NovelToon NovelToon
Pesona Cinta CEO Tampan

Pesona Cinta CEO Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Mira j

Maura, gadis lugu dari kampung dengan mimpi besar di kota, bekerja sebagai pengasuh nenek dari seorang milyader muda bernama Shaka Prawira. Tak disangka, Maura juga ternyata mahasiswi di universitas milik Shaka. Di balik sikap dinginnya, Shaka menyimpan perhatian mendalam dan mulai jatuh cinta pada Maura—meski ia sudah memiliki tunangan. Terjebak dalam cinta segitiga, Maura harus memilih antara impian dan perasaannya, sementara Shaka berkata,

"Aku sangat menyukaimu, Maura. Aku ingin kau ada saat aku membutuhkanku."

“ anda sudah bertunangan tuan ,saya tidak mau menyakiti hati wanita lain .”

“ Kau tidak akan menyakitinya sayang ,Thalita urusanku ”.

Namun, apakah cinta mampu mengalahkan janji dan status?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 17

Di lorong belakang hotel yang sunyi, lampu temaram menggantung lesu dari langit-langit. Pelayan itu berjalan cepat, mendorong troli kosong yang baru saja ia gunakan untuk mengantarkan makanan ke kamar Nathan dan Thalita. Sepatu hitam kerjanya berderit lembut di lantai marmer, menyatu dengan suara dengungan pendingin ruangan yang monoton.

Sampai di dapur, ia mendorong troli ke sudut ruangan, memeriksa sekeliling, lalu segera menuju ruang ganti karyawan. Ia membuka loker pelan, memastikan tidak ada siapapun di sekitarnya. Dari balik lipatan baju seragam, ia menarik keluar sebuah ponsel kecil yang canggih, yang sangat bagus untuk menjalankan satu misi.

Dengan tangan sedikit gemetar karena ketegangan, ia menekan nomor rahasia yang sudah dihapal di luar kepala.

Tak butuh waktu lama, suara dingin menyapa dari seberang.

“Sudah?”

“Bukti sudah saya dapat, Nyonya,” ucapnya setengah berbisik. “Semua akan saya kirim lewat email malam ini. Ada beberapa foto, juga video  dari kamera yang saya pasang di kamar mereka. Mereka tak sadar kalau saya menaruh kamera di sana .”

Hening sejenak. Lalu suara di ujung sana menjawab mantap,

“Bagus. Kamu boleh kembali. Bayaranmu akan segera aku transfer. Jangan hubungi nomor ini lagi setelah pengiriman selesai.”

Pelayan itu mengangguk meski tahu tak terlihat.

“Baik, Nyonya. Terima kasih.”

Setelah sambungan terputus, ia menarik nafas panjang. Tangannya bergerak membuka aplikasi tersembunyi di ponsel. Beberapa gambar dan video  muncul—Thalita bersandar di pelukan Nathan, ciuman mereka, dan suara lirih dari rekaman yang direkam dari kamera yang dipasang di sisi kamar mereka.

Ia menatap layar sejenak, wajahnya dingin namun puas.

“Selesai sudah tugasku. Sekarang... giliran mereka yang resah.”

Ia menyimpan kembali ponselnya, mengganti bajunya dengan cepat, lalu memasukkan ponsel itu ke dalam tas kecil yang tergantung di bahunya.

Sebelum keluar dari ruang ganti, ia menatap cermin besar di depan pintu. Senyum licik muncul di bibirnya.

“Aku cuma bayangan di hotel ini. Orang  menganggapku pelayan sekarang waktunya aku Kembali ... tapi lihat siapa yang memegang rahasia kalian sekarang.”

Dengan langkah tenang, ia keluar dari ruangan dan menyelinap lewat pintu belakang hotel menuju malam yang pekat—membawa serta rahasia yang bisa menghancurkan lebih dari satu hati.

*

*

*

Di dalam ruang rapat utama milik perusahaan Darmawan Grup, suasana tampak tenang namun menyimpan bara. Dinding kaca memperlihatkan pemandangan kota yang sibuk, namun di dalam ruangan, hanya ada denting halus gelas kopi yang diletakkan pelan oleh tangan Shaka Darmawan.

