan nada tegas.
"Naila! Sebelum kamu lanjut cuci piring, tolong cek dulu ruang main mereka. Jangan sampai ada mainan berserakan karena bisa bikin Rindu jatuh!"
Naila mengangguk cepat meskipun ia merasa cukup lelah. Ia bergegas masuk ke ruang main, melihat mainan berserakan di lantai. Dengan sigap, ia mulai membereskan satu per satu, tapi saat membungkuk mengambil balok kayu. Tanpa sengaja kakinya menendang bola kecil.
Rindu yang terus mengikuti pun tak sengaja menginjak hingga membuat gadis kecil itu oleng. Naila segera menangkap Rindu, tetapi mainan yang ada di tangan berserakan kembali.
"Astaga, hati-hati! Kan sudah saya bilang?" jerit Bu Juwita yang melihat mereka dari dapur.
Naila menjadi semakin panik. "Rindu tak apa-apa kan? Ada yang sakit?" tanya Naila khawatir.
Tapi Rindu hanya menjawab dengan gelengan dan cengiran bergelantungan di lengan Naila.
"Hufff, syukur lah," gumam Naila dengan cepat memungut bola dan kembali membereskan semua mainan.
Tak lama kemudian, Bu Juwita muncul dengan wajah gusarnya. "Harusnya, kamu suruh Rindu duduk dulu. Jangan biarkan dia terus ikut kamu!"
"Iya, Bu. Tapi Rindunya gak mau duduk," ucap Naila lagi.
Bu Juwita mencoba menarik Rindu. Rindu memukul-mukul kecil tangan neneknya menggeleng cepat. Hal ini membuat Bu Juwita dan jengkel.
"Sekarang, kamu istirahat aja!" Daripada dia jatuh lagi.
"Huuuffftt ...." Akhirnya Naila bernapas lega. Akhirnya bisa beristirahat berkat Rindu yang hampir jatuh tadi.
'Heran, sebenarnya pekerjaanku di sini sebagai pengasuh apa pembantu sih? Beneran beresin ini juga bagian kerja pengasuh?
Ah, mungkin Bu Juwita memang gak punya ART juga sih ya? Makanya aku sekalian jadi pembantu. Duh, gimana ya? Tapi harus kuat. Kalau tidak, aku tak memiliki tujuan lain, selain rumah ini.'
Naila berperang dalam hatinya. Namun, di luar, Naila hanya mampu memberikan senyuman atau mengangguk tanpa bisa menjawab perintah sang majikan. Ia berusaha secepat mungkin menyelesaikan tugas yang bertubi-tubi itu.
Malam semakin naik, Naila tengah melaksanakan salat Isya. Tanpa ia ketahui, di belakangnya ada dua bocah yang asik sendiri. Yang perempuan meniru gerakan Naila sambil nyolek-nyolek kepala Reivan yang tengkurap memainkan sajadah kecil miliknya.
"Assalamualaikum," ucap seseorang yang baru saja memasuki rumah ini.
"Walaikumsalam," balas sang ibu yang keluar dari kamar, ketika mengetahui anaknya datang.
"Ma, mana keponakanku? Kok sepi? Mereka udah dijemput bapaknya?" tanya Marvel, adik Martin.
"Mereka di belakang. Karena kedatangan seseorang, neneknya tak dianggap lagi," ucap Bu Juwita sedikit ketus.
"Emang siapa orang barunya?"
"Coba kamu lihat sendiri! Mereka ada di kamar belakang."
Marvel pun bergerak menuju tempat yang dimaksud, merupakan ruang yang telah lama kosong.
Ia membuka pintu, mengintip lewat celah kecil. Di sana, ia menemukan gadis asing yang beribadah, ditemani kegaduhan dua bocah.
"Tumben mama mengizinkan orang asing masuk ke sini?" gumamnya dengan senyum tipis.
"Assalamualaikum!" Satu orang lagi memasuki rumah ini.
"Walaikumsalam," jawab Bu Juwita.
Marvel kembali menutup pintu dan mengejar sang kakak yang baru pulang. "Kak, anak-anakmu memiliki ibu baru tuh?"
Martin menatap adiknya dengan wajah datar. Ia langsung menebak siapa orang yang dimaksud. "Oh, itu pengasuh mereka."
"Tumben banget mau pakai jasa pengasuh? Mana kayaknya masih muda lagi. Emangnya dia mampu ngurus Rindu?" tanya Marvel ragu dan sedikit geli.
Martin tak menanggapi pertanyaan Marvel. Ia segera mencari kedua buah hati di kamar belakang. Saat membuka pintu, ternyata Naila sedang membuka mukena dan kedua mata saling bertemu, mereka berdua sama-sama kaget.
"Maaf," ucapnya cepat memutar badan. Sejenak, ia melirik lagi ke belakang dan menggeleng cepat.
Naila tergopoh langsung memasang kerudungnya. Tak lama kemudian ia menggandeng Rindu dan menggendong Reivan keluar dari kamar.
"Bapak udah pulang?"
Martin memutar badannya kembali. Sejenak ia melihat raut Naila yang tampak lelah. Ia segera menaikan Rindu ke dalam gendongannya.
"Rindu nakalin kamu?"
Rindu mengernyitkan dahi membuat matanya menyipit. Bibinya menggembung, merasa marah atas tuduhan sang ayah.
"Rindu gak nakalin Mama kok, Pa."
Martin mengerutkan kening menatap wajah putrinya yang hanya berjarak sejengkal darinya. "Jangan panggil dia 'mama' lagi! Dia bukan mama kamu! Dia gak mungkin bisa menggantikan mama kamu!"
^^^Revisi tanggal 16 Mei 2026^^^