Ia duduk dengan santai di kursi utamanya, jas hitamnya rapi, dasi gelap terikat sempurna, dan mata tajamnya menatap layar besar di hadapannya. Di layar itu, grafik saham Darmawan Grup menunjukkan tren menurun dalam beberapa hari terakhir.

Di seberangnya, beberapa staf penting dan kepala divisi teknologi terlihat gugup.

"Kita sudah menganalisis pola permainan mereka, Tuan Shaka," ujar salah satu kepala divisi, pria bernama Reno. "Mereka menyebar rumor tentang penarikan investor besar, dan menggunakan akun palsu untuk menciptakan kepanikan di forum-forum pasar saham."

Shaka hanya mengangguk, tanpa ekspresi yang berarti. Ia tahu, ini permainan kotor khas WiraGuna Group, yang dipimpin oleh Rendra Wiraguna —mantan rekan bisnis ayahnya yang kini menjadi musuh bebuyutan keluarga Darmawan.

"Mereka bermain dengan api," ucap Shaka akhirnya, suaranya tenang namun mengandung ancaman dingin. Ia berdiri, melangkah pelan ke jendela, menatap ke luar kota dengan pandangan dalam.

"Saya sudah punya data lengkap transaksi bayangan mereka. Termasuk rekaman suara saat Rendra memerintahkan rekayasa laporan. Aku memberinya waktu... untuk sadar, untuk menarik mundur permainannya. Tapi sepertinya, ia lebih memilih berperang."

Ia berbalik, wajahnya kini terlihat dingin dan penuh perhitungan.

"Reno, siapkan tim Alpha. Buka kembali jalur enkripsi mereka. Kita serang di tiga titik: reputasi, legalitas, dan integritas pasar."

"Baik, Tuan."

"Aku ingin program simulasi kerugian mereka dirilis ke media netral. Biar publik yang menilai siapa yang sebenarnya bermain curang. Dan soal saham kita... tarik balik portofolio terselubung di bawah nama anak perusahaan. Biar mereka bingung—mereka pikir kita goyah, padahal kita sedang memindahkan kekuatan."

Ia kembali duduk. Kali ini dengan senyum tipis yang mengerikan bagi siapa pun yang mengenalnya.

"Dan terakhir, siapkan satu tim investigasi. Jika Rendra masih keras kepala... aku ingin semua pelindung hukumnya tumbang dalam waktu tiga minggu. Gunakan jalur sah. Tapi pastikan mereka hancur secara reputasi dan hukum."

Seisi ruangan diam. Semua orang tahu, Shaka bukan pria yang suka banyak bicara. Jika ia sudah mengambil tindakan, maka tak ada ampun lagi.

Tak lama kemudian, ruang komando IT Darmawan Grup mulai bergerak. Layar-layar besar menampilkan kode, grafik, dan laporan internal WiraGuna yang mulai dibongkar satu demi satu. Para programmer elite yang direkrut Shaka—banyak diantaranya mantan peretas kelas dunia—bekerja tanpa henti, jari-jari mereka menari di atas keyboard, memecah setiap lapisan sistem WiraGuna.

Di lantai atas, Shaka duduk di ruangannya, menatap layar kecil berisi foto ayahnya.

"Maafkan aku, Ayah. Tapi kali ini, aku tak bisa diam."

Ia lalu mengirim pesan singkat ke seseorang:

"Waktu main-main mereka selesai. Pastikan semua terekam. Dunia akan tahu siapa WiraGuna sebenarnya."

Kantor Pusat Wiraguna

Rendra Wiraguna berdiri di depan meja eksekutifnya, wajahnya menegang, rahang mengeras. Di tangannya, laporan keuangan dengan grafik merah menyala—saham WiraGuna merosot tajam. Matanya tak berkedip menatap angka-angka yang mencerminkan satu hal: kehancuran yang perlahan merambat.

“Delapan persen hilang dalam 24 jam! Kalian masih bisa duduk santai!?”

Suara Rendra mengguncang ruangan. Para kepala divisi yang hadir, termasuk Divisi Komunikasi Dan Keamanan Siber, saling melirik dengan gugup.

Maya mencoba menjawab hati-hati, “Pak, kami sudah siapkan penanggulangan di media, tapi opini publik dikuasai kubu Shaka—eh, maksud saya, Shaka Prawira Darmawan. Mereka menyebar data lama yang tampak seperti kebocoran keuangan.”

Rendra membanting laporan ke meja. “Itu bukan data lama, Maya. Itu data internal. Dia pasti punya orang dalam!”

Andre, yang berdiri di sisi kanan, angkat suara, “Kami menemukan jejak serangan digital terstruktur. Mereka bukan hacker biasa, Pak. Tim elit. Ada pola kerja mirip agensi luar negeri. Kami curiga mereka mengambil data keuangan tiga tahun ke belakang, termasuk memo internal yang belum pernah dipublikasikan.”

Rendra mendesis pelan. “Shaka Prawira Darmawan… anak muda brengsek itu benar-benar berani.” Matanya menyipit penuh amarah. “Dia pikir bisa jatuhkan aku begitu saja?”

Ia berjalan ke arah jendela besar, memandangi kota Jakarta dari lantai 30. Hujan mulai turun, mengguyur kaca dengan ritme cepat.

“Dia sudah tumbuh terlalu cepat. Dulu dia anak manis dari keluarga Darmawan yang tak punya nyali. Sekarang? Dia pemegang saham tertinggi di perusahaan utama .”

Ia berbalik cepat.

“Kita tak bisa main santai. Kontrol media, siapkan pasukan. Aku mau reputasi Shaka hancur sebelum dia bergerak lebih jauh. Dan Andre—kau tahu tugasmu.”

Andre mengangguk. “Kami akan cari titik lemahnya. Siapapun yang dekat dengannya akan diawasi.”

Rendra menyeringai dingin. “Kita mulai dari jantungnya. Cari siapa yang dilindungi. Perempuan, keluarga, sahabat. Tekan dia dari sana. Aku ingin dia tahu, main perang sama aku bukan urusan main-main.”

Semua yang ada di ruangan itu tahu—perang dingin antara dua raksasa bisnis telah berubah menjadi medan konflik terbuka.

Shaka Prawira Darmawan bukan sekadar anak muda pewaris kekuasaan. Ia adalah badai. Tapi Rendra Wiraguna? Ia adalah gunung berapi yang siap meletus kapan saja.

Lampu-lampu kota berkelebat di kaca mobil mewah Shaka Prawira Darmawan. Ia duduk tenang di balik kemudi, satu tangan menggenggam setir, sementara tangan lain memainkan tombol pengatur lagu. Tubuhnya santai, namun matanya tetap tajam mengamati jalan di depannya.

Saat mobilnya mendekati sebuah persimpangan sepi, tiba-tiba segerombolan pria bertopeng muncul dari balik bayangan gedung .Mobil-mobil gelap langsung memblokir dari depan dan belakang. Akses keluar tertutup rapat.

BRAKK!

Seseorang menggedor jendela mobilnya keras. Lampu senja memantulkan bayangan topeng-topeng itu—mereka seperti hantu di tengah malam kota.

Shaka menghela napas singkat. Ia tak panik. Dengan gerakan halus, ia menekan tombol tersembunyi di jam tangannya.

“Aktifkan Mode Omega.”

Suara elektronik terdengar pelan, menghubungkan jam ke sistem keamanan pribadi Shaka.

Dengan tenang, ia membuka pintu mobil dan keluar. Kemeja putihnya masih rapi, meski suasana mengancam.

“Empat orang?” Shaka melirik satu per satu penyerangnya. “Kalian pikir aku cukup untuk latihan sore?”

Tanpa aba-aba, empat penjahat bertopeng menyerbu. Tendangan, pukulan, dan serangan cepat menghujani Shaka. Namun pria itu bukan orang biasa—gerakannya terlatih, setiap serangan dibalas dengan presisi. Ia menangkis, membalas pukulan, bahkan sempat menjatuhkan satu dari mereka.

Namun, jumlah bukan mainan. Satu melayangkan besi ke arah bahunya—Shaka terguncang, hampir jatuh. Lututnya menyentuh aspal. Salah satu penyerang bersiap menghabisinya.

BRAKK!

Tiba-tiba, motor besar meluncur dari tikungan. Di belakangnya, SUV hitam berhenti mendadak. Beberapa pria bertubuh tegap dengan jaket kulit keluar cepat.

“Tuan Shaka, mundur.”

Anak buah Shaka langsung membentuk barisan pelindung. Dalam hitungan detik, pertarungan berbalik. Para penyerang ditaklukkan satu per satu, brutal tapi terukur.

Tak sampai lima menit, semua penjahat bertopeng tersungkur, beberapa masih merintih.

Shaka berdiri perlahan, mengusap sudut bibirnya yang berdarah tipis. Ia menatap dingin salah satu penyerang yang masih sadar.

“Bawa mereka ke markas. Pakai metode ‘sunyi’, aku ingin tahu siapa dalangnya. Jangan biarkan satupun lepas.”

“Siap, Tuan.”

Beberapa anak buahnya menarik penjahat-penjahat itu ke dalam mobil, sementara yang lain menutup jejak kejadian malam itu.

Shaka melirik jam tangannya.

“Tepat waktu. Seperti biasa.”

Ia masuk kembali ke mobil, meninggalkan tempat itu dengan tatapan tajam. Serangan ini bukan peringatan. Ini tantangan. Dan Shaka Prawira Darmawan tak pernah mundur dari perang.

Pintu otomatis terbuka saat Shaka masuk ke dalam apartemennya. Langkahnya berat namun tetap tenang. Tubuhnya masih tegang setelah pertarungan di persimpangan jalan tadi. Ia melemparkan jas di sofa , lalu berjalan ke kamar mandi.

Cermin besar memantulkan bayangan wajahnya yang mulai membengkak. Sudut bibirnya pecah, dan pipinya membiru, jelas bekas pukulan keras dari salah satu penyerang.

Shaka menyalakan air keran dan mencuci muka. Saat air dingin menyentuh luka, perih luar biasa menusuk, membuatnya meringis kecil—hal langka bagi pria seperti Shaka. Ia menatap cermin, nafasnya berat.

Setelah mengeringkan wajah, Shaka mengambil ponselnya dan langsung menekan ikon video call yang sudah sering ia tekan akhir-akhir ini—Maura.

Maura yang sedang membaca buku kaget saat layar ponselnya menyala, menampilkan nama Shaka. Ia segera menerima, namun saat wajah pria itu muncul di layar, mata Maura langsung melebar.

“Shaka?! Astaga… kamu kenapa?!”

Wajah Shaka terlihat babak belur, dengan darah kering di sudut bibir dan memar di pipi. Namun, ekspresinya tetap dingin seperti biasa.

“Sedikit masalah di jalan tadi. Bisa ke sini? Aku… butuh kamu buat obatin luka ini.” Nada suaranya lebih lembut dari biasanya, dan itu cukup membuat hati Maura tergerak.

“Tunggu, aku bilang Oma dulu ya!”

Maura langsung turun dan menghampiri Oma yang sedang menonton televisi.

“Oma, Maura harus ke apartemen Shaka sekarang.”

“Kenapa, Nak?”

“Dia habis diserang orang. Wajahnya luka, Oma. Dia minta aku bantu obati.”

Mata Oma membulat khawatir. Namun, ia mengangguk dan meraih tangan Maura.

“Hati-hati di jalan, ya. Suruh sopir antar kamu. Kalau dia luka, tolong diobati dan urus Shaka sampai dia baik .”

“Iya, Oma. Terima kasih.”

Maura langsung mengambil jaket dan kotak P3K kecil yang biasa ia bawa, lalu berlari menuju mobil. Sopir keluarga sudah siap, dan mobil pun meluncur menembus malam menuju apartemen Shaka.

Di sepanjang jalan, Maura terus memandangi ponselnya, mengkhawatirkan keadaan Shaka. Ada sesuatu dalam tatapan lelaki itu tadi—bukan cuma luka fisik, tapi juga amarah yang ditahan.

1
Petir Luhur
lanjutkan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!